Milenianews.com, Jakarta – Bayangin, pengajuan penelitian ditolak bukan karena idenya jelek, tapi karena reviewer-nya lagi capek bin mumet. Sekarang? Ada AI yang urus. Gak kenal capek dan no drama.
Di atas meja kerjanya, ditemani segelas kopi hitam kemasan tanpa gula, racikan OB di kantornya, Verry Riyanto, Kepala Biro Teknologi Informasi UBSI (Universitas Bina Sarana Informatika), cuma senyum miring waktu ditanya kenapa kampusnya nekat nyemplungin AI (Artificial Intelligence) ke ranah yang selama ini sakral, yakni “review proposal penelitian dosen”.
“Karena capek aja, jujur. Dulu tuh, review manual makan waktu berhari-hari, dan hasilnya kadang gak objektif. Udah gitu suka beda-beda tergantung siapa yang baca,” kata Verry, saat diwawancarai, pada Senin (2/6).
Baca juga: Workshop SPSS: Mengasah Kemampuan Analisa Data Menuju Penelitian Berkualitas!
Ironisnya, proses yang seharusnya akademis dan berlandaskan ilmu, malah jadi kaya main tebak-tebakan mood reviewer. Disitulah AI masuk. Bukan buat gantiin manusia sepenuhnya, tapi buat jadi filter awal yang sangar, cepet, tegas, dan gak baperan.
AI-nya Kerja, Manusia-nya Jadi Wasit
Sistem baru ini kerjanya hybrid. Jadi bukan yang full otomatis, terus dosen cuma bisa pasrah. Ada dua tahap: AI duluan, lalu manusia.
Di tahap awal, mesin cerdas yang digerakkan oleh Natural Language Processing (NLP) langsung membedah isi proposal. Bukan cuma cek plagiarisme pakai cosine similarity (kalau >50% ya wassalam), tapi juga ngecek apakah proposal itu nyambung gak sama roadmap keilmuan fakultas dan prodi di UBSI.
Lalu ada teknologi Reinforcement Learning yang bikin AI bisa kasih saran soal arah penelitian ke depannya. Bukan cuma “ditolak” atau “diterima”, tapi juga “harusnya kamu bikin kayak gini lho…”. Begitu jawaban dari AI nya. Jadi ada ide lain kan, kalo salah?
Setelah itu, reviewer manusia baru turun tangan. Tapi bukan buat baca dari nol, melainkan buat validasi hasil AI dan ambil keputusan akhir. Jadi hemat waktu, tapi gak lepas kontrol.
Tanggapan Dosen: Antara Takjub dan Waswas
Awalnya? Banyak yang skeptis. Khususnya dosen-dosen senior yang udah terbiasa “main feeling”.
“Awalnya saya pikir AI ini bakal kaku banget dan gak ngerti konteks. Tapi ternyata sistemnya fleksibel, dan saya masih bisa kasih feedback kalau gak setuju sama hasilnya,” cerita salah satu dosen di UBSI yang udah nyobain sistem ini.
Faktanya, 80% dosen, terutama yang muda, ngerasa kebantu banget. Review gak lagi bikin stres, apalagi karena sekarang feedback bisa didapet secara real-time. AI-nya juga bukan cuma nyari kesalahan, tapi kasih catatan dan rekomendasi perbaikan. Kayak punya mentor pribadi yang sabar dan teliti.
Yang bikin tambah menarik, AI ini juga ngajarin dosen cara bikin proposal yang bagus. Dari analisis yang diberikan AI, dosen bisa belajar pola-pola riset yang dianggap unggul. Jadi makin lama, kualitas usulan pun makin naik.
Bukan Cuma Gaya-Gayaan, Ini Emang Seriusan
UBSI sebagai Kampus Digital Kreatif, bukan cuma asal comot AI biar keliatan keren. Sistem ini dibangun bareng Dekan dan LPPM (Lembaga Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat), dilatih pakai data historis penelitian kampus sendiri, dan terus diawasi lewat audit bulanan. Hasil AI dibandingin sama review manusia biar ketahuan kalau ada bias atau error.
“Kami punya visi buat jadi tech-driven university. Jadi ini bukan proyek musiman, tapi bagian dari budaya digital kampus,” jelas Verry.
Dan yang paling sangar: UBSI jadi kampus pertama di Indonesia yang pakai AI Agent khusus untuk review proposal dosen. Bahkan, sistemnya modular, bisa dipakai kampus lain tanpa harus dilatih ulang. Udah mulai dilirik? Jelas.
Belajar dari Mesin, Tapi Tetap Manusia yang Kendalikan
Tapi yang paling penting dari semua ini: UBSI gak pernah niat nyopot peran manusia dari proses akademik. AI di sini cuma ngurus kerjaan yang repetitif: cek format, cari plagiarisme, analisis struktur. Tapi buat nilai ide, nuansa sosial, kebaruan, itu tetap urusan manusia.
Dan kalau ada dosen yang gak puas? Bisa banding. Bisa ngobrol. Bisa diskusi. Jadi bukan sistem yang sok tahu dan sewenang-wenang.
Baca juga: “Ganteng Tapi Tawuran? Males, Masa Depan Kamu Suram!”, Curhat Cika, Siswi SMKN 41 Jakarta
Lewat inovasi ini, UBSI ngajarin satu hal penting: kadang, keadilan itu datang dari mesin, asal mesinnya dibangun sama orang-orang yang ngerti rasa.
“Kita gak pengen dosen nyerah karena sistem yang gak adil. Kita pengen bantu mereka tumbuh, lewat cara yang cepat, transparan, dan tetap manusiawi,” tutup Verry.
Mungkin AI gak bisa ngerasain lelah atau idealisme. Tapi kalau AI bisa bantu manusia jadi lebih adil dan efisien, kenapa enggak?
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.