Angan Bagian 1

Cerbung Angan

Oleh : Anisa SI

Adhara berdecak kesal dengan apa yang Ia lakukan sekarang. Berlomba-lomba meminta tanda tangan, berfoto,berlari kesana-kesini, bahkan lebih parah lagi sampai melayani senior-senior nya yang berlaga so bossy.

Hal yang menurutnya sungguh tidak penting.  Masa seperti ini yang paling ia benci. Kenapa di hari pengenalan sekolahnya ia harus jadi babu. Toh, ia sudah di terima di sekolah ini. Jadi, untuk apa masa penyiksaan ini di lakukan. Andai saja sekolah ini milik ayahnya, ia tidak perlu repot-repot membuang waktu seperti ini.

 

“Duh… enak yah, yang lain sibuk ngerjain tugas. Ini malah enak-enakan ngadem di bawah pohon, sambil minum es tea. Kesambet penunggu pohon baru tau rasa

 

Cibir seseorang, dengan suara yang begitu nyaring terdengar di telinga Adhara. Ia pun mendongak untuk melihat si pemilik suara tersebut.

 

“Ck. Baru aja gue ngadem dikit, udah ketauan mak lampir aja. Terus, apa katanya tadi? Kesambet penunggu pohon? Yang ada penunggu pohon yang takut ketemu lo, mak lampir.” Gerutu Adhara dalam hati.

“Maaf kak! lagian udah beres semua kok, ini aja baru duduk.”

 Ucap Adhara yang berbeda dengan isi hatinya. Memang Adhara bermuka dua.

“Ngeles aja lo.” Sinis orang tersebut, sambil melenggang pergi meninggalkan Adhara yang menunduk karena takut.

Ia pun mendongak kembali, terlihat orang yang mencibirnya sudah pergi.

“Dasar Kakak sableng. Mak lampir!”

Makinya pada orang yang Ia sebut Kakak. Selain bermuka dua, ternyata Adhara juga seorang pengecut.

“Astaghfirulloh, ngehujat lagi.” Adhara beristighfar sambil mengelus-ngelus dadanya.

 

Setelah Ia akan beranjak pergi, sebelum hantu penunggu pohon itu benar-benar ada. Ia melihat si muka datar. Ya, teman satu gugusnya. Si dingin dari pantai selatan. Ia pun bergegas berlari untuk mengikutinya.

 

“Hey…” Sapa Adhara setelah mensejajarkan langkahnya dengan si muka datar.

Yang di sapa hanya melihat sekilas lalu melenggang pergi.

Hadeuh, Ya Allah ampuni hamba-Mu yang satu itu. Masa punya mulut gak di pake.” Ia bergumam, yang terdengar oleh orang yang di maksud.

 

Orang yang dimaksud hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis, saking tipisnya hingga tak terlihat.

Di hari terakhir MOS nya, ia merasa begitu lelah sekaligus bahagia. Lelah karena tugasnya semakin berat dan bahagia karena ia tidak akan mengalami pembullyan lagi. Walaupun gak di bully sih. Tapi kan sama saja di suruh-suruh. Sebegitu bencinya ia pada seniornya, sampai melebih-lebihkan apa yang seniornya lakukan. Begitu burukkah Adhara. Entahlah, Adhara sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya. Jangan salahkan dirinya, salahkan saja kedua orang tuanya yang telah melahirkan anak yang begitu manis namun, bersikap bar-bar dan sembrono sepertinya.

 

“Assalamu’alaikum, nu geulis pulang! Yuhu… ”

 

Adhara memang bisa berbahasa sunda, karena ia berasal dari Bandung. Namun, karena Ayahnya memiliki pekerjaan di Jakarta, Ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah dan menetap di Jakarta mengikuti Ayahnya.

Teriakannya begitu menggema, sampai seluruh penghuni rumah mendenngarnya. Bayangkan saja, jika ada yang sakit di dalam rumahnya, jangan harap orang tersebut akan sembuh jika ada Adhara di dalamnya.

 

“Astaghfirulloh, kamu itu perempuan, kenapa harus teriak-teriak? Ini bukan hutan Adhara!”

 

Ibunya menghampiri sambil membawa spatula dari dapur.

Memang, kalau Adhara berteriak di dalam rumah, suaranya sampai terdengar kemana-mana. Mungkin terdengar sampai liang tikus di dapurnya.

 

“Hehe…” Balas Adhara dengan cengiran khasnya.

“Cepet makan, terus mandi,ter-“ titah ibunya yang langsung di potong Adhara.

“Masa iya sih mah udah makan terus mandi”

“Emang kenapa kalau udah makan terus mandi?” Tanya ibunya yang mulai berpikir dengan omongannya sendiri.

“ya janganlah mah, nanti makakanannya ngilang kebawa air,” jawab Adhara dengan nada menggurui, padahal ia sendiri belum tahu kebenarannya. Ia hanya sekilas pernah mendengar dari temannya.

“Masasih?” Tanya ibunya lagi, sambil berpikir dengan menempelkan jari telunjuk dengan pipinya, lalu bola matanya naik ke atas.

“Mama lucu kalo mikir,” serunya sambil ngacir berlari ke kamarnya.

“ Adhara!” Murka Nadia— ibu Adhara.

“Haha…” tawa Adhara tak henti-henti, meski sekarang ia sudah berada di kamarnya.

 

Setelah tawanya reda, ia mengganti seragamnya dengan pakaian santai khas rumahan, kaus berlengan pendek dan celana katun panjang yang di lipat pada ujung celananya.

Setelah itu, ia memutuskan turun ke bawah untuk makan dan kembali ke kamarnya langsung tidur, karena hari ini begitu lelah bagi Adhara.

 

Ting! Ting! Ting!

Suara notifikasi whats app yang berturut-turut membangungkan tidur nyenyak Adhara.

 

“Huam…” Ia menggeliat, lalu beranjak dari tempat tidur ternyamannya itu.

“Tumben jomblo ada yang nge-chat,” katanya pada diri sendiri.

“Ya, gapapa lah jomblo juga, toh cantik ginih. Haha…” jawabnya pada diri sendiri.

Ya, gini nih kalo udah kelamaan sendiri. Sering ngaco.

Setelah melihat handphonenya, ia menghembuskan nafas perlahan.

 

“Hah, kirain notifikasi dari mantan ngajak balikan, tau-tau nya rame di grup chat. Hp gak guna!” Makinya pada hp yang tak berdosa.

 

Setelah edisi memaki-maki pada Hp yang tak berdosa. Lantas ia pergi untuk menjalankan ritual seperti biasanya. Mandi lalu shalat ashar, setelah itu ia membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah hingga malam hari datang.

 

Enak susunya ma ma ma ma…

Enak susunya ma ma ma ma…

Bunyi Alarm dari Hp Adhara begitu nyaring, sehingga membangunkan tidur nyenyak pemiliknya.

“Huamm…” Adhara menguap begitu lebar. Sehingg teringat pada kata-kata Mamanya.

“Astaghfirulloh, kata mamah juga kalo bangun tidur baca do’a,” ucapnya, sambil menepuk jidatnya.

“Alhamdulillah, hari ini hamba masih bisa bernafas, masih di beri kesempatan untuk menikmati keindahan dunia ini,” doanya, sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.

“Senin telah tiba. Semangat! Hari pertama sekolah semoga aja dapet jodoh.” Ia menyemangati dirinya sendiri. Kemudian ia bergegas untuk shalat dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

“Adhara, sini sarapan dulu!” titah Nadia.

“Nanti aja mah di sekolah, udah siang.” Jawab adhara, sambil memakai sepatu sebelah kanannya.

“Kebiasaan!” geram Nadia.

“Ma aku berangkat!” Pamit Adhara, sambil menyalami tangan mamanya, lalu melenggang pergi.

 

Nadia hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah anaknya.

Setelah sampai di sekolah, ia sedikit bingung dengan apa yang harus ia lakukan dan di mana kelas ia sekarang.

 

“Semunya ngumpul di lapangan, Upacara akan segera di mulai!” Intrupsi salah seorang anggota OSIS yang Adhara kenal.

 

Ia pun bergegas masuk barisan, entah dengan siapa ia berdiri yang terpenting kebagian barisan, pikir Adhara.

 

“Selamat datang kembali untuk kelas 11 dan kelas 12. Dan selamat datang untuk kelas 10. Tepuk tangan untuk kalian semua.” Seru sang Kepala sekolah yang di sambut riuh siswa-siswi.

 

Setelah acara penyambutan siswa baru dan pembagian kelas. Akhirnya, Adhara memisahkan diri untuk mencari kelasnya, kelas X-IPS 2. Mengapa ia memilih jurusan IPS? Ya, pertanyaan itu telah di pertanyakan oleh seniornya waktu kegiatan MOS berlangsung. Ia hanya menjawab, “ Saya hanya ingin membuktikan, bahwa tidak semua anak IPS bandel, biang kerok dalam setiap masalah dan yang paling penting saya benci menghitung.”

 

Ya, itu memang jawaban dari hati Adhara yang sebenarnya.

Setelah Adhara menemukan kelas yang di tujunya, ia langsung memasuki kelas tersebut.

“Gini nih, resiko kurang bergaul. Jadi gak punya temen.” Gerutunya pada diri sendiri.

 

Betapa terkejutnya Adhara setelah melihat yang ia sebut-sebut si Muka datar ada tepat di bangku sebelahnya. terhalang satu orang.

 

 “Hah, si muka datar masuk IPS? bukannya dia pintar?” Tanyanya entah pada siapa.

 

Setelah pertanyaan konyol yang ia lontarkan.Tak lama dari itu, guru pun masuk dan di barengi seorang perempuan duduk tepat di sampingnya.

 

Gue duduk disini ya, kehabisan tempat soalnya,” melas orang tersebut, yang di jawab anggukan oleh Adhara.

“Makasih.” Ucapnya, berterima kasih sambil tersenyum pada Adhara. Adhara pun tersenyum karena ia tidak sendiri lagi.

“Namanya siapa?” Tanya Adhara, dengan keberanian yang telah ia siapkan. Memang satu kelemahan Adhara, yaitu sulit untuk memulai. Tapi, kalau sudah kenal jangan salah kalau ia malu-maluin.

Gue Lia, lo pasti Adhara,” jawabnya sambil tersenyum.

“Hah, kok lo tau?” Tanya Adhara dengan heran, bagaimana bisa Lia mengenalnya, sedangkan ia hanya baru bertemu dengannya hari ini.

“Tuh dari name tag lo,” tunjuknya pada seragam yang Adhara pakai.

“Ya, gue kira emang lo udah kenal gue.” Yang di jawab cengiran oleh Lia.

“Lo gak seterkenal itu kali, untuk dikenal banyak orang,” jawabnya yang di barengi tawa.

“Nggak ngarep terkenal kok.” Jawabnya sambil tertawa bersama.

 

Setelah berbincang-bincang bersama dan mengabaikan guru di depannya, Adhara pun tau ternyata sikap Lia teman barunya itu, lebih bar-bar daripada dirinya.

 

“Gue kira, Cuma gue aja yang gak normal,” batinya.

 

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Hari pertama sekolah menurutnya tidak terlalu buruk. Walaupun, awalnya ia merasa khawatir karena tidak bisa bersosialisasi dengan lingkuangan barunya. Tapi, kenyataannya cukup menyenangkan, di tambah lagi ada Si muka datar yang melengkapi semua kebahagiannya.

“Kok malah bawa-bawa si muka datar sih?” Tanyanya dalam hati.

“Arghhhh…” Adhara jadi geram sendiri.

“Ayo naik!” Titah seorang yang Adhara yakini, bahwa orang itu yang sedang berada di dalam pikirannya.

Ia pun melihat untuk memastikan dugaannya. “Tuh kan, bener.” Batinnya.

“Cepet, mau naik gak?” Tanyanya yang langsung di angguki Adhara.

“Yaudah ayo!”

Adharapun langsung naik, duduk di jok belakang si muka datar tersebut.

“Bodoh!Bodoh!Bodoh!” Makinya dalam hati.

“Kenapa tadi harus ngangguk sih? Ah tapi sayang, gratis. Lumayan kan gak ngeluarin duit. Bodo datar juga, yang penting ganteng. Eh” Ia membantin kembali sambil senyum-senyum sendiri.

“Ekhm…” Deheman lelaki tersebut membuyarkan lamunan Adhara.

“Lo namanya siapa?”

Seketika Adhara jadi gugup sendiri.

“Emm.. gue Adhara. Ya, Adhara Puteri Maharani.” Jawabnya sedikit grogi.

“Perasaan gue nanya nama lo, bukan nama lengkap lo”

Jleb!

Adhara mendengus sebal sambil menepuk pundak lelaki tersebut dengan keras. Yang di balas cekikikan.

“Gue Arsenio Akbar. Lo bisa panggil gue Arsen atau terserah lo deh.” Katanya, mengalihkan pembicaraan agar tak menambah malu Adhara.

“Oke.” Jawab Adhara singkat.

“Oke apanya?” Tanya Arsen, sengaja menggoda Adhara yang terlihat begitu gugup.

“Ya, iya oke nama lo kan Arsen” Jawab adhara seadanya.

“Sayang juga boleh”Goda Arsen, Yang langsung mendapat pukulan di bahu kanannya.

“Ih.. Kok lo malah nyebelin sih.” Sifat asli Adhara muncul.

“Haha…” tawa Arsen begitu keras, menghiraukan orang yang berkendara lain, yang melihat ke arahnya.

“Gue kira, lo cowo yang datar dan dingin. Tau-taunya nyebelin gini.” Sebel Adhara sehingga ia tak sengaja mengucapkan apa yang ada di pikirannya.

“Oh. Jadi, lo suka merhatiin gue” Simpul Arsen sambil menyeringai melihat ke belakang lewat kaca sepion motornya.

“Bukan gitu. maksudnya, ya keliatan aja gitu.” Belanya pada diri sendiri.

“Merhatiin juga gapapa kok,” Arsen kembali menggoda Adhara.

“Ih geer banget sih lo. Udah turun di sini!” Titah Adhara dengan nada jutek dan sebal.

“Yah, kok ngambek. Emng lo beneran mau turun di sini?” Tanyanya dengan nada sedikit khawatir.

“Iya. Emang gue tinggal di sini. Terus tuh masuk gang! Di situ rumah gue.” Jawabnya dengan ketus sambil menunjuk ke arah gang di sebrangnya.

“Yaudah deh. Kalau gitu, gue balik dulu.” Pamitnya pada Adhara.

Adhara mengangguk dan Arsen pun pergi meninggalkan Adhara dengan hati yang tak karuan.

“Aghh… mimpi apa gue semalem?” Tanyanya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri.

Ia pun beranjak pulang ke rumah dan segera menuju kasur ternyamannya untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.

Bersambung ….

https://milenianews.com/2019/11/08/angan-bagian-ii/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *