Puisi  

Patah

patah

Oleh: Hadi Suroso

Hujan pagi ini, kuyup basahi daun-daun pelataran samping rumah, pun halnya dengan kelopakku yang tak kalah kuyup oleh pedihnya melepasmu.  Kata terakhir “maaf ” yang kamu ucap adalah sesak yang kubalut di senyum kepura-puraan saat kamu mulai menjauh pergi.

Aku hanya tak ingin tampak lemah olehmu dengan perpisahan ini, meski hancurnya hatiku sungguh tak bisa terutarakan.

Entah apa yang ada di pikiranmu. Mungkin setiap langkah kakimu adalah irama derap yang kamu tujukan untuk menghapus jejak kita kemarin_semata untuk melupakanku.  Ataukah mungkin sekedar meluruhkan secuil rasa bersalahmu dengan membenamkannya dalam-dalam di segenap tega?

Apapun itu, tak ada artinya juga aku coba menerka- nerka. Yang terjadi kamu telah memilih pergi. Dan aku, hanyalah derai dari menahan perihnya sayatan luka yang kamu goreskan.

Di runyam yang menghujani, aku hanya bisa termangu menatap punggungmu yang kian menjauh, meski masih kugenggam secercah harapku kamu dapat menoleh ke belakang, namun nyatanya langkahmu malah lebih bergegas untuk dapat segera menghilang dari pandanganku. Aku begitu naas terhempas di kesedihan yang mendalam. Lalu kemana aku dapat menemukan penawar untuk sekedar meredakan rasa sakit?

Baiklah, aku akan coba untuk tegar, biarlah kulumat perih ini sendiri hingga hambar tak lagi merasakan, walau entah berapa lama aku perlu waktu untuk bisa merapikan kembali hatiku yang patah berantakan. Yang memilih pergi biarkan pergi, buat apa aku menahan hati yang tak lagi untukku.

Aku yakin, kelak semua akan kembali menjadi biasa. Bahkan semua tentangmu akan menjadi sekedar puing-puing ingatan usang yang tak lagi menyulut rindu di setiap sepiku, sebab aku kamu tak lagi menjadi harapan pada untaian semoga dari do’a-do’a yang aku munajadkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *