Mengakhiri Ramadhan dengan Kemenangan Hakiki

Shaifurrokhman Mahfudz, Pengajar di Institut Tazkia Sentul City Bogor. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Memasuki sepertiga terakhir Ramadhan, ambience dan atmosfir spiritual Ramadhan terus menguat dan bergerak menuju puncaknya. Boleh jadi, karena tidak sedikit dari kaum muslimin yang terinspirasi dengan pesan Nabi SAW, sebagaimana penutura ‘Aisyah RA, “Jika telah datang 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan, Nabi SAW mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malamnya (dengan beribadah), dan membangunkan keluarganya (untuk beribadah).” Pesan Rasulullah tersebut bisa dipahami sebagai sebuah powerful reminder agar ibadah Ramadhan yang dijalani mendapatkan hasil utama yaitu ampunan Allah SWT. Bahkan, Nabi sendiri  mengaminkan Jibril saat mengatakan, orang yang berjumpa dengan Ramadhan, namun dosanya belum diampuni, maka Allah akan menjauhinya.

Bagi pelaku puasa Ramadhan, ampunan Allah menjadi target utama yang haru diperjuangkan, karena itulah hakikat kemenangan. Kemenangan yang dimaknai bukan sekedar pencapaian target ibadah-ibadah ritual, tetapi juga menguatkannya komitmen keimanan dan perilaku saleh yang berdampak pada kebaikan diri dan orang-orang di sekitarnya. Tentang sejarah kemenangan ummat Islam, simaklah dialog penuh hikmah yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya Fursan Min Madrasatin Nubuwwah, sesaat setelah kekalahan Kerajaan Romawi dari pasukan umat Islam.

Setelah pasukan Romawi dikalahkan oleh tentara kaum Muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid, Raja Heraklius dari Romawi bangkit dari singgasananya dengan penuh kebingungan. Dengan nada tanya yang penuh penasaran, ia bertanya kepada para pembesarnya, “Siapakah mereka yang berhasil mengalahkan kita? Bukankah mereka hanya manusia seperti kita?” Dalam keheningan yang tegang, salah satu pembesar Romawi menjawab, “Ya, betul. Mereka manusia seperti kita.” Tidak sabar untuk mengetahui lebih lanjut, Heraklius segera melontarkan pertanyaan selanjutnya, “Apakah jumlah kita lebih banyak daripada mereka?” Dengan suara yang terdengar gemetar, seorang komandan Romawi menjawab, “Jumlah kita jauh lebih banyak dan melimpah dari jumlah mereka.” Dengan perasaan campur aduk antara kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan, Heraklius berkata, “Mengapa kita bisa kalah?” Keheningan kembali menyelimuti mereka seperti bayang-bayang kegelapan yang tak terlalu terlihat. Di tengah ketegangan itu, seorang senior Romawi mengangkat tangan dan memberikan penjelasan yang bijaksana tentang alasan kekalahan mereka. “Karena mereka bangun di malam hari untuk beribadah kepada Tuhannya dan berpuasa di siang hari. Mereka setia pada janji mereka, mendorong kebaikan, melarang kejahatan, dan saling memberi nasihat. Allah pun menolong mereka dan memberikan kemenangan.”

Sementara kita dan pasukan kita, wahai Raja kami, kami terjerumus dalam minuman keras, melanggar janji yang telah kami buat, berbuat zalim, dan melakukan kejahatan. Semua ini telah membuat kita kehilangan pertolongan Allah. Bagaimana mungkin Dia akan menolong kita jika kita tidak menolong-Nya?”

Dalam dialog penuh hikmah ini, kita belajar bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi juga oleh keteguhan iman dan kebaikan perilaku. Karena itu, kemenangan hakiki ibadah Ramadhan dalam bentuk ampunan Allah juga meniscayakan efforts atau ikhtiar-ikhtiar lainnya. Beberapa ikhtiar yang dapat dilakukan untuk melaikan ampunan Allah, diantaranya:

Pertama, melakukan ibadah ritual secara konsisten dan istiqamah. Setiap diri dapat memastikan untuk menjalankan shalat lima waktu setiap hari dengan tepat waktu dan penuh khusyuk. Mereka juga rajin membaca Al-Quran dan berdzikir setiap hari sebagai bagian dari rutinitas ibadah mereka.

Kedua, berhenti dari segala bentuk maksiat dan dosa. Seseorang yang sebelumnya terbiasa bermaksiat, apapun bentuknya, memutuskan untuk berhenti dan menjauhkan diri dari kebiasaan tersebut setelah menyadari bahwa itu bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sosial.

Ketiga, menunjukkan kepribadian yang menyenangkan dengan memperlihatkan akhlak yang mulia. Seorang karyawan di tempat kerja selalu bersikap ramah, santun, dan membantu sesama tanpa pamrih. Mereka selalu menunjukkan sikap yang positif dan optimis dalam berinteraksi dengan rekan kerja dan atasan.

Keempat, terlibat aktif dalam proyek-proyek sosial dan kemanusiaan untuk membantu sesama. Seorang mahasiswa bisa mengambil inisiatif untuk menjadi relawan di sebuah lembaga amal yang memberikan makanan kepada orang-orang tunawisma setiap minggu. Mereka aktif berpartisipasi dalam kegiatan penggalangan dana untuk membantu anak-anak yang kurang mampu mendapatkan pendidikan.

Para mahasiswa juga bisa terlibat aktif dalam merespon isu-isu kemanusiaan dan sosial politik terkini, terutama saat secara kasat mata terjadi penyimpangan kekuasaan di sekitarnya, perilaku koruptif dan nepotis yang dianggap biasa atau pelanggaran etika dan konstitusi negara yang secara terang benderang dipertontonkan.

Kelima, berperan sebagai pelaku utama dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam masyarakat. Seorang guru di sekolah memperjuangkan program anti-bullying di lingkungan sekolahnya. Mereka mengadakan seminar dan workshop untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya bullying dan pentingnya menghormati sesama di antara para siswa. Selain itu, mereka juga secara aktif memberikan bimbingan dan dukungan kepada siswa yang menjadi korban bullying. Para guru dan tenaga pendidik lainnya memiliki Amanah sosial dengan menjadi teladan terbaik dalam menggerakkan lingkungannya agar tidak membiarkan kezaliman dan segala bentuk penyimpangan yang menciderai rasa keadilan. Sikap diam mereka akan menjadi preseden buruk karena itu menjadi pertanda hilangnya hati nurani dan kewarasan akal sehat para cendekiawan.

Dengan melakukan serangkaian ikhtiar tersebut, kita tidak hanya mendekatkan diri kepada ampunan Allah, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan Masyarakat yang lebih baik dan harmonis. Semoga kita diberikan kemampuan untuk mewujudkan kemenangan hakiki berupa maghfirah Allah SWT sebagai sebuah happy ending atas semua ibadah dan amal saleh selama bulan suci Ramadhan ini.

Pesan Ibnu Jauzi, “Dalam setiap langkah, akhir adalah penentu. Jika tak baik menerima, mudah-mudahan indah saat berpisah.”

Bogor, 21 Ramadhan 1445 H/1 April 2024 M.

Penulis: Shaifurrokhman Mahfudz, Pengajar di Institut Tazkia Sentul City Bogor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *