Milenianews.com – Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan: mengapa kita perlu bank syariah yang kuat?
Menurut pakar ekonomi syariah, M. Luthfi Hamidi PhD, umat akan ikut terangkat bila bank syariah kuat, baik secara permodalan, aset, maupun kinerja.
“Artinya, bank ini bisa diandalkan bahkan dalam situasi sulit untuk memainkan peran intermediasinya. Dengan kata lain bank memiliki ruang gerak untuk mengalokasikan dananya dalam pemberdayaan sektor riil, terutama usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) dengan lebih leluasa,” kata doktor keuangan lulusan Finance Griffith University, Australia itu kepada Milenianews.com, Jumat (16/2).
Baca juga: Keuangan Syariah VS Konvensional: Perbedaan dan Keunggulannya
Saat ini dengan adanya peraturan dari Bank Indonesia terkait rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) menargetkan alokasi pembiayaan minimal 20% sampai Juni 2022 dan 30% hingga Juni 2024, menunjukkan keinginan besar dari pemerintah agar perbankan nasional menjadi semacam engine growth khususnya dalam mendorong UMKM.
“Tanpa skenario ini, dari tahun 2020-2022, bank syariah sudah on track (lihat tabel). Namun ada gejala pelambatan pada tahun 2023 di mana alokasi untuk UMKM turun menjadi 19,95%,” ujar Luthfi Hamidi yang meraih gelar MA di bidang Perbankan Islam, Keuangan dan Manajemen dari Loughborough University, Inggris.
Tabel 1. Pembiayaan Perbankan Syariah Untuk Sektor UMKM VS Non-UMKM
Pengelompokan Bank Syariah berdasarkan modal inti
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan PBI No 14/26/PBI/2016 telah menetapkan aturan pengelompokkan bank berdasarkan kriteria Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU), namun aturan ini kemudian diubah dengan munculnya POJK No 12/POJK.03/2021 tentang konsolidasi bank umum.
Dalam aturan baru ini, pengelompokkan bank didasarkan kepada Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI).
KBMI 1: modal inti sampai Rp 6 Triliun; KBMI 2: lebih dari Rp 6 triliun sampai Rp 14 triliun; KBMI 3: lebih dari Rp 14 triliun sampai Rp 70 triliun; KBMI 3: modal inti lebih dari Rp 70 triliun; dan KBMI 4, modal inti di atas Rp 70 triliun.
Tabel 2. Modal Inti perbankan Syariah per Juli 2021:
Kesimpulannya, bank syariah per Juli 2021, baru ada satu bank (BSI) yang masuk dalam KBMI 3 dan satu (BTN Syariah) dalam KBMI 2.
Literasi dan inklusi keuangan syariah
Salah satu tantangan pengembangan industri keuangan syariah (termasuk perbankan syariah) di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah. Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Adapun inklusi adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
Kepala Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Ismail Riyadi mengatakan, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih sangat rendah.
“Kalau kita lihat survei OJK, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) yang selalu dilakukan selama 3 tahun, tahun 2022 misalnya, gap antara tingkat literasi keuangan secara keseluruhan adalah 49 persen, keuangan syariahnya 9,14 persen. Jadi masih ada gap sekitar 40 persen,” ujar Muhammad Ismail Riyadi dalam Medi Workshop “Sinergi BCA Syariah & Media Tingkatkan Literasi & Inklusi Perbankan Syariah” di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/10/2023) tahun lalu, seperti dikutip Antaranews.com.
Adanya gap tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa hanya ada 9 dari 100 orang yang benar-benar melakukan keuangan syariah. Adapun tingkat inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12 persen, tertinggal jauh dari tingkat inklusi keuangan secara umum yang mencapai 85 persen.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam acara Silaturahim Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), di Jakarta, pada Rabu (25/5/2022) menyebutkan ada empat tantangan pengembangan perbankan syariah, seperti dikutip Antaranews.com sebagai berikut:
Pertama, market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional masih kecil, yaitu sebesar 6,74 persen.
Kedua, keberadaan berbagai inovasi dan digitalisasi yang kini mengubah model bisnis keuangan.
Ketiga, kewajiban spin off atau pemisahan unit usaha syariah (UUS). Dengan tenggat waktu pemisahan UUS tahun 2023, maka perbankan syariah perlu menyiapkan strategi dan aksi korporasi untuk kepentingan spin off tersebut.
Keempat, keberpihakan bank syariah terhadap pelaku UMKM harus mendapat porsi memadai sesuai ketentuan, supaya prinsip ekonomi syariah dalam rangka pemerataan sumber ekonomi dapat terpenuhi.
Upaya penguatan perbankan syariah
Dalam Road Map Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia 2023-2027, OJK menganjurkan strategi yang bisa ditempuh untuk penguatan struktur dan ketahanan perbankan syariah, di antaranya: pemenuhan modal inti, merger, akuisisi, dan kelompok usaha bank.
Pemenuhan modal inti bisa dilakukan, misalnya melalui penawaran umum pemegang saham atau initial public offering (IPO). Dengan kata lain, bank tersebut tercatat atau melantai di bursa.
Untuk bank syariah yang sudah listing di bursa, mereka bisa menjalankan strategi penambahan modal inti dengan melakukan right issue. Strategi ini bisa dilakukan setelah bank melakukan IPO. Melalui strategi ini, Perseroan menambah saham dan menawarkannya kepada pemagang saham lama (existing) dengan harga khusus (lebih murah dari harga pasaran).
Baca juga: Apa Saja Kunci Perkembangan Keuangan Syariah?
Segmentasi pasar BTN Syariah

Direktur Utama BTN, Nixon LP Napitupulu mengatakan, BTN sebagai pionir dan pemimpin pasar kredit pemilikan rumah (KPR) ingin terus mengembangkan bisnisnya. Beberapa potensi bisnis yang tengah dijajaki perseroan mulai dari Kredit UMKM, Kredit Agunan Rumah (KAR), Kredit Ringan (Kring) untuk pegawai, dan berbagai kredit lainnya.
Nixon menambahkan, BTN juga terus berinovasi melalui BTN Mobile untuk menyediakan layanan perbankan lengkap yang mendukung ekosistem perumahan nasional.
“Di segmen syariah, BTN juga berupaya memperkuat bisnisnya dengan menyiapkan berbagai langkah strategis. Melalui BTN Syariah, kami ingin mendukung industri perbankan syariah nasional sehingga dapat memberikan layanan terbaik bagi para nasabah,” kata Nixon pada Konferensi Pers Paparan Kinerja Keuangan BTN Tahun 2023 di Jakarta, Senin (12/2) seperti dikutip Antaranews.com.
Segmentasi pasar UUS (Unit Usaha Syariah) BTN Syariah adalah dalam menyediakan pembiayaan pembelian perumahan dengan skema syariah. BTN Syariah mencatatkan nilai pembiayaan sebesar Rp 37,1 triliun pada akhir 2023.
“Dari total pembiayaan yang disalurkan BTN Syariah, porsi KPR menyumbang 98% atau senilai Rp 36,6 triliun per akhir Desember 2023. Produk KPR syariah bersubsidi berkontribusi Rp 22,9 triliun atau sebanyak 61%, sedangkan KPR non subsidi menyumbang Rp 11,6 triliun atau mencapai 31,3%,” kata Nixon.
Ia menjelaskan, lonjakan bisnis BTN Syariah dipicu oleh tren di masyarakat yang menginginkan pembiayaan rumah dengan akad syariah. Selain faktor keyakinan, KPR syariah diminati karena skema pembiayaannya memberikan rasa tenang dan nyaman pada nasabah.
Para Gen Z hingga milenial yang memiliki pekerjaan tetap atau bahkan wirausaha, kini bisa memiliki hunian sendiri melalui KPR berskema syariah milik BTN.
“BTN memiliki Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) BTN Syariah yang cocok bagi Gen Z maupun milenial karena memiliki jangka waktu sampai 30 tahun. KPR tersebut bisa diakses oleh calon nasabah dengan semua jenis pekerjaan, mulai dari pekerjaan tetap, profesional, hingga wirausaha,” kata Direktur Consumer BTN, Hirwandi Gafar, Jumat (2/2/2024) seperti dikutip JPNN.
Penguatan BTN Syariah
Nixon mengungkapkan, Perseroan berencana untuk melakukan pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) BTN atau BTN Syariah, mengingat jumlah aset yang dimiliki saat ini telah mencapai lebih dari Rp 50 triliun. Hal ini sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (UUS).
Terkait Upaya membesarkan BTN Syariah, Nixon mengungkapkan bahwa saat ini perseroan tengah berfokus pada proses uji kelayakan (due diligence) bersama salah satu bank syariah di Indonesia jelang pemisahan (spin off) Unit Usaha Syariah (UUS)-nya.
“Kami dibantu konsultan salah satu sekuritas terbesar. Kemudian kantor akuntan publik (KAP) terbesar, dan firma hukum terbesar juga yang kami pakai untuk membantu kami melakukan proses due diligence,” kata Nixon saat konferensi pers di Jakarta, Senin (12/2), seperti dikutip Republika.co.id.
Nixon mengatakan, perusahaan hasil merger atau akuisisi itu paling lambat harus berdiri pada Oktober 2025 sesuai dengan ketentuan OJK. Proses menyiapkan perusahaan baru, kata dia, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Maka atas pertimbangan tersebut, BTN memutuskan untuk jalan akuisisi.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana menjadikan Bank Muamalat dan BTN Syariah sebagai bank syariah besar di Indonesia.
“Kita diskusi dengan BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), Menteri Agama, mungkin nggak kita bersinergi dengan Bank Muamalat dengan BTN Syariah untuk menjadikan alternatif bank syariah yang besar,” ujar Erick saat temu media di Jakarta, Selasa (19/12/2023) seperti dikutip Antaranews.com.
Erick mengatakan, penggabungan Bank Muamalat dan BTN Syariah diharapkan bisa masuk 16 besar bank syariah dunia bahkan bisa menyaingi Bank Syariah Indonesia (BSI). BSI sendiri saat ini menempati posisi kelima dalam bank syariah terbesar di dunia, di mana sebelumnya berada pada urutan ketujuh.
Menguntungkan

Menurut Luthfi Hamidi, bagi BTN Syariah sangat diuntungkan bila berhasil mengakuisisi Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pertama, modal inti akan meningkat. Kedua, segmen pasar BTN Syariah akan meluas tidak hanya bermain di sektor pembiayaan perumahan, melainkan juga mengikuti segmen pasar BMI yang sudah ada. Ketiga, mendapatkan branding yang baik, karena nama Muamalat meskipun akhir-akhir ini disorot karena kinerjanya belum sesuai ekspektasi, adalah ikon bank syariah di Indonesia, karena bank ini adalah bank pertama syariah.
“Keempat, biaya akuisisi dimungkinkan lebih murah daripada bila BTN sebagai induk melakukan spin-off UUS BTN Syariah menjadi Bank Umum Syariah (BUS) baru,” kata Luthfi Hamidi.
Ia menambahkan, bagi Bank Muamalat proses akuisisi ini secara manajemen mungkin menguntungkan. Namun bila dilihat dari aspek lain mungkin kurang menguntungkan.
“Kita lihat misalnya, ada suara dari MUI yang menginginkan BMI tetap menjadi bank yang melayani umat. Proses akuisisi BMI oleh BTN untuk kemudian menjadi bank umum BTN Syariah dikhawatirkan akan mengubah layanan perbankan syariah pemihakannya lebih kepada korporasi, melupakan misi bank syariah yang digagas para founding fathers-nya dulu sebagai katarsis perbankan konvensional yang belum maksimal mentransformasi kelompok usaha kecil (UMKM) yang jumlahnya 99,99% (2018) dari total usaha yang ada di Indonesia, mewakili 64 juta lebih pelaku UMKM,” paparnya.
Meskipun demikian, Luthfi Hamidi menegaskan, “Saya pribadi berpendapat, penambahan modal inti dengan akuisisi atau merger baik dilakukan oleh BTN Syariah”.
Baca juga: Kesan yang Ditimbulkan oleh Sifat Dewan Penasihat Syariah Terhadap Performa Keuangan Bank Syariah
Manajemen BTN sendiri saat ini juga sedang menjajaki peluang merger atau akuisisi dengan bank selain Bank Muamalat. Saat ini bank syariah yang memiliki modal inti di bawah Rp 3 T masih banyak.
“Dengan kata lain, kalau penjajakan dilakukan kepada bank-bank itu masih sangat terbuka opsinya,” ujar Luthfi Hamidi.
Pada akhirnya, umat menunggu, apapun langkah strategis yang dilakukan untuk menjadikan BTN Syariah sebagai bank syariah yang kuat. Sebab, BTN Syariah yang kuat adalah dambaan umat.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.