Milenianews.com, Jakarta – Menteri Agama, Fachrul Razi baru-baru ini mengatakan akan membuat peraturan larangan memakai cadar di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, saat dilemparkan ke publik, peraturan tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat terhadap pro kontranya.
Tugas Kemenag yang juga ingin memerangi radikalisme, pelarangan cadar dan celana cingkrang membangun stigma publik bahwa yang memakai keduanya dianggap radikal. Ada kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat. Fachrul Razi mengatakan, hal tersebut tak ada kaitannya dengan radikalisme.
Baca Juga : Wapres Ma’ruf Amin Bicara tentang Wacana Larangan Cadar di Pemerintahan
Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma’ruf Amin menjelaskan, bahwa radikalisme sebetulnya tidak berkaitan dengan persoalan pakaian yang dikenakan. “Radikalisme itu tidak terkait dari cara berpakaian. Tapi soal cara berpikir dan bertindak,” katanya dikutip CNN Indonesia, Jumat (8/11).
“Radikalisme itu sebenarnya bukan soal pakaian. Tapi radikalisme itu adalah cara berpikir, cara bersikap, atau perilaku dan cara bertindak,” ujarnya.
Sementara, larangan menggunakan cadar di lingkungan ASN dibuat demi alasan keamanan. Lantas, tidak melarangnya untuk masyarakat umum. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi dalam sebuah kesempatan mengatakan hal tersebut. “Tidak ada rencana penerapan di luar lembaga negara.”
NKRI bukan ‘NKKHI’
Wapres juga mengajak masyarakat, agar bisa meluruskan cara berpikir, bertindak dan gerak geriknya. Maka untuk itu perlu upaya lebih insentif dengan melakukan deradikalisasi.
Radikalisme menjadi paham yang dapat mencederai nilai kemanusiaan dan menumbuhkan intoleran dalam keberagaman di Indonesia. Radikalisme tentunya, menjadi tugas bersama seluruh elemen masyarakat untuk memeranginya.
Kiai Ma’ruf juga menyinggung soal khilafah. Pemikiran khilafah, menurutnya perlu diluruskan juga. “Selama ini khilafah identik dengan Islam. Meruntut sejarah terdapat sejumlah wilayah yang menganut khilafah seperti khilafah Abbasiyah dan khilafah Utsmaniyah.”
“Tapi tidak berarti (sistem yang) Islami adalah khilafah,” katanya.
Sedangkan, Indonesia merupakan Negara Kesatuan (NKRI) dengan ideologi Pancasila sebagai landasannya. Di negara Arab Saudi sendiri, khilafah bertolak karena sistem kenegaraan yang diterapkan disana berupa kerajaan.
“Jadi bukan karena tidak Islami, tapi menyalahi kesepakatan nasional. Sudah jelas khilafah tertolak di Indonesia karena menyalahi kesepakatan nasional, NKRI. Kalau itu khilafah maka tidak menjadi NKRI lagi, tapi NKKHI, Negara Kesatuan Khilafah Indonesia,” tuturnya.
Hormati Peraturan Instansi
Pemikiran radikal itu yang berbahaya, dari pemikiran tersebut akan memunculkan sikap dan tindakan yang radikal pula.
Pemerintah sendiri, menggunakan istilah ‘samaran’ saat menerangkan radikalisme terhadap masyarakat, ‘Manipulator Agama’. Namun, bahasa tersebut menjadi rancu, jika manipulator yang diartikan sebagai tindakan penyelewengan.
Baca Juga : Indonesia ajak Cina Kerjasama dalam Tangani Masalah Sampah Plastik
Karena istilah tersebut dirasa cocok digunakan dalam praktik politik. Sujiwo Tejo, seorang Budayawan, menyebut, “Saat kampanye, banyak dari calon-calon pemimpin yang tiba-tiba memakai peci, segalanya serba religi untuk mendapat suara.” Itulah istilah yang pantas untuk istilah Manipulator Agama.
Larangan cadar akan dibuatkan peraturannya dan akan diterapkan di lingkungan ASN. Namun, larangan tersebut tidak akan diterapkan di masyarakat luas. Terkait radikalisme, tentu orang yang memakai cadar maupun celana cingkrang tidak ada kaitan dengan keduanya.
Jika peraturan itu diresmikan, maka seluruh elemen dalam lingkungan tersebut harus menurutinya. Karena dalam sebuah keorganisasian, dalam lingkungan instansi, harus menghormati peraturan yang diterapkan didalamnya. (Ikok)