Faham Jabariyah dan Qodariyah: Dari Akar Sejarah Hingga Relevansi Masa Kini

Mata Akademisi, Milenianews.com – Jabariyyah merupakan paham yang berpendapat bahwa tindakan manusia sepenuhnya ditakdirkan oleh Tuhan untuk menyangkal hak pilihan individu. Jabariyyah memiliki dua jenis aliran yaitu, Jabariyyah murni dan Jabariyyah Moderat. Yang dimana Jabariyyah murni berpendapat bahwa manusia sendiri tidak ada dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan atau wewenang untuk melakukan apapun. Sedangkan Jabariyyah Moderat berpendapat bahwa tindakan manusia ada dan tidak dibatasi olehnya.

Paham Jabariyyah ini sudah muncul di zaman para Nabi, namun telah menjadi satu aliran tersendiri sejak zaman pemerintahan abassiyah abad ke-22 hijriyah. Paham ini dipelopori oleh Jaham bin Sufyan, seorang tokoh jabariyyah Persia yang memiliki pemahaman bahwa apa yang terjadi pada diri seorang hamba semuanya adalah kerena kehendak Allah tanpa ada ikut campur usaha hamba itu sendiri karena adanya alasan bahwa tuhan harus bersih dari semua sifat yang dimiliki manusia.

Baca juga: Tuhan dalam Gimik Influencer

Sedangkan Qodariyyah memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia adalah seluruhnya karena kehendak dan usaha pribadi mereka tanpa ada campur tangan dari takdir Allah. Salah satu Aliran Qodariyyah, Ali Mustafa Al Ghurabyia, menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih apa yang mereka lakukan karena jika mereka tidak melakukan apa yang harus mereka lakukan, mereka sama dengan benda mati lainnya. Sehubungan dengan konsep takdir, aliran Qodariyyah berbeda dengan konsep yang digunakan bangsa Arab pada saat ittu yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditetapkan terlebih dahulu.

Paham Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Tokoh utamanya yakni, Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi. Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua sesudah Nabi SAW. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato dengan tata bahasanya dapat menarik perhatian banyak orang. Ma’bad Al-Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj pada tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’ats menentang kekuasaan bani Umayyah. Sedangkan ghailan Al-Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/ 724-743 M), khalifah dinasti Ummayyah yang kesepuluh.

Konflik sejarah ini memiliki implikasi untuk isu-isu kontemporer, seperti tanggapan terhadap kebijakan pemerintah selama krisis seperti pandemi COVID-19, dimana penganut Jabariyyah dapat menolak upaya pribadi, hanya mengandalkan kehendak ilahi, sedangkan pengikuit Qodariyyah dapat menganjurkan tindakan proaktif tanpa mengakui bimbingan ilahi. Interprestasi modern menyarankan sintesis dari pandangan-pandangan ini, mempromosikan pendekatan-pendekatan yang seimbang terhadap tawakal (berserah pada Tuhan), yang menggabungkan upaya dengan ketergantungan pada kehendak ilahi sehingga mengatasi tantangan kontemporer seperti kecemasdan sosial dan dinamika tempat kerja, integrasi ini mencerminkan pemahaman yang lebih luas tentang teologi islam, menekankan pentingnya kedaulatan ilahi dan agensi manusia dalam membentuk karakter dan perilaku sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *