Oleh: Hadi Suroso
Rasanya tidak ada yang lebih menggelikan daripada kisah kita. Yang membuat kita tersenyum sendiri jika mengingatnya. Kita masih belum dewasa kala itu.
Masih jelas di ingatan betapa dulu kita sama-sama keras kepala, bersikukuh ingin saling menang sendiri_mengedepankan ke ” aku ” an kita. Satu kesamaan yang rupanya belakangan menjadi jalan mudah bagi kita untuk saling memahami.
Kamu memahamiku. Pun aku memahamimu. Sikap cenderung menutup diri, curiga, atau bereaksi berlebihan terhadap suatu hal yang kita lakukan, hanyalah cara kita menyembunyikan kekurangan atau kelemahan diri. Kita yang tampaknya kuat, kelihatannya tegar, atau kita yang sepertinya tidak butuh siapapun, sebenarnya sekedar kamuflase. Kita sesungguhnya rentan dan rapuh. Kita hanya saja pandai menutupi.
Kita menyadari bahwa jauh di dalam hati kecil, kita merasa kesepian, kita merasa hampa dan bersedih. Memintal harap adanya sentuhan yang menghangatkan, butuh bahu tempat bersandar, dan butuh seseorang untuk menumpahkan segala curahan hati.
Kita ini adalah jiwa-jiwa kosong pada raga yang kering akan cinta. Satu kemewahan yang selama ini tidak kita rasakan.
Sublimasi perasaan insecure ke dominasi ego di perilaku kita, adalah sikap paling aman untuk sembunyi. Mungkin kita bisa saling membohongi , namun tidak pada hati kecil sendiri.
Perlahan kita mulai saling membuka diri, dan mengikis kerak-kerak keegoisan yang ada. Ada lega yang kita rasakan. Ada nyaman setelah itu kita lakukan. Babak baru pasca pergulatan diri kita pada penafsiran rancu tentang pengakuan. Kita terjebak oleh cara berpikir kita sendiri. Hambatan diri yang selama ini justru membelenggu.
Mulailah kita masuk di fase melangkah dengan lebih jujur pada diri sendiri.
Lalu seiring waktu berjalan, kita mulai sadari…ada sayup terdengar getar-getar yang gemuruhnya semakin membuat gaduh seluruh isi hati. Tak bisa kita pungkiri perasaan itu kian membanjiri setiap ceruknya. Perasaan ingin selalu dekat, keinginan untuk selalu bersama, saling peduli dan saling memberi sepenuhnya perhatian, serta ketakutan akan kehilangan menjadi kalimat-kalimat yang menggema di altar masing-masing hati dan pikiran kita. Gaungnya kian membuncah menggetarkan dada kita. Mungkinkah kita telah saling jatuh hati ?
Jika memang getar itu adalah kemewahan yang kita rindukan, maka biarlah ia riuh yang terus meramaikan seluruh ruang hati kita, mengalun bersama kidung yang berupa kalimat-kalimat indah dari cinta. Lalu biarlah kita rasakan setiap detil helaan nafas saat hanyut berputar-putar di tengah pusarannya.
Rasanya memang menggelikan , kita yang mulanya saling tidak mau tahu, akhirnya berujung dengan saling ingin tahu dan saling memberi bahu. Sebab kini tidak ada lagi yang namanya aku atau kamu. Yang ada cuma satu, yaitu “Kita”.