Refleksi Ramadhan

Ustadz Hasan Yazid Al-Palimbangy (duduk, ketiga dari kiri). (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Kalau saat Ramadhan …

Kita bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang “halal” seperti makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari, seharusnya dalam kehidupan sehari hari di luar Ramadhan kita mampu menahan diri dari hal-hal yang sudah jelas “haram” dengan melakukan berbagai kezaliman, seperti melakukan kemusyrikan, kekufuran, kefasikan, pembunuhan, pencurian, penipuan, mencaci maki,  berbohong, ghibah, fitnah, mencari-cari aib orang lain dan lain lain

Kalau saat Ramadhan …

Alhamdulillah ternyata kita mampu berpuasa selama 29/30 hari berturut-turut tanpa terputus walau sehari saja , seharusnya kitapun mampu berpuasa sunnah syawwal yang hanya 6 hari, puasa ayyaamul bidh yang hanya 3 hari serta Senin Kamis yang hanya dua hari.

Kalau selama Ramadhan …

Alhamdulillah ternyata kita mampu memotivasi diri untuk membaca Al-Qur’an satu juz sekali duduk, harusnya di luar Ramadhan kita mampu membaca 2 lembar saja setiap ba’da shalat fardhu. Sehingga sehari bisa membaca satu juz dan sebulan bisa sekali khatam. Pertanyaannya, sampai hari ini, sudah berapa juz kita membaca Al-Qur’an pasca Ramadhan???

Kalau selama Ramadhan…

Kita bisa menyesuaikan diri dengan suasana kehidupan sehari hari yang Islami, mengapa di  luar Ramadhan kita begitu mudah hanyut dalam suasana kehidupan yang sekuler dan tidak Islami ?

Kalau selama Ramadhan…

Kita memiliki keparcayaan diri yang besar untuk menampakkan diri sebagai muslim yang taat, mengapa setelah Ramadhan kita begitu mudah meniru sikap dan prilaku orang yang ingkar?

Kalau selama Ramadhan…

Kita mamapu membangun kejujuran diri di hadapan Allah Subhanahu Wata’aalaa dan manusia, mengapa di luar Ramadhan kita sering berbohong, menipu, munafiq dan lain-lain  sampai kepada diri sendiri sekalipun?

Kalau selama Ramadhan…

Kita begitu mudah melakukan introspeksi dan koreksi diri, mengapa di  luar Ramadhan kita menjadi orang yang selalu merasa paling benar sendiri, dan suka menyalahkan orang lain yang tidak sepaham atau tidak sekelompok dengan kita?

Kalau selama Ramadhan…

Kita bisa memiliki kepekaan diri yang cukup tinggi terhadap kepincangan sosial dan penyimpangan penyimpangan susila, mengapa setelah Ramahan kita sering kali cuek terhadap semua itu?

Kalau selama Ramadhan …

Kita begitu antusias memiliki pesona diri, sehingga selalu berusaha tampil menarik di hadapan Allah Subhanahu Wata’aalaa dan manusia, mengapa di luar Ramadhan kita suka membiarkan diri kita berlumuran aib dan cela?

Kalau selama Ramadhan …

Kita bisa bersikap tawadlu’ atau rendah hati, mengapa di luar Ramadhan kita begitu angkuh, ‘ujub, takabbur dan arogan ?

Itulah “kecerdasan-kecerdasan emosional” yang bisa kita bangun selama bulan suci Ramadhan yang lalu (yaitu daya tahan diri, daya dorong, daya suai, percaya diri, kejujuran diri, introspeksi diri, kepekaan diri, pesona diri dan rendah hati).

Namun sayang, seiring berlalunya Ramadhan semuanya kita biarkan rusak kembali di dalam diri kita.

Ternyata, kondisi seperti ini sudah disinyalir dan diingatkan oleh Allah Subhanahu wata’aalaa dalam Qur’an surat annahl : 92

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثًا

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, sehingga menjadi cerai berai kembali.” (QS. An Nahl: 92

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wata’aalaa merekam kisah seorang wanita yang hidupnya sia-sia. Dari pagi sampai sore, pekerjaannya memintal benang. Ketika pintalan benang itu selesai dan kuat, ia cerai beraikan kembali hasil pintalannya.

Kisah tersebut sengaja ditampilkan Allah Subhanahu Wata’ala agar kita dapat mengambil ibrah/pelajaran. Jangan sampai amal ibadah yang sudah kita kerjakan secara istiqamah selama Ramadhan, terhenti begitu saja.

Mengapa kita tidak berusaha dengan sungguh sungguh untuk meningkatkannya, atau bahkan sekedar untuk mempertahankannya pasca Ramadhan sampai kita diwafatkan Allah Subhanahu wata’aalaa?

Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis: Ustadz  Hasan Yazid Al-Palimbangy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *