Mata Akademisi, Milenianews.com – Seorang pria paruh baya hampir setiap hari mengitari daerah perbukitan tandus di sebuah kawasan yang memproduksi semen di Iran. Dengan mobil Range Rover-nya, menanyai setiap orang yang ditemui, untuk membantu menguburnya secara hidup-hidup.
Nama pria paruh baya itu adalah Badii, tokoh utama dalam film Taste of Cherry (1997) karya sineas termasyur Iran, Abbas Kiarostami. Mungkin bagi kebanyakan orang yang kurang sabaran dan pecinta setia film Hollywood, karya Kiarostami ini seperti becak yang lambat dan ketinggalan zaman.
Hal tersebut ditambah isi ceritanya hanya berupa dialog-dialog panjang yang terkadang membingungkan. Tapi disitulah sang maestro coba menguliti intisari kemanusiaan, yang di era sekarang terasa hanya tersisa secuil.
Hal ini terbukti setelah film tersebut menjadi film Iran pertama yang memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes 1997 (di mana film ini berbagi penghargaan dengan The Eel, karya Shohei Imamura).
Taste of Cherry menggunakan sinema untuk mencari tahu apakah hidup ini layak dijalani, pertanyaan sulit yang tampak dangkal karena begitu banyak film dengan mudah mencapai kesimpulan bahwa memang begitu. Dengan cara memanjakan keinginan kita untuk melihat segala sesuatunya berjalan dengan baik. Kiarostami tidak melakukan semua itu.
Film ini mengecualikan, memotong plot dan latar belakang cerita, dua hal yang dapat menghambat sebuah film. Dengan jurus berputar-putar dan berliku-liku, keringkasan dari sembilan puluh sembilan menitnya menjadi jelas hanya dalam retrospeksi.
Film ini dimaksudkan untuk menyembunyikan, bahkan untuk menggagalkan. Alih-alih mengikat cerita dengan rapi, bagian akhirnya justru melakukan sesuatu yang lain.