Milenianews.com, Makasar – Mappalanca atau adu betis merupakan tradisi unik masyarakat Bone. Adu betis, adat turun temurun yang terus diwariskan.
Kegiatan adat ini sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Bone karena sudah diberikan kelimpahan hasil panen. Sebelum memulai ritual adat ini biasanya dilakuan pembacaan doa oleh pemuka agama setempat dan para tokoh adat.
Baca Juga : Tunis Jadi Kota Budaya Islam Saat Ini
Dilakukan Di Pemakaman
Kegiatan adat ini merupakan ajang berkumpul semua warga disertai makan bersama dan juga bentuk kebersamaan atas limpahan hasil bumi yang ada sebagai pertanda syukur kepada penguasa alam.
Mappalanca diadakan di tempat khusus, di sebuah daerah permakaman keramat di kawasan yang terpisah dengan permukiman penduduk. Makam berada pada sebuah bangunan yang di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon asam yang besar dan rindang.
Makam yang dipercaya sebagai makam Gallarang Monconloe, leluhur desa Moncongloe sekaligus paman dari Raja Gowa Sultan Alauddin
Mappalanca Bukan Lomba

Tradisi unik masyarakat Bone, adat ini dilakukan masyarakat untuk mengingat jasa leluhur yang sudah menjaga kerajaan Gowa dengan jiwa patriot.
Baca Juga : Mahasiswa Harus Menjadi Penggerak ‘Desa Wisata’
Tradisi unik Masyarakat Bone digunakan untuk mengingatkan tentang leluhur yang berjiwa patriot, sebagai keturunan patriot harus mewarisi kekuatan fisik salah satunya dengan pertandingan adu betis.
Mapplanca digelar selama empat jam dari siang hingga menjelang sore. Sebelum adu betis, peserta mempersiapkan diri dengan ritual menjampi-jampi bagaian betisnya. Ritual adat ini diyakini untuk menghindarkan mereka dari petaka. Karenanya mappalanca atau adu betis tidak dianggap sebagai kompetisi atau perlombaan.
Tidak jarang warga yang mengalami patah tulang dalam tradisi ini. Tidak ada pemenang dalam tradisi adat adu betis ini. Semua dinilai sebagai sikap patriotisme serta sikap kebersamaan.
Mappalanca diikuti dua tim orang dewasa, anak-anak tidak diperbolehkan ikut. Satu Tim terdiri dari dua orang. Dua orang pihak penendang sedangkan dua orang lainnya memasang kuda-kuda terkuat agar tidak limbung saat betisnya menerima hantaman kaki lawan, biasanya banyak peserta yang mengeluh keseleo saat mengikuti tradisi unik ini.