Pada suatu pagi hari yang cerah, ada sebuah batu di pesisir pantai diantara pasir-pasir putih, batu itu sedang memandangi langit biru yang cerah, dikelilingi awan putih tebal, sembari menatap ke atas langit, ia berkata dalam hati, “Sudah lama aku hidup seperti ini, hanya bisa diam menatap indahnya langit biru dikelilingi awan-awan putih, disinari cahaya matahari yang terang, apakah akan selamanya aku hidup selalu seperti ini? Mengingat, aku hanyalah sebuah batu yang tidak bisa melakukan apa-apa,” pungkas batu.
Dari atas langit, sang Awan memerhatikan batu yang ada di pesisir pantai diantara pasir-pasir putih itu, melihat Batu sedang menatapi langit, ia pun bertanya kepada Batu, “Hai Batu, apa yang membuatmu berdiam diri dibawah sana?” tanya awan kepada batu.
Batu itu pun menjawab, “Hatiku merasa hampa, aku tidak tahu apa arti di dalam hidupku ini, apakah aku hanya akan berdiam diri disini saja, aku sangat merasa bingung”.
Awan pun memberi saran kepada batu, “Jika begitu, mengapa engkau tidak melakukan sebuah perjalanan untuk mencari arti dari hidupmu sendiri wahai batu? Mungkin engkau akan menemukan arti hidupmu di sepanjang perjalananmu yang penuh makna itu”.
Batu pun menjawab saran dari awan, “Saranmu ada benarnya juga, baiklah kalau begitu, aku akan memulai perjalanan itu”.
Tak lama setelah ia mengatakan rasa atas kehampaan hatinya kepada awan, ia pun memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan mencari makna hidupnya. Baru saja ia ingin memulai perjalannya, ia didekati oleh ombak dari laut yang pasang surut.
“Hai Batu, kenapa wajahmu terlihat lesu seperti itu? Apakah kamu sedang ada masalah?” tanya ombak kepada batu.
“Tidak, aku hanya merasa bingung dan hampa, sebenarnya, untuk apa aku hidup di dunia ini, jika hari-hariku terus seperti ini, hanya berdiam diri. Melihat pemandangan, menatapi langit biru. Aku merasa hampa atas kehidupan yang kujalani selama ini,” jawab batu.
Mendengar kehampaan yang diungkapkan oleh batu, ombak pun memberinya saran, “Hai Batu, bagaimana jika kau bergabung bersama kami saja dan mengarungi serta menjelajahi lautan? Kami selalu bergerak dan menjelajahi luasnya lautan di dunia ini”.
“Sepertinya menarik, tapi aku tidak ingin pergi terlalu jauh dari asalku, mungkin mengarungi dan menjelajahi lautan bukanlah arti hidup yang ingin aku temukan,” jawab batu.
“Baiklah jika seperti itu kemauanmu, silakan lanjutkan perjalananmu untuk mencari sebuah arti dalam hidupmu,” jawab ombak.
Batu itu pun melanjutkan perjalanannya dengan perasaan hampa di dalam hatinya. Batu berkata dalam hatinya, “Harus sampai sejauh mana lagi aku melanjutkan perjalananku untuk mencari arti dari hidupku ini? Tapi aku yakin mungkin di depan aku akan menemukan arti dari hidupku ini, aku hanya harus terus berusaha sejauh yang aku bisa”.
Batu itu pun melanjutkan kembali perjalanannya sampai sejauh yang ia bisa. Di sepanjang perjalanan, ia selalu berharap untuk bisa menemukan arti hidupnya dari perjalanan yang selama ini ia lakukan. Ia berharap, perjalanan yang ia lakukan itu membuahkan hasil dan tidak berakhir dengan perasaan kecewa.
Tak lama kemudian ia dihampiri oleh burung camar yang mendarat di hadapannya.
“Hai batu, mengapa kau berjalan dengan penuh tatapan kosong seperti itu? Apakah kau merasa bingung atas hidupmu sendiri?”.
Batu pun menjawab pertanyaan dari burung camar itu, “Iya, kau memang benar camar, aku melakukan perjalanan ini untuk mencari arti dari sebuah hidupku ini”.
Mendengar perkataan hal itu dari batu, burung camar pun menawarkan sebuah solusi, “Masalahmu terdengar berat sekali wahai batu, aku memiliki sebuah solusi, bagaimana jika kau ikut terbang bersama kami. Kami selalu terbang mengelilingi dunia, melihat indahnya dunia dari atas, menikmati keindahan alam dari atas langit, mungkin itu akan memberimu perspektif baru yang berbeda mengenai arti hidupmu ini”.
Batu pun menjawab, “Terima kasih sudah mengajakku untuk terbang bersamamu dan teman-temanmu itu, tapi aku minta maaf, aku tidak bisa menerima tawaran dan solusi yang kau tawarkan kepadaku, aku rasa ada sesuatu yang lebih dalam yang harus aku temukan”.
Mendengar jawaban dari batu, burung camar itu pun kembali terbang ke atas langit sambil berkata, “Baiklah jika itu maumu wahai batu, semoga engkau bisa mendapatkan arti dari hidupmu jauh disana!” Batu pun melanjutkan perjalanannya itu lebih jauh lagi, ia merasa yakin bahwa perjalanan ini belum selesai.
Di sepanjang perjalannya, ia mendengar ejekan dari seekor burung elang yang mendarat di hadapannya, yang sombong akan kehidupannya, “Hai Batu, mengapa wajahmu lesu seperti itu? Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sedang menyesali hidupmu saja? Mengingat kau hanyalah sebuah batu yang hanya bisa diam di tempat saja, dan tidak bisa berbuat apa-apa, hahaha! Lihatlah aku (burung elang pun melebarkan sayapnya) aku memiliki sayap yang lebar dan rapat, memungkinkan aku untuk terbang jauh mengelilingi langit dengan tinggi dan kecepatan yang tidak bisa engkau bayangkan! Malangnya nasibmu wahai batu, hahaha!”
Burung elang itu pun kembali terbang jauh ke atas langit. Mendengar ejekan tersebut dari burung elang yang sombong nan angkuh itu, sang batu pun tidak menghiraukannya dan tetap melanjutkan perjalanannya.
Batu pun melanjutkan perjalanannya, ia memasuki sebuah hutan yang rimbun, yang penuh dengan pohonan yang sejuk serta banyak jenis hewan dan tumbuhan yang berada disana. Ketika ia melewati sebuah jalan di samping sebuah sungai yang memiliki air berwarna coklat, ia dikejutkan oleh Buaya sombong berbadan besar yang tiba-tiba muncul dari dasar sungai.
“Hai Batu, lihatlah otot-otot dari badanku yang besar ini! Kau lihat? Ini adalah badanku yang besar, selain badanku yang besar, aku pun memiliki kulit yang keras yang sulit untuk dilukai, serta kuku dan gigiku yang tajam ini dapat dengan mudah melukai mangsa-mangsa yang dijadikan sebagai incaran untuk makananku! Hahaha! Lihatlah dirimu Batu! Kau tidak berguna, kau hanya bisa berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa, menyedihkan sekali hidupmu ini!”.
Setelah Buaya merasa puas mengejek Batu, Buaya itu pun kembali masuk ke sungai. Batu pun diam saja, dan tidak menghiraukan ejekan dari Buaya sombong itu.
Setelah mendengar banyak ejekan dari burung Elang dan Buaya yang sombong itu, ia merasa sangat sedih, dan melanjutkan perjalanan. Ia terus masuk menelusuri isi hutan dengan rasa kehampaan dan kesedihan yang menyelimutinya.
Ia pun merasa lelah, yang kemudian rehat sembari mengistirahatkan tubuhnya, ia tak sadar, bahwa tanah yang ia duduki itu terdapat rumput hijau, “Sakit! Sakit! Tubuhku merasa hancur!”.
Berkata rumput sambil merintih kesakitan. Mendengar rintihan kesakitan yang berasal dari rumput yang ia duduki, Batu pun menggeser tubuhnya ke tanah yang tidak ada rumput di atasnya.
“Maafkan aku wahai rumput, aku tidak sengaja menduduki badanmu yang kecil, aku tidak melihatnya, sekali lagi aku minta maaf wahai Rumput,” kata Batu sambil menyesali perbuatannya itu.
“Tidak apa-apa Batu, memang sepertinya, sudah takdirku untuk diinjak-injak, dan dijadikan makanan oleh hewan-hewan yang menyukaiku,” jawab Rumput.
Mendengar perkataan dari Rumput, Batu pun merasa dirinya lebih beruntung daripada kehidupan Rumput yang selalu terinjak-injak dan dijadikan bahan makanan oleh hewan-hewan di hutan itu.
“Wahai Rumput, mengapa engkau membiarkan hal itu terjadi padamu? Apakah kamu tidak merasa sedih dan menyesal karena hidupmu selalu seperti ini?”
“Memang sudah takdirku untuk diinjak-injak dan dijadikan makanan oleh hewan-hewan di tempat ini. Pada awalnya, aku memang merasa sedih dan menyesali kehidupanku ini, tetapi aku sadar, bahwa aku sangat penting bagi kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya aku, hewan-hewan di hutan ini tidak bisa makan, tanpa adanya aku, bumi ini tandus kekeringan, tanpa adanya aku, ekosistem di dunia ini tidak akan seimbang”.
Mendengar pernyataan dan rasa sabar serta bersyukur dari sang Rumput, akhirnya Batu pun kembali menemukan semangat hidupnya untuk melanjutkan perjalanan menemukan arti hidupnya itu.
Semakin jauh Batu memasuki hutan yang rimbun, pada akhirnya ia bertemu dengan pohon tua yang lebat serta kokoh.
Pohon tua itu berkata, “Sudah puluhan tahun aku hidup dan berdiri di hutan ini, aku telah melihat banyak hal yang terjadi di hutan ini, kekeringan, kebakaran, penebangan liar, sampai penanaman kembali pun sudah aku lihat, dari semua peristiwa itu, akhirnya aku menyadari, bahwa dalam hidup ini ada kalanya kita sedih, ada kalanya kita senang, semua kebahagiaan sejati itu datang dari dalam diri sendiri, kita harus bisa mensyukuri dan ikhlas menerima berbagai keadaan kita, hanya diri kita sendiri yang pantas dan berhak untuk menentukan kebahagiaan dalam diri kita, bukan orang lain”.
Mendengar perkataan dari pohon tua itu, Batu pun merenung, dan berusaha memahami perkataan yang terucap dari pohon tua itu, berkata Batu, “Kau memang benar pohon tua, akhirnya aku sadar dan menemukan arti dari hidupku ini, terima kasih telah memberiku sudut pandang yang baru untuk memandang dunia ini”.
Akhirnya setelah melalui perjalanan yang panjang, Batu pun merasa senang dan lega ketika ia mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selalu membuat hatinya hampa ini.
Ia pun memutuskan untuk keluar dari hutan dan kembali ke pantai ke tempatnya semula. Namun, kali ini merasa berbeda, ia merasa lebih bisa untuk berdamai dan bersyukur atas kehidupannya ini. Batu itu telah menemukan makna hidupnya dalam kesederhanaan dan kehadirannya di dunia ini.