Milenianews.com, Mata Akademisi – Menjelang senjakala kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang nomor satu di Indonesia, banyak lapisan masyarakat mulai dari dosen, guru, pengusaha, pegawai, tukang cukur, tukang sayur, tukang ojek, ibu rumah tangga, bocil TikTok, dan juga beberapa partai politik yang mempertanyakan keputusan-keputusan yang diambil pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya.
Pasca terpilih sebagai presiden pada pemilu 2014, wajah Jokowi muncul di sampul majalah Time dengan tajuk utama: “A New Hope” – Harapan Baru. Banyak orang di luar negeri menyejajarkan Jokowi dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Obama populer karena berasal dari kelompok minoritas. Sedangkan Jokowi populer karena terkesan datang dari kelompok bawah (Portal-Islam.id: 2021).
Baca juga: Gen Z Makin Seneng Politik? Apa Faktornya?
Jokowi dipersepsi sebagai sosok populis. Dia dekat dengan wong cilik dan pembawaan dirinya yang sederhana adalah antitesa dari mayoritas pemimpin. Khususnya pejabat publik yang sangat elitis. Maka, tidak heran jika majalah Time memasang tajuk “A New Hope” karena portofolio Jokowi yang membangkitkan optimisme. Khususnya akan hadirnya sebuah pemerintahan yang pro rakyat dan berkomitmen penuh pada demokrasi. Namun, optimisme yang menyeruak di awal kepemimpinan Jokowi ternyata tidak lebih dari sekadar utopia. Jokowi, di penghujung kekuasaannya mulai tercium “borok” yang selama ini disembunyikan di depan muka demokrasi.
Pentingnya Kontrol Bagi Kekuasaan
Menurut Firman Noor, selaku pengamat politik dari BRIN yang dikutip Milenianews, salah satu yang paling disorot dari pemerintahan Jokowi adalah bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu dipimpin oleh ipar Jokowi, Anwar Usman. Hal tersebut untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden dengan menghapus batasan usia minimum.
Jokowi dinilai berupaya meneruskan ambisi dan warisannya dengan mengestafetkan tampuk kekuasaan kepada putranya yang mendampingi calon presiden Prabowo Subianto–pesaingnya dalam dua pemilu sebelumnya. Itulah mengapa isu “Jokowi tiga periode” sempat berembus, tetapi kemudian ditentang oleh banyak pihak.
“Semakin lama Jokowi semakin berkembang, berani taruh orang demi kepentingan politiknya, sehingga dia disebut sebagai king maker,” kata Firman.
Baca juga: Pengertian Demokrasi: Fondasi Pemerintahan Rakyat
Dengan tingkat kepuasan yang tinggi, setidaknya di awal masa jabatannya, pemerintahan Jokowi nyaris tanpa kontrol. Partai-partai menyukai status quo dan para pemimpin partai menyadari bahwa mereka sudah mendapat porsi kekuasaan yang adil. Di sisi yang lain, sang presiden semakin memperkuat posisinya. Karena pengaruh jabatan ia bisa mendudukkan orang-orangnya di kepolisian dan militer.
Keleluasaan yang dinikmati oleh Jokowi nyaris mirip seperti yang dinikmati oleh Soeharto pada zaman Orde Baru. Hanya saja, kali ini Jokowi tidak memakai senjata untuk mencapai tujuan-tujuannya. Ia sangat mahir melakukan negosiasi kepada para elite dan membangun dukungan dari bawah.
Sehingga kita melihat bahwa banyak orang memaklumi langkah-langkah nepotis Jokowi seperti ketika ia melobi agar anak dan menantunya bisa dicalonkan menjadi wali kota. Orang memaafkannya karena nepotisme marak di tingkat pemilihan kepala daerah. Jika keluarga politikus lain boleh melakukannya, mengapa Jokowi tidak?
Pemakluman inilah racun sesungguhnya bagi demokrasi, kita hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menunggu racun itu menyebar. Serta mematikan dari apa yang kita sebut demokrasi suatu bangsa. Maka dari itu, di sini peran dari oposisi penting untuk mengkritik kebijakan yang diambil oleh pemerintahan. Dengan dari situ masyarakat menjadi lebih tahu bahwa hal tersebut tidak “wajar-wajar” saja.
Apa itu Oposisi?
Menurut salah seorang pakar politik, Eep Saifullah Fatah, pengertian oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah benar. Oleh karenanya, makna oposisi adalah melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar.
Di sisi lain, dalam ilmu politik, definisi oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Selain itu, oposisi kerap diartikan sebagai golongan yang berseberangan dengan pemerintah.
Namun oposisi sebetulnya memiliki fungsi untuk melakukan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, atau kebijakan pemerintah berdasarkan perspektif ideologis. Dalam dunia politik, dapat dikenali pula bahwa oposisi adalah kelompok atau partai yang tidak menyetujui atau tidak mendukung atas kebijakan politik yang sedang disampaikan.
Tim oposisi ini sangat berperan penting dalam dunia politik, yaitu untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar tetap sesuai dengan koridor hukum dan nilai-nilai kebangsaan.
Tanda Bangkitnya Oposisi di Akhir Masa Jabatan Jokowi
Hal menarik diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar alias Uceng, ia berbicara tiga kesempatan yang bisa diambil oleh masyarakat sipil pasca pemilu 2024. Pertama adalah menguatkan kembali opisisi yang telah lama mati.
Menurutnya selama ini oposisi pemerintahan telah dipangkas hingga tak berkutik. Kemudian baru kembali muncul tanda kebangkitan sejak berbagai persoalan demokrasi jelang Pemilu 2024 itu muncul.
“Baru pertama kali lagi setelah 9 tahun 4 bulan ada rombongan ratusan universitas menyampaikan hal yang sama tentu selain UGM, itu harus disyukuri dan itu harus kita pergunakan dengan baik. Opisisi bangkit itulah tanda demokrasi Insya Allah akan menuju lebih sehat,” ucapnya.
Baca juga: Demokrasi Nasi
Kedua, ada arus kekuatan demokrasi yang tidak demokratis selama ini. Hal tersebut adalah pertanda bahwa semua pihak harus membangun ulang arus demokrasi tersebut.
Ketiga, Uceng tak menutup soal kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa mengubah keadaan sekarang ini. Bisa saja MK pada akhirnya nanti membuat keputusan yang tak disangka semua pihak.
“Kita harus mengembalikan arusnya ke dasar utamanya, itu panggilan kita semua. Panggilan kita semua bahwa jangan biarkan demokrasi menuju arus yang terbaik. Arus itu tetap harus kembalikan ke jalan yang tepat,” pungkasnya.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.