Perbedaan Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murjiah tentang Status Al-Quran serta Relevansinya dalam Realitas Kekinian

Perbedaan Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Murjiah tentang Status Al-Quran serta Relevansinya dalam Realitas Kekinian

Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam dinamika pemikiran Islam klasik, persoalan status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau qadim—pernah menjadi perdebatan teologis yang tajam. Tiga aliran utama Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murjiah memiliki argumen masing-masing. Pandangan mereka mencerminkan cara berbeda dalam membaca hubungan antara wahyu, akal, dan realitas. Lebih dari sekadar perdebatan tekstual, perbedaan ini mencerminkan respons umat Islam terhadap berbagai isu. Mulai dari radikalisme, pengembangan sains, toleransi beragama, hingga perumusan hukum dalam masyarakat modern.

Baca juga: Passion VS Keta’atan: “Merancang Ideal dengan Pendekatan Al-Maturidi yang Menyelaraskan Akal dan Wahyu”

Mu’tazilah menjadi akal sebagai kunci pemahaman terhadap wahyu

Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menekankan keesaan Tuhan secara mutlak, menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Menurut mereka, menganggap Al-Qur’an qadim akan membuka ruang bagi adanya dua entitas kekal, yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Di sinilah akal menjadi alat utama dalam memahami agama. Pendekatan ini menemukan gema dalam semangat Islam modern yang menjunjung tafsir kontekstual terhadap teks suci, seperti dalam diskursus hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Di era sekarang, pendekatan rasional seperti ini tampak dalam upaya pembaruan hukum Islam yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

Di sisi lain, Asy’ariyah yang lebih tekstualis melihat Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qadim, bagian dari sifat Allah yang tidak tercipta. Baginya, menyebut Al-Qur’an makhluk berarti mengakui adanya perubahan dalam diri Tuhan, suatu hal yang mustahil bagi Zat Yang Maha Sempurna. Pandangan ini diikuti oleh banyak kalangan Muslim konservatif yang cenderung berpegang teguh pada makna literal teks. Dalam isu-isu seperti hukuman mati bagi murtad atau larangan terhadap kelompok LGBT, pendekatan ini enggan membuka ruang penafsiran baru. Bahkan dalam konteks sains, seperti teori evolusi atau bentuk bumi, mereka cenderung bersikap defensif terhadap temuan yang dianggap “bertentangan” dengan nash.

Sementara itu, Murjiah memilih jalan tengah. Mereka menekankan iman sebagai keyakinan dalam hati, bukan perdebatan teologis yang bisa menimbulkan konflik. Prinsip irja’, yaitu menunda penghakiman kepada Allah, menjadikan aliran ini lebih inklusif dan toleran. Dalam konteks kekinian, pendekatan Murjiah sejalan dengan semangat moderasi Islam yang menekankan pentingnya hidup damai antarumat beragama, tanpa kekerasan atas nama keyakinan. Murjiah mengingatkan bahwa esensi agama adalah keyakinan, bukan klaim kebenaran tunggal yang memecah belah.

Perbedaan pandangan teologis berpengaruh terhadpa sikap terhadap radikalisme, sains, dan hukum

Perbedaan pandangan antara ketiga aliran ini bukan hanya bagian dari sejarah teologi Islam, tetapi juga memiliki implikasi langsung dalam kehidupan umat saat ini. Dalam konflik antarmazhab, narasi tentang status Al-Qur’an kadang dijadikan pembenaran untuk kekerasan, seperti dalam kasus ekstremisme ISIS. Dalam relasi antara agama dan sains, pendekatan rasional Mu’tazilah tampak lebih terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara dalam aspek politik dan hukum, negara-negara yang mewarisi semangat Asy’ariyah lebih cenderung menegakkan syariat secara ketat, berbeda dengan pendekatan Turki sekuler yang lebih fleksibel.

Untuk merespons realitas ini, umat Islam perlu mengedepankan dialog lintas mazhab dan memperkuat pendidikan Islam yang moderat dan historis. Sejarah pemikiran Islam tidak boleh diajarkan dengan semangat fanatisme, melainkan sebagai warisan intelektual yang memperkaya pemahaman dan toleransi. Organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa menunjukkan bahwa perbedaan teologis tidak menghalangi kolaborasi dalam kerja-kerja sosial. Lebih dari itu, penting untuk memisahkan keyakinan individu dari hukum publik agar tidak terjadi pemaksaan yang justru menjauhkan esensi agama itu sendiri.

Maka, dalam konteks membangun karier dan masa depan, umat Islam bisa belajar dari pendekatan Al-Maturidi yang berusaha menyeimbangkan antara akal dan wahyu. Karier ideal bukan semata tentang passion, tetapi juga tentang ketaatan dan kepekaan terhadap nilai-nilai spiritual. Dalam pilihan-pilihan hidup, akal digunakan untuk merancang strategi, sementara wahyu menjadi kompas moral yang menjaga arah.

Baca juga: MTQ: Api Iman Atau Api Ambisi? Perspektif Aliran Murji’ah dan Asy’ariah

Harmoni antara akal dan wahyu menjadi kunci menapaki kehidupan yang bermakna

Seperti perahu yang mengarungi samudera, manusia membutuhkan layar dan kemudi. Layar adalah akal yang menangkap angin peluang, dan kemudi adalah wahyu yang menjaga arah perjalanan. Tanpa keduanya, perjalanan bisa tersesat atau tenggelam dalam badai zaman. Inilah yang diajarkan Al-Maturidi: bahwa harmoni antara akal dan wahyu bukan hanya menjawab perdebatan teologis, tetapi juga menjadi fondasi dalam merancang kehidupan yang bermakna, termasuk dalam menapaki karier di era modern.

Penulis: Abdul Rasyid, Dosen serta Zienatun Mufidah, Wafa Nailah, Diffenda Arbitri, Ulya Amaliasari, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *