Milenianews.com, Mata Akademisi– Imam al-Ghazali menoreh empat tingkat manusia dalam kitabnya, Mukasyafatul Qulub. Pertama, dia tahu dan mengetahui bahwa dia tahu. Dia adalah orang berilmu.
Kedua, orang tahu dan dia tidak mengetahui bahwa dia tahu. Dia adalah orang yang tertidur. Ketiga, dia tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dia adalah orang yang butuh petunjuk. Keempat, dia tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dia adalah orang bodoh.
Sejatinya, pernyataan ini dikutip oleh al-Ghazali dari al-Khalil bin Ahmad, seorang ulama yang membidangi sastra Arab dan wafat pada 790 Masehi. Dia adalah gurunya Imam Sibawaih (wafat 796 Masehi) dan Imam al-Ashma’i (wafat 828 Masehi). Jadi masuk akal kalau Imam al-Ghazali mengutip dari al-Khalil, karena dia hidup jauh sesudah al-Khalil. Al-Ghazali wafat pada 1111 Masehi.
Tentang tingkat manusia yang pertama, yakni orang berilmu harus didekati. Harus diunduh darinya ilmu. Untuk itu Nabi memberi motivasi, “Semangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah pada Allah, dan jangan malas (patah semangat).” (HR. Muslim).
Semangat dalam hal yang bermanfaat salah satunya adalah belajar kepada orang berilmu, yakni orang yang tahu bahwa dia berilmu. Keuntungannya, sebangun dengan yang Nabi informasikan, “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari).
Tentang tingkat orang yang kedua, yakni orang yang memiliki ilmu namun dia tidak mengamalkan dan menyebarluaskannya, oleh al-Ghazali disamakan seperti orang yang tertidur. Oleh karena itu dia harus dibangunkan dari tidur panjang. Tujuannya agar ilmu yang dimilikinya bermanfaat buat orang banyak. Nabi mewanti-wanti, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR. Bukhari).
Untuk orang yang mengamalkan dan menyebarluaskan ilmunya akan diberikan pahala oleh Allah. Nabi menasihati, “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim).
Khusus manusia pada tingkat kedua ini, Nabi mengajarkan satu doa, “Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah ).
Selanjutnya, setingkat di bawahnya adalah orang yang perlu diberi petunjuk. Sebab dia sadar bahwa dirinya tidak berilmu. Kewajiban orang berilmu adalah memberi arahan kepada kelompok orang seperti ini. Beberapa tips dari Nabi bisa diinformasikan, misalnya, “Jadilah orang yang berilmu atau orang yang mempelajari ilmu atau orang yang mendengarkan ilmu atau orang yang mencintai ilmu dan jangan sampai menjadi yang kelima, maka celakalah dia.” (HR. Baihaqi).
Tentu yang dimaksud yang kelima adalah bukan menjadi guru, murid, pendengar, juga bukan pecinta ilmu. Kasta paling bawah dari perspektif ini, yakni orang bodoh, oleh al-Ghazali harus ditinggalkan. Pasalnya, dia tidak berilmu, namun dia tidak tahu bahwa dirinya tidak berilmu. Tentu sangat sulit menggambarkan seperti apa kualifikasi orang seperti ini.
Inilah empat tingkat manusia berdasar punya atau tidak punya ilmu, sadar atau tidak sadar bahwa dirinya punya ilmu atau tidak punya ilmu. Semoga kita ada pada tingkat pertama.*
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok