Oleh : Almahdini Auliya Rahim Abari
Pagi ini seorang wanita paruh baya keluar dari gubuk tua. Dia terlihat sedang menggendong tas karung di pundaknya. Pakaiannya lusuh, mukanya pun kusam. Bu Siti namanya.
Kini ia sedang bergegas untuk pergi memungut rongsokan yang berserakan di sekitar jalanan. Ia hidup sendirian, suaminya sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Ia juga tak memiliki anak.
Lain halnya dengan wanita yang baru saja keluar dari istananya, ia terlihat segar, pakaiannya juga terlihat seperti baru. Ia adalah Bu Sarah Azhari, seorang pengusaha ternama di daerahnya. Pagi ini ia akan pergi ke perusahaannya dan sedang bergegas menuju sebuah mobil sport miliknya untuk dikendarai ke perusahaannya itu.
Suatu hari, terlihat Bu Siti yang sedang memungut rongsokan di depan restoran ternama. Ia sesekali menyeka peluh yang membasahi pipinya. Tak jarang juga ia melirik ke arah pengunjung restoran yang sedang melahap makanannya. Ia sungguh tergiur. Namun lamunan itu buyar saat seseorang menepuk pundaknya. Ia terkejut. Lalu, menengok ke belakang. Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berdiri di belakang dengan menggunakan jas hitam. Bu Siti menunduk.
“Sebaiknya Anda pergi dari sini! Anda sudah menghilangkan selera makan pelanggan saya!,” ucap laki-laki tersebut. Rupanya ia adalah pemilik dari restoran tersebut.
“Ma…maaf pak, saya akan pergi dari sini,” balas Bu Siti terbata-bata, yang dibalas anggukan oleh sang pemilik restoran.
Tanpa sadar ada seorang wanita yang tengah memperhatikan mereka dari dalam restoran. Ia pun beranjak dari duduknya dan menghampiri mereka.
“Bu! Tunggu, jangan dulu pergi!,” teriak wanita itu, ia adalah Bu Sarah sang pengusaha ternama. Bu Siti pun jadi beranjak, karena dipanggil kembali.
“Anda siapa jika saya boleh tahu?!,” tanya pemilik restoran dengan nada yang tidak terdengar enak.
“Oh ya, perkenalkan saya Sarah Azhari, kerabatnya ibu ini,” perkenalan tersebut membuat sang pemilik restoran terdiam. Kini ia merasa sangat malu.
“Maaf tapi saya bukan….,” ucap Bu Siti terpotong karena Bu Sarah sudah memotong perkataannya.
“Jika Anda berani mengusir dia, Anda akan berurusan dengan saya!,” tegas Bu Sarah, yang berhasil membuat sang pemilik restoran itu menunduk.
“Ma…maafkan saya bu,” ucap sang pemilik setengah gemetar.
“Biar saya jelaskan ya pak. Pada dasarnya manusia itu sama di mata Tuhan. Tak ada si miskin dan si kaya, si tua dan muda, si cantik dan si buruk rupa, hanya satu yang membedakannya yaitu, kemuliaan hati manusia itu,” ucap Bu Sarah pada pemilik restoran.
Sedangkan Bu Siti yang berdiri di belakang Bu Sarah merasa tertegun, ia tak menyadari bahwa air matanya telah menetes. Bu Sarah menggumam dalam hati, ternyata masih ada orang yang mulia dan sebaik Bu Sarah. Bu Sarah sangat baik, ia tak sombong.
“Iya bu, saya mengerti,” lirih pemilik restoran.
“Manusia itu diibaratkan botol, jika diisi air harganya pasti murah, tapi jika diisi dengan minyak wangi terkenal, harganya bisa mencapai jutaan. Namun, saat botol tersebut diisi dengan air got, tak ada seorang pun yang menyukainya kan pak? Manusia juga begitu. Yang membedakan hanya lah isi hatinya saja, entah itu baik ataupun kurang baik,” jelas Bu Sarah panjang lebar yang berhasil membuat pemilik restoran terpaku.
“Terima kasih bu, sudah mengingatkan saya. Untuk ibu itu, saya minta maaf ya karena sudah mengusir ibu. Sekali lagi saya mohon maaf. Sebagai permohonan maaf, saya akan mengajak ibu menikmati makanan di restoran saya,” ucap pemilik restoran dengan rasa bersalah yang menyelimutinya.
“B..b..baik lah saya sudah memaafkannya pak. Untuk ajakannya saya ucapkan terima kasih, tapi saya harus pergi,” ucap Bu Siti.
“Bu, jangan menolak rezeki. Saya tahu, ibu belum makan dari tadi pagi. Sekarang mari makan, biar saya yang akan menemani ibu,” ucap Bu Sarah pengertian.
“Iya bu, tidak baik jika menolak rezeki,” timpal sang pemilik restoran.
“Ya sudah, saya akan menerima tawarannya. Tapi sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kebaikan yang sudah dilakukan kalIan pada saya,” lirih Bu Siti dan menunduk.
“Baiklah bu, sekarang mari kita masuk ke dalam,” ajak sang pemilik restoran yang dibalas anggukan oleh Bu Siti dan diikuti dengan senyuman Bu Sarah.
Mereka pun masuk ke dalam restoran dan mengobrol santai. Hari itu Bu Siti tak henti-hentinya mengucap syukur atas rezeki yang sudah Tuhan berikan kepadanya.