Milenianews.com, Mata Akademisi – Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia memegang peran penting dalam menopang ekonomi nasional. Mereka menggerakkan roda perekonomian seperti akar yang mengokohkan pohon raksasa—tidak terlihat, tetapi menyimpan kekuatan luar biasa. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, sektor ini menyumbang sekitar 61,07% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional. Dengan lebih dari 64 juta unit usaha, pelaku UMKM tidak hanya menghidupkan ekonomi rakyat, tetapi juga menjaga stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional.
Namun, saat dunia terus melaju di jalur digital, UMKM harus mengikuti arus. Transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Jika tidak melakukan pembaruan, mereka akan tertinggal dalam persaingan ekonomi global yang kini bertumpu pada teknologi dan konektivitas. Sayangnya, banyak pelaku UMKM yang berjuang keras mengejar digitalisasi. Rendahnya literasi digital menjadi tantangan utama yang harus mereka atasi.
Baca juga: Ekonomi Syariah Ternyata Bisa Adaptif di Era Digital!
Kesadaran Digital yang Masih Rendah
Sebuah riset dari Google, Temasek, dan Bain & Company (2022) menunjukkan bahwa meskipun lebih dari 70% UMKM di Asia Tenggara menyadari pentingnya digitalisasi, hanya 16% yang benar-benar menerapkannya secara optimal. Di Indonesia, jumlah itu bahkan lebih kecil. Banyak pelaku UMKM belum menyadari bahwa teknologi bisa mempercepat efisiensi operasional, memperluas pasar, dan mempermudah akses pembiayaan. Tanpa pemahaman yang cukup, mereka justru menganggap teknologi sebagai hambatan, bukan solusi.
Kesenjangan infrastruktur digital juga menghambat kemajuan UMKM. Walaupun penetrasi internet nasional telah mencapai 78%, persebarannya masih belum merata. Pelaku UMKM di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) kesulitan mengakses koneksi stabil dan terjangkau. Sementara itu, pelaku usaha di desa-desa menghasilkan produk bernilai tinggi, seperti tenun Sumba, kopi Toraja, kerajinan bambu Tasikmalaya, dan garam organik Madura. Sayangnya, mereka gagal memasarkan produk ke dunia luar karena teknologi belum menjangkau tempat mereka.
Masalah klasik seperti keterbatasan modal dan sumber daya manusia juga menghalangi proses digitalisasi. UMKM harus mengeluarkan biaya untuk perangkat keras, membayar langganan perangkat lunak, dan melatih SDM. Padahal, 98% UMKM Indonesia termasuk usaha mikro dan mereka mengelola usaha hanya dengan dua hingga tiga orang. Tanpa bantuan eksternal, mereka merasa digitalisasi terlalu mahal untuk dijangkau.
Di sisi lain, serangan siber juga mengintai pelaku UMKM. Laporan Kaspersky (2023) mencatat bahwa serangan siber terhadap UMKM di Asia Tenggara meningkat lebih dari 80% dalam satu tahun terakhir. Banyak pelaku usaha mengabaikan keamanan data dan tidak menggunakan kata sandi yang kuat. Mereka melupakan fakta bahwa reputasi digital sangat rapuh—sekali tergores, sulit dipulihkan. Jika terjadi kebocoran data pelanggan, mereka bisa kehilangan kepercayaan konsumen dan merugi besar.
Meski tantangan menggunung, pelaku UMKM sebenarnya memiliki peluang besar untuk tumbuh melalui digitalisasi. Teknologi digital bisa membuka akses pasar global, menghapus batas geografis, dan mendekatkan konsumen dari seluruh dunia. Dengan bergabung di platform seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, bahkan Amazon Global, pelaku UMKM bisa memasarkan produknya dari desa ke dunia. Ini adalah revolusi distribusi yang sebelumnya hanya menjadi mimpi pelaku usaha tradisional.
Lebih dari Sekadar Jualan Online
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, menegaskan bahwa “Digitalisasi UMKM bukan hanya tentang berjualan online, tetapi tentang membangun ekosistem usaha yang adaptif dan berdaya saing.” Kini, banyak pelaku UMKM menggunakan aplikasi pencatatan keuangan digital seperti BukuWarung dan Majoo untuk mengelola keuangan secara real time, menganalisis data penjualan, serta meningkatkan kelayakan kredit. Menurut OJK, pada tahun 2023, penyaluran pinjaman fintech kepada UMKM mencapai Rp39,5 triliun, yang menunjukkan tingginya potensi integrasi UMKM dengan teknologi.
Pemerintah juga mengambil langkah strategis. Mereka meluncurkan program seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), digital onboarding, dan pelatihan kolaboratif dengan Google dan Shopee. Namun, pelaku UMKM masih membutuhkan pendampingan berkelanjutan. Banyak yang kembali ke cara lama setelah pelatihan karena mereka tidak mendapatkan bimbingan lanjutan. Ibarat api yang baru menyala, mereka membutuhkan bahan bakar agar nyala tetap terjaga.
Digitalisasi UMKM tidak akan berhasil jika hanya dipaksakan dari atas ke bawah. Perlu pendekatan akar rumput yang membangun sense of ownership, rasa memiliki, dan percaya diri dari dalam komunitas itu sendiri. Salah satu ide yang perlu diterapkan adalah membangun “desa digital berbasis komunitas UMKM”, yaitu kawasan di mana pelaku usaha saling terhubung, berbagi praktik baik, dan mendapat pendampingan langsung dari mentor lokal. Dengan begitu, transformasi digital bukan sekadar instruksi pemerintah, tapi lahir dari kesadaran bersama.
UMKM juga perlu mengembangkan budaya digital lokal, bukan sekadar meniru cara perusahaan besar. Misalnya, dengan membuat katalog produk lewat WhatsApp Business, merekam testimoni pelanggan secara sederhana, atau memanfaatkan grup komunitas untuk berbagi info pelatihan dan peluang pasar. Sering kali, solusi besar dimulai dari langkah kecil yang relevan dengan konteks lokal. Selain itu, sudah saatnya UMKM mulai membentuk koperasi digital sebagai wadah kolaboratif. Dalam koperasi ini, pelaku UMKM bisa berbagi biaya langganan perangkat lunak, memanfaatkan satu akun media sosial bersama, atau bahkan menyewa tenaga IT secara kolektif.
Dengan berbagi beban, mereka bisa mengurangi biaya dan memperbesar daya saing. Tak kalah penting, pelatihan digital harus disesuaikan dengan kebutuhan sektor usaha. Pelaku usaha kerajinan, misalnya, lebih membutuhkan pelatihan foto produk dan marketplace, sementara pelaku kuliner perlu belajar tentang pemesanan online dan manajemen ulasan pelanggan.