Milenianews.com, Mata Akademisi– Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi dan keuangan syariah global, bahasan mengenai Tata Kelola Syariah menjadi hal dasar dan principle yang harus terselesaikan. Pasalnya, hingga sekarang masih banyak pro kontra terkait best practice dari Tata Kelola Syariah di institusi syariah.
Tata Kelola Syariah atau lebih sering di sebut dengan istilah Sharia Governance (SG) adalah kepatuhan perusahaan terhadap prinsip-prinsip syariah dari aspek perkiraan dan aspek aktual. Dalam arti lain, SG pada aspek perkiraan merujuk pada penerbitan putusan-putusan syariah dan penyebarluasan informasi terkait syariah. Sedangkan aspek aktual merujuk pada proses Shariah Review Internal periodik dan Shariah Review Internal tahunan.
Secara sederhana, SG dapat dipahami sebagai konsep dasar pendirian dan operasi perusahaan yang berlandaskan pada syariah. Misal, institusi syariah (bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain) harus dapat memastikan sistem operasional yang dilakukan perusahan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, di Indonesia pihak yang berkewajiban menjamin terlaksananya prinsip-prinsip syariah di perusahaan adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Bagaimana Sharia Governance di Pakistan?
Negara-negara Islam umumnya memiliki SG yang relatif sama, namun biasanya berbeda pada penyebutannya saja. Hal yang cukup mengejutkan dalam penelitian Ayub et al (2023) yang dipublikasikan oleh Journal of Islamic Accounting and Business Research menunjukkan bahwa SG di Pakistan masih banyak kelemahan. Salah satu yang paling terlihat adalah kurangnya regulasi yang menjadi payung SG.

Selain itu, penelitian juga menjelaskan bahwa 73% responden mengatakan DPS di Pakistan tidak memuaskan karena kurang kriteria dalam pemilihan DPS yang kompeten. Bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa 90% Shariah Governance Framework (SGF) tidak efektif.
Sebagai informasi, SGF adalah salah satu panduan dalam penyelenggaraan SG yang banyak dipakai oleh negara-negara Islam. SGF sendiri diterbitkan oleh Bank Negara Malaysia untuk menjamin pemenuhan prinsip-prinsip syariah pada institusi syariah khususnya perbankan syariah.
Mengapa SGF di Pakistan tidak Efektif?
Riset Ayub et al (2023) di atas tidak hanya menjelaskan penggunaan State Bank of Pakistan (SBP) terhadap prinsip-prinsip dari SGF saja, tetapi juga memadukan dengan Standar Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa standar yang sudah ada tersebut masih belum efektif diterapkan di Pakistan.
Hal ini dikarenakan ada salah satu peneliti senior Pakistan yang berpandangan bahwa standar yang disarankan oleh AAOIFI tidaklah sama dengan Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, ada kemungkinan standar dari AAOFI justru tidak sesuai dengan syariah.
Di sisi lain, manajemen bank syariah dan Dewan Direksi di Pakistan tidak berperan masif dalam menerapkan prinsip-prinsip yang tertuang pada SGF. Kemudian, para narasumber dalam penelitian tersebut juga menyarankan perlu adanya perbaikan dari segi tinjauan syariah dalam SB agar lebih aplikatif dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Kesimpulan dari penelitian Ayub et al (2023) menyarankan perlu adanya standar internasional seperti SGF yang diberlakukan untuk negara-negara Islam khususnya untuk lembaga-lembaga keuangan Islam global.
Pentingnya DPS dalam Institusi Keuangan Syariah
Semua pihak tentu sepakat akan pentingnya peran DPS pada institusi keuangan syariah. Namun, lebih dari itu yang terpenting adalah kompetensi dari DPS tersebut. Bayangkan saja, DPS memiliki peran besar dalam arah dan gerak perusahaan.
DPS bisa memutuskan apakah suatu produk sesuai prinsip syariah atau tidak, suatu kebijakan sesuai syariah atau tidak, bahkan bisa memutus izin perusahaan lain yang menanamkan modal kepada perusahaannya jika terindikasi ada hal yang tidak syariah. Namun, yang menjadi masalah di sini adalah seberapa kompetenkah seorang DPS di institusi keuangan syariah?
Di Indonesia misalnya, seorang DPS harus memiliki sertifikasi. Hal ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengetahui kompetensi dari seorang DPS. Akan tetapi, paham dengan prinsip-prinsip fikih syariah saja belum cukup bagi seorang DPS.
Pada prinsipnya, seorang DPS juga dituntut untuk memahami mekanisme akad, mekanisme keuangan, pencatatan keuangan, pengakuan pendapatan, penyajian keuangan, pelaporan keuangan, audit keuangan, operasional perusahaan, jenis entitas kerja sama dari perusahaan dan lainnya.
Apabila DPS hanya memahami ilmu fikih umum saja tanpa memahami ilmu akuntansi dan bisnis ini bisa menjadi problem bagi perusahaan. Oleh karena itu, DPS sedapat mungkin memiliki kompetensi yang komprehensif agar pemenuhan atas prinsip-prinsip syariah perusahaan dapat terjamin.
Penulis: Arif, Mahasiswa STEI SEBI