News  

Tampil di Indonesia Climate Change Forum (ICCF) 2024, Prof. Rokhmin Paparkan Tata Kelola Laut Berkelanjutan

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS menjadi salah satu narasumber  Indonesia Climate Change Forum (ICCF) #2 2024 yang diadakan oleh  Emil Salim Institute, di  Jakarta, Rabu  (2/10/2024). (Foto: Dok RD Institute)

Milenianews.com, Jakarta– Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS  menjadi salah satu narasumber  Indonesia Climate Change Forum (ICCF) #2 2024 : Laut & Pesisir Pantai
by Emil Salim Institute, yang digelar di  Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024. Ia membawakan makalah berjudul “Tata Kelola Laut Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas dan Lestari 2045”.

Anggota DPR RI 2024-2029 itu mengawali makalahnya dengan membeberkan symptom (fenomena) permasalahan pesisir dan lautan Indonesia. Yakni:

  • Pencemaran: limbah padat (termasuk plastik), limbah cair, dan limbah gas.
  • Overfishing, IUU Fishing, dan overeksploitasi SDA lainnya.
  • Kerusakan fisik ekosistem pesisir: mangrove, padang lamun, terumbu karang, estuary, pantai (beach), dll.
  • Biodiversity loss (hilangnya keanekaragaman hayati).
  • Dampak negatip Perubahan Iklim Global: heat waves, cuaca ekstrem, peningkatan suhu laut, sea level rise, banjir, ocean acidification, coral bleaching, peledakan wabah penyakit, dan lainnya.
  • Land subsidence, abrasi, dan sea-level rise mengakibatkan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir yang rendah dan landai (low-laying coastal zones) tenggelam.
  • Dampak negatif akibat tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.
  • Konflik penggunaan ruang wilayah pesisir – laut.
  • Kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
  • Kontribusi sektor ekonomi kelautan bagi perekonomian nasional (PDB) masih rendah.

Permasalahan Pembangunan Pesisir

Ia menyebut sejumlah permasalahan pembangunan pesisir dan lautan Indonesia. Salah satunya adalah rendahnya kesadaran pemerintah dan publik tentang nilai strategis sumber daya pesisir dan lautan (kelautan) bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa Indonesia.

“Selain itu, kebijakan dan program pembangunan pemerintah terkait dengan pesisir dan lautan (Blue Economy) bersifat parochial (piece meal), sektoral, tidak holistik, tidak terpadu, dan tidak berkesinambungan.  Alias belum ada Road Map dan Blueprint Pembangunan Kelautan Berkelanjutan yang holistik, tepat, dan benar; dan dilaksanakan secara berkesinambungan,” kata Prof. Rokhmin dalam rilis yang diterima Milenianews.com.

Faktor-faktor lainnya adalah:

  • Rakyat kecil tidak atau kurang memiliki akses terhadap aset ekonomi produktif (seperti permodalan, teknologi, pasar, infrastruktur, informasi, dan manajemen) untuk melakukan investasi dan bisnis di sektor Blue Economy (pesisir dan lautan) yang produktif, efisien, berdaya saing, menguntungkan (mensejahterakan), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable)
  • Hedonisme, keserakahan, dan egoisme mayoritas korporasi besar (orang-orang kaya) membuat mereka di dalam menjalankan investasi dan bisnisnya  hanya mengejar keuntungan maksimal (profit maximation) dan growth mania, tanpa mengindahkan keadilan sosial (menolong kelompok miskin dan tidak berkapasitas) dan kelestarian lingkungan (environmental sustainability).
  • Akhlak buruk (perilaku negatip) mayoritas korporasi besar (orang-orang kaya) dan kemiskinan itulah yang telah mengakibatkan banyak wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengalami triple ecological crisis (pollution, biodiversity loss, and Global Boiling) dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya, pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) nya.
  • CBA (Cost and Benefit Analysis) sebagai dasar untuk menentukan kelayakan suatu program atau proyek Pembangunan, dalam komponen biaya (cost stream)-nya hanya memasukkan biaya pembelian lahan, land clearing, konstruksi proyek, dan OM (Operation & Maintenance) proyek. Tidak memasukkan komponen kerusakan lingkungan dan biaya sosbud à Maka, sebagian besar program atau proyek B/C > 1 atau layak (feasible).
  • Dalam perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto) sebagai Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators = KPI) kemajuan dan/atau kemakmuran suatu negara-bangsa juga tidak memasukkan variable (faktor) lingkungan.
  • KPI keberhasilan kepala negara, gubernur, bupati/walikota, dan Kepala Desa (Lurah) pun pada umumnya (dominan) hanya berdasarkan pada faktor pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. Hanya sebagian kecil yang mempertimbangkan faktor lingkungan dan keadilan sosial.
  • Kebijakan politik ekonomi (fiskal, moneter, iklim investasi, pembangunan SDM, dan lainnya) kurang kondusif bagi pembangunan kelautan berkelanjutan.

Strategi Pengembangan

Prof. Rokhmin lalu membahas strategi pengembangan tata kelola pesisir dan laut menuju Indonesia Emas dan Lestari 2045.  Hal itu mencakup Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW Darat – Pesisir – Laut terpadu). Salah satunya, laju (intensitas) pembangunan di suatu wilayah pesisir – lautan tidak melebihi Daya Dukung Lingkungan nya. Kemudian, laju penangkapan ikan di unit-unit wilayah pengelolaan perikanan (WPP, unit ekosistem, atau unit administrasi pemerintahan) yang telah overfishing (laju penangkapan ikan > MSY) harus dikurangi fishing effort (jumlah kapal ikan dan nelayan) nya hingga laju penangkapan = MSY. Sebaliknya, di unit-unit wilayah pengelolaan perikanan yang status penangkapannya masih underfishing (laju penangkapan ikan < MSY), maka fishing effort nya bisa ditingkatkan sampai laju penangkapan ikan = MSY.  Catatan: prinsip yang sama juga harus diterapkan untuk pemanfaatan SDA terbarukan lainnya: mangrove, padang lamun, terumbu karang, material bioteknologi, dan lain-lain.

Baca Juga : Kuliah Umum di Universitas Jeju, Prof. Rokhmin Soroti Kerja Sama Indonesia-Korea Selatan

Ia menegaskan, pentingnya menghentikan  pembuangan limbah B3 ke wilayah pesisir dan lautan; dan total beban limbah (total pollutant load) non-B3 (limbah organik, nutrient, dan bahan biodegradable lainnya) yang dibuang ke laut tidak melebihi assimilative capacity-nya.  “Untuk itu, mulai sekarang kita harus menggunakan zero-waste technology, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), dan IPAL mandiri atau kolektif,” kata Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Tidak kalah pentingnya, kata dia, Rehabilitasi dan Restorasi ekosistem pesisir (mangroves, padang lamun, terumbu karang, estuari, beaches, dan lainnya): penanaman pohon mangrove, coral transplantation, beach clean up, beach nourishment, restocking, dan lainnya.

Juga, Konservasi KEHATI (biodiversity) pada level ekosistem, spesies, dan genetik. “Pengembangan pemanfaatan (pembangunan) sektor-sektor ekonomi kelautan existing dan yang baru (emerging) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan sustainable (berkelanjutan),” ujar Prof. Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se Indonesia).

Mengutip Mc. Hargh  (1976), ia a juga menekankan, di dalam melakukan perubahan bentang alam, merancang dan konstruksi pembangunan di wilayah pesisir dan laut (coastal and ocean engineering) harus dilakukan sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika alamiah wilayah pesisir dan laut tersebut (Design and Construction with Nature).

Hal-hal lain yang juga penting adalah:

  • Mitigasi Perubahan Iklim Global: stop penggunaan bahan bakar fosil, dan mulai sekarang juga beralih ke renewable/green energy (seperti solar, wind, hydropower, geothermal, biofuel, wave energy, tidal energy, dan OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion).
  • Adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, banjir, dan bencana alam lainnya.
  • Capacity building: pemerintah, swasta, dan Masyarakat terkait Sustainable Coastal and Ocean Development.
  • Perbaikan Tata Kelola Kelembagaan: regulasi, struktur organisasi, dan koordinasi kerja kelembagaan.
  • Kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal, moneter, ekspor – impor, IPTEK, SDM, Iklim Investasi) yang kondusif bagi Pembangunan Kelautan Berkelanjutan.

Tata Kelola Kelembagaan

Di bagian akhir makalahnya, Prof. Rokhmin menyampaikan panduan tata kelola kelembagaan sebagai berikut:

  • Implementasi Tata Kelola yang Baik: profesional, transparan, akuntabel, menghormati hak asasi manusia, meritokrasi, dan melayani masyarakat (komunitas).
  • Indikator kinerja (keberhasilan) tidak hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi kesejahteraan yang merata (keadilan sosial), dan keberlanjutan lingkungan.
  • Semua perencanaan pembangunan dan proses pengambilan keputusan harus didasarkan pada informasi ilmiah (perencanaan dan pengambilan keputusan berbasis sains).
  • Memperkuat dan meningkatkan R&D untuk inovasi, penguasaan, dan penerapan teknologi terkini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *