Milenianews.com, Mata Akademisi– Secara statistik, surah al-Rahman adalah surah ke-55. Letaknya sesudah surah al-Qamar dan sebelum surah al-Waqi’ah. Surah al-Rahman terdiri dari 78 ayat dan ada pada juz yang ke-27. Dinamakan al-Rahman mengikuti ayat pertama pada surah tersebut. Surah ini tergolong Makiyah. Artinya, diturunkan sebelum Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.
Kalau surah Yasin dikenal sebagai jantungnya al-Qur’an, surah al-Rahman dikenal sebagai pengantinnya al-Qur’an. Nabi bersabda, “Segala sesuatu ada pengantinnya, dan pengantin al-Qur’an adalah surah al-Rahman” (HR. Baihaqi). Alasannya karena seisi kata-kata dalam surah al-Rahan seluruhnya indah.
Secara leksikal, al-Rahman artinya pemurah. Kalau disandingkan dengan sifat Allah, artinya Allah Yang Maha Pemurah atau Maha Pengasih. Artimya yang memiliki sifat belas kasih.
Spektrum makna al-Rahman, selain pemurah dan pengasih, bagi al-Maraghi (wafat 1952 Masehi) adalah pemberi nikmat dan yang selalu berbuat baik kepada para hamba-Nya. Sebelum al-Qur’an mengenalkan kata al-Rahman, lanjut al-Maraghi, orang Arab sekalipun belum mengenal diksi terpilih ini.
Dari derivasi yang sama, selain al-Rahman ada juga kata al-Rahim yang artinya Allah Yang Maha Penyayang.
Secara substansial, ada perbedaan makna kedua kata yang hampir sama itu. Menurut Syaikh Nawawi (wafat 1897 Masehi), Allah disebut Maha Pemurah kepada siapa saja, baik kepada manusia yang bertakwa maupun yang durjana.
Tanpa tebang pilih Allah tetap memberi kepada semua manusia rezeki dan perlindungan dari mara bahaya. Sementara Allah disebut sebagai Maha Penyayang ditujukan kepada mereka yang bertakwa. Di dunia, Allah mengampuni mereka. Di akhirat, Allah menyayangi mereka dengan memasukkan mereka ke surga.
Ibnu Katsir (wafat 1373Â Masehi) menulis bahwa al-Rahman maknanya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat. Sementara al-Rahim maknanya Yang Maha Penyayang di akhirat. Namun bagi Ibnu Abbas (wafat 687 Masehi), keduanya sama-sama bermakna lembut.
Yang menarik adalah perkataan Ibnu al-Mubarak (797 Masehi) seperti dikutip Ibnu Katsir, kedua kata itu memiliki spektrum makna yang tidak sama. Makna al-Rahman adalah “bila diminta memberi”, sementara makna al-Rahim adalah “bila tidak diminta marah”.
Sayyid Quthb (wafat 1966 Masehi), memahami al-Rahman sebagai kajian tauhid rububiyah. Artinya nama al-Rahman hanya pantas disandingkan kepada Allah. Kendati ada makhluk menggunkan nama al-Rahman, jelas sangat berbeda jangkauan pemurah dan pengasihnya, keadaan-keadaannya dan kadar keluasannya.
Bagi Sayyid Quthb, sifat al-Rahman memastikan hubungan Allah kepada hamba-Nya yang penuh kasih. Tak heran kalau perbuatan apa saja yang akan dikerjakan harus menyebut kata ini. Selain bukti mengesakan Allah, juga sebagai etika yang harus dijunjung tinggi. Selain tentu, sebagai doa, kepada Allah.
Bagi al-Maraghi, seisi surat ini menceritakan bermacam nikmat yang Allah berikan, bukan hanya untuk manusia tapi juga jin. Nikmat itu tidak hanya di akhirat, tapi juga dunia. Maka tak heran, kalau secara statistik terdapat 31 kali pengulangan kalimat serupa, yakni “Fabi Ayyi Alaa’i Rabbikuma Tukadziban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan).
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Dai Lembaga Dakwah Darul Akhyar (LDDA) Kota Depok.