Cerpen  

Harga Sebuah Bahagia

Cerpen Harga Sebuah Bahagia

Oleh : Shofie Rahma

Untuk tawa yang temaram,

Untuk senyum yang bersedih,

Dan untuk bahagia yang kian palsu.

Selamat tinggal, jiwaku kini sudah bahagia.

Tiga tahun kulalui dengan perasaan kalut. Cemas, marah, bahkan benci pada diriku sendiri. Ya, tiga tahun yang amat menyiksa. Bahkan aku tak mengenal siapa diriku. Berlari dalam gelap yang tak tertembus cahaya. Tersesat dalam raga yang telah menggila. Sakit, namun itu adalah tiga tahun terindah. Karena tiga tahun itu, aku belajar banyak hal yang mungkin tidak semua orang alami.

Semua berawal dari sebuah penolakan seorang lelaki yang pernah kucintai, tepat tiga tahun lalu. Orang bilang, dari mata turun ke hati. Dan kurasa, begitulah awal mula kenapa aku bisa jatuh hati padanya.

Dia pria yang tampan. Tubuhnya tinggi, dengan kulit putih yang memerah apabila terkena sinar matahari. Aku menceritakan semua perasaanku tentangnya pada temanku. Dan entah siapa yang membeberkannya, seketika rahasiaku itu berubah menjadi gosip seangkatan. Bahkan pria itu sampai tahu tentang perasaanku padanya.

Suatu hari ia menemuiku, menanyakan apakah perasaanku terhadapnya benar. Tentu saja kujawab ‘ya‘. Dan semenjak itu, Ia benar-benar memusuhiku. Menganggap aku adalah parasit yang bisa mengganggu hidupnya. Dan mulai saat itu, pikiran-pikiran bodoh mulai menggerayangi hari-hariku.

Aku pernah bertanya pada teman-temanku, termasuk dia, yang pernah kucintai. “Bagaimana jika aku mati? Apa pendapat kalian?“ mayoritas menjawab jawaban yang sama, yaitu sedih.

Namun jawaban pria itu benar-benar mengusikku. Ia menjawab, “Aku tidak peduli,“ sebuah jawaban yang membuatku membencinya sampai saat ini.

Semenjak jawabannya yang benar-benar menohokku, aku menjadi pribadi yang pembohong. Bohong dalam artian berpura-pura. Berpura-pura atas kebahagiaan. Saking lihainya aku berbohong, aku sampai lupa, semakin lama aku semakin kesepian.

Kelas satu SMP, aku bertemu dengan seorang sahabat yang benar-benar menerimaku apa adanya. Seorang manusia yang membuatku benar-benar tertawa lepas. Membuatku merasa bahwa aku hidup di dunia yang bising dan ramai.

Hari semakin berganti, kesedihan semakin sering melanda diriku. Membuatku kembali tercebur dalam lubang kesepian. Menguntai kembali pertanyaan-pertanyaan yang sempat kuabaikan.

Untuk apa aku hidup….?!!

Semua berada di puncak saat aku memasuki bangku kelas 2 SMP. Kami berbeda kelas sehingga membuat intensitas pertemuan kami berkurang. Membuat senyum dan tawa ku juga ikut berkurang. Itu karena aku tak dapat bergaul.

Apalagi cemoohan mereka tentang penampilanku yang membuat diriku semakin tertutup, bahkan pada sahabatku sendiri. Hingga akhirnya, aku melakukan hal paling bodoh. Membuatku semakin dikucilkan, semakin tidak dipedulikan. Aku menyayat tubuhku sendiri.

***

Kelas tiga, aku mulai terbuka. Walau terkadang tangis itu masih ada. Walau kadang sebilah silet masih sering kugoreskan pada pergelangan tanganku yang seharusnya kurawat dengan baik. Walau kadang kepura-puraan itu masih tergambar jelas. Namun setidaknya aku bahagia dengan kepura-puraan ini.

Dalam sebuah komunitas psikolog di media sosial, aku bertemu dengan banyak sekali orang yang ternyata mengalami masalah yang lebih rumit dariku. Dan sejak saat itu, aku mulai terbuka dengan mereka. aku sering menceritakan keluh kesahku, juga ‘kemampuan’ku untuk berteman dengan mereka yang tak dapat dilihat.

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Delt, pria yang sudah tidak lagi bujang dan kini memiliki seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Ia menanggapi cerita-ceritaku dengan baik. Memberi saran di setiap keluh kesahku. Dan tanpa bosan terus membantuku mencari solusi atas semua masalahku.

Hingga suatu hari, aku bercerita padanya. Bahwa aku lelah. Aku merasa tidak mampu lagi melewati semua ini. Pikiranku buntu. Aku tak lagi berharap pada bantuan siapapun. Aku berpikir bahwa ini adalah akhir hidupku. Akhir semuanya, mimpiku musnah.

“Aku udah capek. Mama selalu membandingkan aku dengan Adek. Dia selalu membangga-banggakan adek didepan ku, tanpa tau kalau ada benci yang sedang tumbuh dalam diriku. Nggak, aku gak benci mama. Aku juga nggak benci adek. Tapi aku benci diriku sendiri. Aku benci sama semua yang ada dalam diriku!,” kataku saat itu, airmata penuh kebencian mengucur deras.

Mengingat semua kejadian itu, tergambar satu per satu disaat mama mengatakan bahwa adikku hebat, adikku juara, adikku terbaik, adikku jagoan. Dan tanpa kusadari, aku kembali merusak tubuhku. Menyakiti diriku. Darah kembali mengucur di pergelangan tangan. Namun aku tak bisa merasakan apa-apa. Tak ada rasa sakit dalam diriku. Aku tidak dapat merasakannya.

Delt menjawab, “Iri, benci, marah, pasti ada dalam diri manusia. Tergantung manusia itu sendiri, apakah bisa mengatur benci tersebut, atau malah benci itulah yang akan mengaturnya. Usiamu sebentar lagi lima belas tahun. Kamu masih dalam tahap remaja, masa-masa labil dimana semua kemungkinan akan terjadi. Terserah bagaimana kamu menanggapinya, ikhlas, atau tidak,” ucapnya menasihati.

Saya pernah bertemu dengan anak seperti kamu, walaupun, ya, usianya lebih tua dari kamu. Ia memiliki masalah yang persis seperti yang kamu alami saat ini, dan ia berhasil bangkit dari lumpur hisap miliknya. Kamu menyerah? Tidak berharap pada siapa-siapa lagi? Kenapa kamu tidak mencoba bercerita pada Dia. Melontarkan keluh kesahmu pada-Nya. Dia akan selalu ada untuk hamba-hamba-Nya, bukan?.

Sumber kekuatan di dunia ini adalah Tuhan, Rahma. Keluhkan padanya semua cerita-ceritamu. Tuhan tidak seperti manusia, yang selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk mendengarkan curhatanmu. Jangan berpikir untuk menunggu Tuhan akan meluangkan waktunya demi kamu, karena selama ini, Tuhanlah yang menunggumu untuk meluangkan waktumu untuk bercerita pada Dia.

Jangan pedulikan wajah jelek karena menangis. Jangan pedulikan suara terbata-bata karena diselak oleh isakan. Tuhan pasti akan mengerti maksudmu. Selama kamu tidak berpaling, dan tidak melupakan-Nya.“ Isak tangisku kembali berurai ketika membaca pesan darinya. Berpikir bahwa selama ini aku telah bodoh. Kenapa aku sampai lupa pada-Mu, ya Tuhan?

Aku duduk bersimpuh. Terbata mengucap kata maaf. Mencoba memperbaiki diri sambil terus mengingat namanya.

Namun, ini bukanlah akhir dari masalahku.

 

***

 

“Kamu mau masuk SMA jurusan apa?“ Tanya Shu. Aku kenal dengannya di komunitas yang sama saat aku berkenalan dengan Delt. Usia Shu jauh di atasku. Ia pria yang asik, tidak pernah terlalu bawa perasaan saat bercanda denganku. Dan ia sering memberi tanggapan positif dan membangun setiap aku curhat dengannya.

 

“Aku mau masuk jurusan bahasa. Tapi kata mama jangan karena aku gak dapat ilmu inti dari IPA dan matematika,“ balasku.

 

“Kamu hidup untuk diri kamu sendiri. Kamu sekolah demi kesuksesan diri kamu. Demi kebahagiaan kamu sendiri. Lakukan apa yang kamu mau, jangan apa yang orang lain mau karena ini hidup kamu. Kalo kamu merasa pandai dalam bidang eksakta, tapi kamu gak berminat sama sekali, percuma. Kamu nggak akan bahagia. Tapi, sekalipun kamu bodoh dalam bidang bahasa, namun minat kamu untuk mempelajarinya besar, mungkin kamu akan menjadi orang hebat. Sama seperti J.K. Rowling, penulis yang selama ini jadi acuan kamu berkarya,“ kata-kata Shu membuatku kembali berpikir. Lalu aku harus apa? Menempuh jalan yang ingin kulalui, atau menjadi anak baik-baik dan menuruti keinginan mama?

“Kamu boleh jadi anak penurut, tapi jangan mau diperbudak dengan materi. Cari kebahagiaanmu sendiri. Karena suatu saat nanti, orang yang dulu mencemooh jalan yang kamu pilih, pasti akan datang ke kamu, kemudian membangga-banggakan kamu seolah ia mendukung betul semua pilihanmu,“ itu jawaban terakhir darinya yang membuat pikiranku semakin rumit. Membuat otak dan hatiku kembali berperang. Bisikan-bisikan itu muncul lagi. Bisikan-bisikan yang tak bisa kudengar jelas. Bisikan-bisikan yang membuat kepalaku pusing tak tertahankan.

 

Hari semakin berlalu. Setiap aku dan Mama membicarakan soal tujuan sekolahku selanjutnya, mama selalu membangga-banggakan betapa hebatnya anak yang bisa masuk ke SMA jurusan IPA. Aku mengutarakan keinginanku untuk masuk ke SMA jurusan Bahasa, namun mama menolak dengan beralasan kalau aku masuk jurusan Bahasa, pengetahuanku tentang materi-materi lain seperti IPA dan matematika akan sedikit. Berbanding terbalik kalau aku masuk IPA.

Mama juga bilang untuk memperdalam belajar bahasa aku bisa memfokuskannya nanti saat di perguruan tinggi. Mau bagaimanapun juga alasanku, mama terus memaksaku masuk ke jurusan yang ia inginkan. Tanpa mau tahu planning-planning masa depanku yang sudah kususun sejak lama. Membuatku semakin ragu akan masa depanku. Hingga akhirnya sebuah pertanyaan baru muncul dalam pikiranku.

Layak kah aku bermimpi akan masa depan?

 

***

Aku benar-benar tak mengenal siapa diriku. Aku tak mengenal apa tujuan hidupku. Mimpiku musnah. Aku tak bisa jadi penulis. Pagi buta pergi ke sekolah, pulang sebelum petang, ditambah jadwal les tiap malam yang siap menggerogoti otakku. Membuatnya menjadi kosong. Lupa dengan pelajaran yang baru saja dipelajari.

Ujian semakin dekat. Komputer yang biasanya menemani hariku kini menjadi seonggok mesin yang tak terpakai di pojok kamar. Menatapku setiap pagi sebelum berangkat sekolah, dan sebelum aku beranjak tidur sepulang les. Ada ritual baru sebelum aku tidur. Menangis, menjerit tanpa suara, menyakiti diriku berharap beban di hati dan di kepalaku lenyap seketika. Terkadang, di situasi seperti ini, mereka datang dengan segala senyum dan hiburan. Menemani malamku hingga subuh datang. Lalu lenyap begitu saja saat mendengar alarm subuh berbunyi, tanda aktifitas membosankan dimulai.

Hari Jumat tiba. Pertanda sibuk di pekan ini berakhir. Tidak, belum berakhir. Aku masih harus mendatangi jadwal lesku.

Bodoh!

Sebuah suara bisikan membuatku terkesiap. Menatap seisi kamarku. Hanya aku yang ada disini.

Kamu gak berguna!

Suara yang berbeda kini muncul. Kali ini lebih kencang. Namun aku tidak bisa mengenal siapa pemilik suara itu.

Untuk apa kamu hidup kalau hanya menyusahkan? Anka nakal harus di hukum!

Suara-suara aneh terdengar. Perempuan menangis. Pria yang berteriak kalap. Teriakan meminta maaf. Makian. Jeritan. Semuanya menjadi satu. Semakin membesar, sampai-sampai aku tak bisa menjabarkannya satu per satu. Tanpa kusadari tanganku bergerak sendiri. Menuliskan sesuatu yang memang selama ini ku pikirkan.

“Kakak, mau les, nggak?,” mama berdiri di depan kamarku. Suaranya samar-samar. Tertimbun dengan suara-suara bisikan yang mengganggu. “kakak, denger mama gak, sih?,” suaranya sayup-sayup.

Tanganku tak bisa ku kendalikan. Mencoret-coret buku catatan harian milikku. Mama mendekatiku, meraih buku yang sedang kupangku. Aku menahannya hingga terjadi adegan tarik menarik. Namun tenaga Mama lebih besar. ia mendapatkannya, kemudian membacanya sekilas. Matanya langsung membulat lebar. 

“Rahma! Mau kamu apa, sih?,” nada suara mama meninggi. Tubuhku tiba-tiba bergetar. Ada yang bergemuruh dalam dadaku seiring bisikan itu semakin keras, suara jeritan. Bentakan seorang pria. Tangisan pilu. Mengejek, mencemooh. Ungkapan-ungkapan kasar. Semuanya menjadi satu. Tanpa di aba-aba air mata ku mengalir tak kuasa menahan. Membiarkan sakit ini semakin melebar. Membiarkan benci ini kian menjalar ke seluruh tubuhku.

Bodoh!

Gak berguna!

Gak bisa dikasih amanat!

Gak layak hidup!

Jelek!

Anak gak bermanfaat!

Nyusahin!

Kurasa ada yang mengendalikan diriku. Mataku menatap segala arah, bergerak kesana kemari. Mama meraih pipiku, memaksaku menatapnya. Spontan tanganku menepis marah. Menatapnya dengan tatapan tak suka, kemudian memalingkan muka. Ini bukan aku! Ini bukan Rahma! Tubuhku menggigil semakin hebat. Airmata mengalir deras.

“Mau kakak apa, sih? Ngomong ke mama! Jangan diam begini,“ kata mama. Aku masih bungkam, bertengkar dengan emosiku yang mencoba mengendalikan diriku. “Harusnya kamu bersyukur punya orangtua yang perhatian. Kamu pikir enak nggak dipeduliin sama orangtua, hah?,” suara mama merendah. Ia berdiri, menatapku sekali lagi, kemudian membalik badan bersiap meninggalkanku.

“Aku Cuma mau mama ngerti apa yang aku ingin. Aku cuma mau mengejar bahagiaku sendiri. Aku nggak mau dipaksa-paksa terus,” suaraku terdengar mencicit.

Mama menatapku dengan pandangan terhenyak. ia kembali mendekatiku, kemudian duduk di depanku dengan tatapannya yang melembut.

“Mama paksa kakak karena mama tau kakak bisa, otak kakak mampu,” katanya.

“Tapi aku nggak mau. Bukan disitu minatku, ma. Aku gak mau pura-pura bahagia lagi,” balasku dengan suara bergetar. Airmataku bercucuran membentuk parit kecil. perlahan sesak di dadaku mulai menghilang. Getaran dalam diriku mulai berkurang. Aku memberanikan diri menatap mama dengan mantap. Mama berdiri. Menatapku sebentar, kemudian pergi. Meninggalkanku sendirian, dengan airmata yang mengucur deras.

Apakah aku salah?

 

***

“Rahma mau masuk SMA atau SMK, tante?,” tanya Tiara, sepupuku. Aku terdiam, tidak mau menjawab. Aku lelah terus-terusan tersenyum sambil bilang bahwa sebentar lagi aku akan masuk SMA jurusan Bahasa. Lagipula, sesering apapun aku mengatakan hal tersebut pada orang banyak, mama tetap tidak akan setuju dengan keputusanku.

“SMA, Ra. Dia minta masuk Bahasa,” jawab mama yang membuatku terkesiap. Suara mama melembut saat menjawab pertanyaan Tiara. Tidak seperti dulu yang terdengar mencemooh dan merendahkan pilihanku. Aku menatap mama, Ia balik menatapku. Seulas senyum tipis tercetak di bibirnya.

Beban yang selama tiga tahun terus menggantungi hidupku seakan-akan menghilang begitu saja. Kesedihan itu menguap di udara, menghilang tak berbekas. Lenyap bersama senyumku yang semakin menngembang. Aku merasakan bahagia yang mulai tumbuh dalam diriku.

Untuk benci yang menggerogoti,

Untuk marah yang tumpah ruah,

Untuk tangis yang terus mengikis,

Pergilah,

Biarkan bahagia yang singgah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *