Milenianews.com, Mata Akademisi– Setelah mengintroduksi sebagai al-Rahman atau Yang Maha Pemurah, berikutnya Allah memberi informasi bahwa Dia “Yang telah mengajarkan al-Qur’an.” (QS. al-Rahman/55: 2). Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa al-Qur’an diajarkan kepada yang Allah kehendaki. Inilah nikmat terbesar bagi manusia.
Tentu yang dikehendaki Allah untuk diajarkan al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Pada fase berikutnya beliau mengajarkan kepada para sahabat terdekat. Ayat ini turun untuk merespons tudingan kaum kafir Mekah yang mengatakan bahwa Nabi diajarkan al-Qur’an oleh seseorang, bukan oleh Allah.
Tudingan itu terekam secara argumentatif di dalam al-Qur’an, “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ajam, sedang al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. al-Nahl/16: 103).
Dalam sejarah diceritakan, seperti terungkap dalam Tafsir Jalalain, Nabi pernah berkunjung kepada seorang pendeta Nasrani. Pendeta inilah yang disangka oleh kaum kafir MekKah yang telah mengajarkan al-Qur’an. Allah menjelaskan bahwa pendeta tersebut berbahas ajam (bukan Arab), sementara al-Qur’an berbahasa Arab yang terang (jelas dan fasih). Maka tidak masuk akal pendeta Nasrani itu mengajarkan bahasa yang asing baginya kepada Nabi.
Allah membeberkan bahwa saat al-Qur’an diturunkan, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok dalam meresponsnya.
Hal itu terukir secara permanen dalam makna ayat, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir/35: 32).
Berdasar ayat ini, kelompok pertama merespons turunnya al-Qur’an dengan cara menganiaya diri sendiri (dzalim linafsih).
Frasa ini, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah orang yang lalai terhadap sebagian dari perintah yang diwajibkan dan malah mengerjakan sebagian dari larangan yang diharamkan.
Misalnya, al-Qur’an memerintahkan menyembah Allah, dia malah menyembah berhala. Ketika al-Qur’an menitahkan membayar zakat, dia malah mangkir dan mengemplangnya. Namun ketika al-Qur’an menyuruh berbuat yang makruf, sebaliknya dia malah melakukan yang mungkar.
Kelompok kedua merespons secara setengah-setengah atau pertengahan, yakni bimbang ihwal kebenaran al-Qur’an. Termasuk, tulis pengarang kitab Tafsir Jalalain, separuh-separuh mengamalkannya.
Padahal Allah menandaskan, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal al-Qur’an itu.” (QS. al-Baqarah/2: 23).
Karakter lain dari kelompok kedua ini, menurut Ibnu Katsir, adalah orang yang menunaikan perintah yang diwajibkan kepada dirinya dan meninggalkan larangan yang diharamkan, namun di lain waktu dia tidak mengerjakan sebagian dari perbuatan yang disunahkan dan mengerjakan sebagian dari perbuatan yang dimakruhkan (dibenci).
Secara kontekstual, ini adalah kondisi psikologis orang-orang munafik (hipokrit). Secara historis sikap ini yang paling ditakutkan menimpa umat Nabi, terutama ketika ada sekelompok orang yang mengaku beriman dan ikut Perang Badar, namun ketika musuh datang mereka pulang.
Kelompok ketiga merespons dengan bersegera berbuat kebaikan (sabiq bil-khairat). Sikap kelompok ini linier dengan perintah Allah, “Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan.” (QS. al-Baqarah/2: 148). Frasa “berlomba-lomba (dalam berbuat) kebaikan”, bagi pengarang kitab Tafsir Jalalain, artinya segera menaati dan menerimanya.
Tiga kelompok orang dalam merespons turunnya al-Qur’an di atas, yang disebut terakhir adalah yang terbaik.
Kembali kepada al-Qur’an sebagai nikmat terbesar bagi seluruh manusia, dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menulis bahwa al-Qur’an itu mudah dihapal dan dipahami oleh siapa saja. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. al-Qamar/54: 17). Makna ayat serupa terulang dalam surah yang sama, yakni pada ayat 22, 32, dan 40.*
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Dai Lembaga Dakwah Darul Akhyar (LDDA) Kota Depok.