Milenianews.com, Mata Akademisi– Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Dalam Islam, segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari’at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at.
Sebagaimana yang di katakan Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda.
Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang- orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir Ipa wadlan (sebelhakibath yang adh as (pilihan), maupun berupa yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib. Sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul figh
1.FATWA
menurut bahasa berarti jawaban. ( الفتوى )Fatwa mengenai suatu kejadian (peristiwa), yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan Zamakhsyarin dalam kitab al-Kasysyaf dari kata al-fataa/pemuda) dalam usianya, dan )الفتي sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah). Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.
2.QADHA
Qadha adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang hakim atou qadhi atas suatu perkara atau perseteruan dua belah pihak atau lebih.
فصل القاضي بين الخصوم
Keputusan yang ditetapkan oleh gadhi di antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau undang-undang yang berlaku di suatu wilayah hukum.Sebagaimana Qanun, Qadha atau ketetapan yang diambil seorong Qadhi sifatnya mengikat. Orang-orang yang telah ditetapkan hukumnya oleh Qadhi,wajib menjalankannya. Bila ketetapan itu berupa vonis hukuman, seperti penjara, hukum cambuk, hukum rajam dan seterusnya, maka dia wajib menjalaninya.
Berbeda dengan fatwa yang sifatnya tidak mengikat. Seseorang yang meminta fatwa kepada mufti, boleh menjalankan hasil fatwa itu kalau dia mau, tetapi tidak ada kesalahan bila dia menolak isi fatwa itu. Dan atas penolakannya itu, dia tidak terikat dengan sanksi apa pun. Perbedaan lainnya adalah fatwa itu berangkat dari sebuah pertanyaan, di mana seorang mufti kemudian menjawab pertanyaan itu. Sedangkan qadha berangkat dari persengketaan, di mana ada dua belah pihak atau lebih yang bersengketa atas suatu masalah, lalu qadhi memutuskan perkara di tengah mereka. Persamaan antara fatwa dengan qadha, antara lain sama-sama bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam penunjang lainnya.
3.TAQLID
Kata taqlid berasal dari kata qaladah (kalung), yaitu sesuatu yang lain dikalungi olehnya. Sedangkan definisi taqlid menurut ulama adalah:
- Al-Ghazali mendefinisikan taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah.
- Al-Asnawi mendefinisikan taqlid adalah mengambil perkaraan orang lain tanpa dalil.
- Ibn Subki mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkaraan tanpa mengetahui dalil
Hukum bertaqlid itu ada yang haram dan haram kita memberikan fatwa berdasarkan paham tersebut. Namun, ada yang wajib, dan ada pula yang boleh kita anut. Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga jenis, yaitu:
- Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang orang dahulu kala yang bertentangan dengan Alquran dan hadis. Hal ini terdapat dalam OS. Al-Baqarah: 170, yang berarti : “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah SWT.” -Mereka menjawab, “(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya), padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan mendapat petunjuk.”
- Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
- Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya,Seperti menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian Berhala tersebut.
4.TALFIQ
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu.Adapun secara istilah talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contohnya seperti dua orang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah, tanpa wall dan saksi, cukup dengan melaksanakan pengumuman saja. Dasar pendapat mereka adalah dalam hal wali mereka mengikuti pendapat madzhab Hanafi. Menurut pendapat Hanafi syah nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat madzhab Maliki. Menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan pengumuman saja. Bila demikian hanya dapat disimpulkan bahwa sah nikah tanpa wall dan saksi asal ada pengumuman saja.
Hukum Talfiq:
Para ulama berpendapat mengenai hukum Talfiq. Al-asnawi dalam kitabnya Nihayah Al-Sul menyatakan bahwa ulama berpendapat, Talfiq yang mengarah kepada taffiq dalam satu masalah tidak dibenarkan. Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq, semata-mata untuk melaksanakan pendapat itu dan mengambil apa yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya. Akan tetapi ada talfiq yang tujuanya untuk mencari yang ringan-ringan dalam arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah untuk dikerjakan. Sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini dicela para ulama. Jadi talfiq pada dasarnya kembali pada niat.
Penulis: Muhammad Zafran Jundana, Mahasiswa STEI SEBI Depok