Dakwah Dialogis dalam Hadits Nabi

Dr. KH. Syamsul Yakin MA. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Secara praksis, dakwah dialogis adalah niscaya. Komunikator atau dai berulang-ulang mengirim pesan kepada komunikan atau mad’u secara interaktif dan asertif. Komunikan diajak masuk dalam pembicaraan. Disentuh pikiran dan perasaannya. Caranya, dai seringkali mengajukan pertanyaan kepada mad’u secara retoris. Pertanyaan retoris, dalam sejarah, kerap disampaikan Presiden Soekarno dalam pidatonya yang berapi-api.

Dalam lanskap sejarah hukum Islam, Nabi kerap memperaktikkan dakwah dialogis ini. Berikut adalah lima contoh di antaranya. Pertama, dalam kitab  Fathush Shamad mengutip satu hadits Nabi yang bersumber dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita, “Dalam satu perjalanan, kami bersama Rasulullah. Sekonyong-konyong seorang Arab pedalaman mendekat.

Nabi meresponsnya dengan bertanya, “Wahai kisanak, kamu hendak ke  mana?” Orang itu menjawab, “Hendak pulang ke keluargaku”. “Apakah kisanak menginginkan kebaikan?”, seloroh Nabi. Orang itu menjawab, “Apakah itu?”

Nabi menjelaskan, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan (kamu bersaksi) bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”.  Namun orang itu malah berkata, “Siapa saja yang akan bersaksi kepadamu untuk (membenarkan) ucapan tersebut?” Secara tangkas Nabi menjawab pertanyaan orang Arab pedalaman itu, “Pohon ini atau buah ini”.

Pohon tersebut berada di tepi jurang. Karena bumi mendekatkannya, seketika pohon tersebut ada di hadapan Nabi untuk menghadap beliau. Setelah itu, Nabi bersyahadat tiga kali. Pohon itupun bersyahadat seperti halnya Nabi. Kemudian pohon itu meninggalkan Nabi untuk kembali ke tempat asalnya”.

Kedua, dalam kitab  al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Syiria), dia bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya.

Lalu matahari dan bulan itu direngkuh dengan kedua tangannya. Dia mendekap keduanya erat-erat. Tak hanya itu, dengan surbannya, matahari dan bulan diikat agar tidak pergi. Tatkala Abu Bakar terbangun, dia buru-buru pergi untuk mendatangi seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid untuk bertanya ihwal mimpinya.

Di hadapan sang pendeta, Abu Bakar menceritakan secara lengkap mimpi yang dialaminya. Kemudian Abu Bakar memintanya untuk memberikan tafsir mimpi tersebut. Abu Bakar ditanya, “Kamu dari mana?” Abu Bakar menjawab, “Mekkah.” Pendeta itu bertanya lagi, “Dari suku apa?” Abu Bakar menjawab, “Dari suku Taymin.”

Tak hanya itu, sang pendeta kembali bertanya kepada Abu Bakar, “Apa pekerjaanmu?”  Abu Bakar menyahut, “Berdagang.”  Usai melancarkan sekian pertanyaan, pendeta itu berujar, “Pada masamu ini akan datang  seorang laki-laki keturunan Bani Hasyim yang bernama Muhammad al-Amin. Ia bermarga Hasyim dan akan menjadi nabi akhir zaman.”

“Kalau tidak ada beliau, niscaya Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi. Termasuk apa saja yang ada pada keduanya. Tanpanya, Allah juga tidak akan pernah menciptakan Nabi Adam, para nabi dan rasul. Muhammad itu pemimpin para nabi dan rasul. Ia adalah nabi terakhir. Kamu akan masuk agama Islam yang dibawanya.”

“Kelak kamu akan menjadi orang kepercayaannya sekaligus bakal menjadi pengganti kepemimpinannya. Inilah makna mimpimu itu”, pungkas sang pendeta. “Aku mendapatkan informasi ihwa ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad di dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Sungguh, aku sendiri sudah mengikuti agamanya.Hanya saja aku menyembunyikannya.”

Usai mendengar penjelasan sang pendeta tentang sifat-sifat Nabi, Abu Bakar luluh hatinya dan merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi di Mekkah. Sesampainya di Mekkah, Abu Bakar tak membuang waktu, ia langsung mencari Nabi dan ia berhasil bertemu. Sejak pertemuan itu, Abu Bakar jadi kian cinta kepada Nabi  dan tidak pernah ingin berpisah.

Kondisi hati Abu Bakar seperti itu berlangsung cukup lama, hingga suatu hari Nabi  bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar setiap hari kamu mengunjungiku. Seringkali juga kamu duduk bersamaku. Namun mengapa kamu tidak masuk Islam?” Abu Bakar menjawab, “Jika kamu benar  seorang nabi, tentu kamu memiliki suatu mukjizat.”

“Apakah belum cukup untukmu mukjizat yang kamu alami dalam mimpimu ketika kamu berada di Syam. Kemudian mimpimu itu ditafsirkan oleh seorang pendeta Nasrani yang juga sudah menyatakan keislamannya?”  desak Nabi. Lalu seusai mendengar sabda Nabi  itu, Abu Bakar berikrar, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau  adalah utusan Allah.”

Ketiga, masih dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip sebuah hadits Nabi yang bersumber dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya, “Ya Rasulullah ajarkan aku satu perbuatan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka.”

Nabi menjawab, “Jika kamu melakukan kejelekan, maka ikutilah dengan kebaikan.”  Abu Dzar bertanya lagi, “Apakah termasuk kebaikan kalimat “Laa Ilaaha Illaahu itu”? Lalu Nabi menjawab, “Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik.”

Keempat, bersumber dari Abu Hurairah, dia mengaku mendengar Nabi bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.”  Para sahabat bertanya, “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari).

Kelima, Jalaluddin al-Suyuthi dalam karyanya, yakni kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul menceritakan tentang seorang kaya dermawan yang berhasil membeli surga. Awalnya, diceritakan bahwa ada seorang laki-laki kaya yang memiliki sebotong pohon kurma yang dahannya menjuntai ke pekarangan rumah seorang laki-laki miskin yang memiliki banyak anak.

Namun ketika beberapa butir kurma itu jatuh dan diambil oleh anak-anak orang miskin, pemilik pohon kurma malah mengambil kembali kurma itu padahal tengah dalam genggaman mereka.  Tak hanya itu, kurma yang sudah berada di dalam mulut anak-anak orang miskin tadi dikeluarkan dengan paksa.

Laki-laki miskin itu berinisiatif  mengadukan yang mereka alami kepada Nabi.  Nabi menerima pengaduannya. Suatu hari, Rasulullah bertemu dengan pemilik pohon kurma yang kikir seraya beliau berkata, “Berikanlah pohon kurmamu kepadaku yang dahannya menjuntai ke pekarangan rumah seorang laki-laki miskin yang memiliki banyak anak.”

Nabi menawarkan, “Sebagai imbalannya kamu akan mendapatkan surga yang di dalamnya terdapat sebatang pohon kurma.”  Namun laki-laki kaya itu bilang, “Hanya seperti itukah penawaranmu?”. Kemudian laki-laki kaya yang kikir itu pergi begitu saja meninggalkan Nabi.

Rupanya, percakapan mereka didengar oleh seorang laki-laki yang kebetulan melintas di tempat yang sama. Laki-laki itu bergegas menghampiri Nabi dan berujar, “Wahai Rasulullah, apakah imbalan tersebut juga berlaku untukku jika aku berhasil mendapatkannya dan menyerahkannya kepadamu?”

Rasulullah menjawab, “benar”. Tak membuang waktu, laki-laki yang juga kaya dan banyak memiliki pohon kurma itu lantas bertandang kepada pemilik pohon kurma yang dahannya menjuntai ke pekarangan rumah orang miskin. Setelah bertemu, ia bertanya, “Apakah kamu bersedia menjualnya?”

Laki-laki yang kikir menjawab, “Tidak. Kecuali jika aku diberi apa yang aku mau”. Laki-laki yang mau membeli tadi bertanya, “Berapa imbalan yang kamu mau?” Laki-laki yang kikir bilang, “Empat puluh pohon kurma”.  Laki-laki yang mau membeli tadi berujar, “Permintaannmu itu sungguh terlalu tinggi.”

“Baiklah, aku setuju membelinya dengan empat puluh pohon kurma”, ujarnya tegas.Usai mendatangkan saksi dan bertransaksi, lantas ia bergegas menemui Nabi. Setiba di hadapan Nabi, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesunggguhnya pohon kurma itu sekarang telah menjadi milikku dan aku akan memberikannya kepadamu.”

Nabi juga bergegas ke rumah laki-laki miskin yang banyak memiliki anak. Beliau bersabda, “Pohon kurma ini sekarang menjadi milikmu dan keluargamu”. Alhasil, orang miskin tadi  menjadi pemilik baru pohon kurma yang berbuah lebat dan seorang laki-laki yang memberinya mendapatkan surga yang di dalamnya terdapat sebatang pohon kurma juga.

Inilah praksis dakwah dialogis pada masa Nabi yang masih bisa terus diadaptasi dan duplikasi pada masa kini. Belakangan dakwah dialogis atau interaktif ini dikenal sebagai dakwah dengan metode hiwar (percakapan).

Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA.,  Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *