Milenianews.com, Mata Akademisi– Dalam ranah keilmuan fiqh, Kaidah Al Yaqinu La Yuzali Bi Sakk muncul sebagai suatu landasan bagi para fuqaha’ (ahli fiqh) dalam merumuskan prinsip-prinsip hukum Islam. Kaidah ini, yang dapat diartikan dari segi bahasa sebagai asas atau pokok, dan dari segi istilah sebagai praktik dari masalah-masalah pokok yang kemudian diaplikasikan pada perkara-perkara cabang (furu’), mempunyai peranan penting dalam menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan agama. Penguasaan terhadap kaidah-kaidah fiqh menjadi kunci utama dalam memahami dan menguasai ilmu fiqh itu sendiri.
Kaidah al-yaqinu la yuzalu bi sakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan) yang terdiri dari kata keyakinan (al-yaqin) yang artinya kepastian tetap tidaknya sesuatu, sedangkan keraguan (assyak) artinya ketidak pastian antara pasti-tidaknya sesuatu. Kaidah ini mempunyai arti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur di sekitarnya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan dengan keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, tetapi hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.
Dalam pemahaman hukum Islam, terdapat suatu konsep yang berupa kemudahan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin timbul. Kaidah ini menegaskan kepastian hukum dengan menolak keraguan, membimbing umat Islam untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti. Hal ini diharapkan dapat menghilangkan beban dan kesulitan dalam menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, baik dalam konteks aqidah maupun ibadah.
Penerapan Kaidah Al Yaqinu La Yuzali Bi Sakk dalam Fatwa MUI
- Fatwa DSI MUI NO: 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
Dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli emas secara tidak tunai dapat dilakukan asalkan memenuhi beberapa prinsip yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI. Fatwa ini memberikan pedoman bagi masyarakat Muslim dalam melakukan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, dengan mempertimbangkan pandangan Islam terhadap transaksi tersebut.
Dalam fatwa ini, DSN-MUI menegaskan bahwa emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai dapat dijadikan jaminan (rahn), namun tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan. Hal ini menunjukkan bahwa DSN-MUI memperhatikan aspek keamanan dan keadilan dalam transaksi jual-beli emas secara tidak tunai. Oleh karena itu, sebelum melakukan transaksi jual-beli emas secara tidak tunai, sebaiknya kita memahami prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI dan memastikan bahwa transaksi tersebut memenuhi aturan yang berlaku.
- Fatwa DSI MUI NO: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah
Dalam fatwa ini, Akad Ju’alah merupakan kewajiban seseorang untuk memberikan kecukupan tertentu atas pekerjaan yang mungkin bersifat spesifik atau tidak terduga. Penggunaan Akad Ju’alah diperbolehkan dalam situasi tertentu, seperti ketika individu membuthkan bantuan untuk mengembalikan barang yang hilang dan tidak menemukan bantuan sukarela tanpa keduniawian. Saat menjalankan transaksi dengan prinsip syariah, perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip bermuamalah sesuai dengan ajaran Islam.
Salah satu prinsip utama adalah bahwa niat memegang peranan kunci dalam menentukan keberhasilan suatu amalan, dan seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niat yang ditanamkan. Oleh karena itu, menjaga niat yang sesuai dengan prinsip syariah menjadi hal yang penting dalam melaksanakan transaksi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
- Fatwa DSI MUI NO: 67/DSN-MUI/III/2008 tentang Anjak Piutang Syariah
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan fatwa tentang Anjak Piutang Syariah sebagai panduan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi anjak penagihan yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam fatwa tersebut, DSN-MUI menegaskan bahwa transaksi anjak penagihan harus mematuhi prinsip-prinsip syariah, seperti tidak memuat unsur riba, gharar, dan maisir.
Selain itu, DSN-MUI juga sangat memerhatikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam melakukan transaksi anjak piutang dan menegaskan bahwa transaksi anjak piutang harus dilakukan dengan cara yang jelas dan transparan, serta tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi. Dengan adanya fatwa ini, diharapkan masyarakat dapat melakukan transaksi anjak piutang yang sesuai dengan prinsip syariah dan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Aplikasi kaidah fiqhiyyah “Al Yaqinu la Yuzalu bi Sakk” memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan fatwa oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Prinsip kepastian hukum Islam, yang tidak dapat dihilangkan dengan keraguan atau keraguan, menjadi dasar utama dalam proses fatwa.
Pemahaman terhadap kaidah fiqhiyyah ini memberikan landasan yang kokoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sekaligus menunjukkan relevansinya dalam mendefinisikan pandangan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, upaya untuk memahami dan menerapkan kaidah “Al Yaqinu la Yuzalu bi Sakk” dalam fatwa DSN MUI tidak hanya merupakan langkah menuju kepastian hukum, tetapi juga sebagai wujud kontribusi terhadap kemajuan pemikiran hukum Islam di tengah dinamika masyarakat modern.
Penulis: Fira Azkiya Fikriyah, Mahasiswa STEI SEBI