Lulus Kuliah Tidak Wajib Skripsi? Bagaimana Tanggapan Mahasiswa?

Diya Puspita, Akuntansi Syariah di STEI SEBI Depok

Mata Akademisi, Milenianews.com – Kebijakan terbaru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, telah memicu perbincangan di kalangan mahasiswa dan akademisi. Melalui Merdeka Belajar jilid ke-26, fokus pada Transformasi Standar Nasional dan Sertifikasi Perguruan Tinggi menjadi sorotan utama. Salah satu poin penting dalam kebijakan ini adalah penghilangan kewajiban skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan.

Keputusan tersebut menunjukkan pergeseran paradigma dalam penilaian akademik. Nadiem menegaskan bahwa tugas akhir dapat beragam bentuknya, bisa berupa prototipe atau proyek. Hal ini menghilangkan batasan pada skripsi atau disertasi. Meski demikian, keputusan akhir tentang skripsi, tesis dan disertasi tetap berada di tangan masing-masing perguruan tinggi.

Baca juga : Google Scholar, Referensi Dosen dan Mahasiswa Dalam Mencari Literatur Jurnal

Mahasiswa ‘kaget dan senang’ tapi juga ‘tetap realistis’

Kebijakan menghapus kewajiban skripsi ini mendapat sambutan baik di kalangan mahasiswa. Selama ini, skripsi tidak jarang menjadi ganjalan yang membuat mahasiswa lulus lebih lama. Nilainya sebagai karya akademik juga kerap dipertanyakan.

Muthia, mahasiswa semester 5 jurusan Manajemen Pendidikan di salah satu universitas swasta, mengaku “cukup kaget dan senang” saat pertama kali mendengar kabar tentang penghapusan kewajiban skripsi tersebut. Muthia mengatakan walaupun pasti ada pengganti skripsi untuk menentukan kelulusan, tapi sangat senang dan semoga tidak sesusah ketika menyusun skripsi pada umumnya.

“Awalnya saya berpikir pembuatan skripsi akan sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka dari itu saya sangat senang ketika skripsi bukan lagi syarat kelulusan, tapi apakah memang benar begitu?,” ungkapnya.

Berdasarkan pendapat yang saya dapatkan dari hasil searching dan riset dengan berbagai cara, Brian Laywith dari Universitas Bina Nusantara mengatakan, dia sebenarnya tidak keberatan menulis skripsi karena mahasiswa jurusan sains sudah terbiasa menulis laporan akademik. Pasalnya, dia merasa skripsi tidak dibutuhkan ketika masuk ke dunia kerja.

“Kayaknya dari pihak perusahaan atau recruiter juga enggak perlu tahu skripsi apa yang saya dibuat tapi mereka akan lihat proyek-proyek yang saya buat semasa kuliah,” ujarnya.

Sorang mahasiswa program Doktoral di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tidak ingin dituliskan identitasnya, mengaku akan “senang banget” jika senat ITB memutuskan untuk ikut kebijakan Nadiem menghapus syarat publikasi di jurnal ilmiah. Karena itu akan memungkinkan dia untuk lulus lebih cepat.

Baca juga : Nadiem Sebut Tak Harus Skripsi Bagi Mahasiswa S1 dan D4 Untuk Bisa Lulus

Dia menjelaskan, proses pembuatan dan penerbitan makalah di jurnal ilmiah biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dan mahasiswa tidak bisa mengajukan untuk sidang disertasi jika belum diterima.

“Jadi agak memberatkannya itu ketika kita harus menambah waktu untuk menulis (paper) dan menunggu accepted-nya si paper itu. Dan kalau misalkan nambah waktu kan nambah biaya lagi ya buat perkuliahannya,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Saya sendiri, yang sekarang mahasiswa semester tiga jurusan Akuntansi Syariah di STEI SEBI Depok, memandang skripsi sebagai salah satu faktor yang kadang-kadang membuat mahasiswa tingkat akhir lulus lebih lambat dari yang direncanakan. Dan untuk saat ini sih, saya realistis aja sebagai mahasiswa apalagi saya masih semester 3 dan skripsi itu juga masih lama jadi saya merasa senang, dan semoga ketentuan ini masih berlaku sampai saya lulus nanti.

Penulis : Diya Puspita, Akuntansi Syariah di STEI SEBI Depok

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *