Jangan Lupa Jatuh Cinta: Novel yang Mengajak Pembacanya Jatuh Cinta pada Sastra!

Judul Buku: Jangan Lupa Jatuh Cinta

Penulis: Helvy Tiana Rosa, Malika Tazkia, Ummi Indriana

Penerbit: Bukunesia

Cetakan I, April 2025

Tebal: xiii + 280 hlm

 Milenianews.com, Ngobrolin Buku– Di tengah gelombang karya sastra populer yang banyak menampilkan romansa generik dan kisah cinta yang berulang, hadir sebuah novel yang justru memilih jalan sunyi: Jangan Lupa Jatuh Cinta. Sebuah novel puitik yang lembut dan sekaligus menghantam: menghantam persepsi umum kita tentang mahasiswa sastra yang sering diremehkan, dan menyentuh kesadaran kita bahwa cinta tidak selalu harus bersuara keras.

Yang menjadikan novel ini istimewa bukan hanya isinya, melainkan juga bagaimana dan oleh siapa ia ditulis. Ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, nama yang telah lama lekat dalam khazanah sastra Indonesia, bersama dua mahasiswinya di Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta. Buku ini menjadi novel pertama yang mengangkat sepenuhnya kehidupan mahasiswa Prodi Sastra Indonesia sebagai tokoh utama. Sebuah gebrakan yang tidak hanya berani, tapi juga diperlukan.

Kampus, Bahasa, dan Luka yang Sunyi

“Masuk Prodi Sastra Indonesia? Mau jadi apa?”

Pertanyaan itu sering menghantui para mahasiswa Prodi Sastra Indonesia. Tapi Diandra, Adiba, Tapa, dan Lendra membuktikan bahwa Sastra Indonesia lebih dari sekadar puisi, prosa, dan drama, melainkan panggilan jiwa, perjuangan, dan mimpi besar yang menanti untuk diwujudkan.

Diandra, gadis penuh rahasia, pengidap psikosis,  kadang tak bisa membedakan khayalan dan kenyataan. Ia merangkai puisi dari luka. Adiba, aktivis yang yakin sastra bukan hanya menawarkan makna namun juga perubahan. Ia dibesarkan kedua orang tuanya yang tuli, yang tak pernah bisa mendengar suara merdunya. Hari-hari Adiba adalah memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai obat segala, hingga ia dijuluki “Nona Seledri”. Tapa, filsuf muda, menelusuri makna kehidupan dalam aksara, tak bisa jatuh cinta kecuali pada gadis cerdas yang bisa mendebatnya dalam diskusi. Lendra, aktor flamboyan, membawa emosi dan obsesi hidup ke atas panggung teater.

Mereka menemukan rumah di Bengkel Sastra, tempat ide-ide menyergap, cinta menyapa, teater mengguncang jiwa, dan persahabatan diuji. Diskusi hangat tentang Rendra, Malna, hingga Kafka, pementasan yang melelahkan, tawa dan air mata di balik layar, hingga demonstrasi di gedung wakil rakyat, semua menjadi bagian dari perjalanan mereka.

Sesungguhnya mereka bukan sekadar karakter, tapi cermin dari banyak mahasiswa yang diam-diam sedang jatuh cinta pada bahasa, pada hidup, pada diri sendiri.

Bahasa Visual dan Irama yang Tenang

Yang memikat dari novel ini adalah kekuatan visual-nya. Setiap adegan terasa sinematik: Diandra berdiri menatap jendela, Adiba membaca puisi di teater terbuka, Tapa berdiskusi di bawah pohon kampus, atau Lendra membacakan monolog di panggung tua. Semua itu seperti potongan-potongan adegan film pendek, namun justru dari ketenangan itulah novel ini mendapatkan daya hantarnya.

Dengan narasi yang mengalir, novel ini tidak mementingkan klimaks yang berisik. Ia tumbuh perlahan seperti puisi yang tak memaksakan diri untuk dimengerti dalam sekali baca. Pembaca diajak menyelami, bukan berlari. Menariknya lagi, isu-isu penting seperti kesehatan mental, relasi kuasa, pencarian jati diri, dan posisi sastra di tengah dunia yang serba cepat, hadir secara organik dan tidak digurui.

Sebuah Eksperimen Kolaboratif

Sebagai karya kolaborasi, Jangan Lupa Jatuh Cinta tentu memiliki tantangan. Ada bagian yang gaya narasinya lebih matang dibanding bagian lainnya. Namun justru karena itu, novel ini menjadi penting: ia adalah eksperimen penulisan kreatif antara dosen dan mahasiswa yang jarang terjadi di dunia pendidikan sastra kita. Bukankah sudah waktunya kita memiliki ruang untuk eksperimen seperti ini?

Novel ini membuktikan bahwa Prodi Sastra Indonesia tidak hanya bisa melahirkan kritikus dan guru bahasa, tetapi juga seniman yang peka, tajam, dan tetap manusiawi. Jangan Lupa Jatuh Cinta menjadi bukti bahwa kampus bukan sekadar tempat belajar teori, tetapi ruang hidup yang penuh puisi, luka, dan cinta.

Menanti Versi Filmnya

Dalam peluncuran novel ini di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 25 April lalu, Panji Sakti, musisi yang tengah naik daun dengan karya-karyanya, memperkenalkan lagu: Jangan Lupa Jatuh Cinta. Syairnya diambil dari puisi yang ada di novel tersebut. “Doakan agar bisa menjadi soundtrack filmnya kelak!” ujar Panji.

 

Hujan menulis puisi di kaca jendela,

huruf-hurufnya perlahan pudar,

mengalir seperti waktu

yang tak pernah berhenti menunggu.

 

Di rak buku,

cerita-cerita berbisik pelan

kepada tangan yang lupa menyentuh,

kepada hati yang terlalu lelah bertanya.

 

Langit sore memeluk kampus,

dan angin membawa pesan sunyi:

“Jangan lupa mendengar

apa yang tak pernah diucapkan dunia.”

 

Jangan lupa jatuh cinta,

pada pagi yang tak meminta perhatian

pada hujan yang setia mengetuk daun-daun,

pada sastra yang memelukmu

saat dunia terlalu sibuk untuk sekadar

bertanya: bagaimana kabarmu?

Dengan karakter dan visualisasi yang kuat, serta tema yang reflektif, novel ini memang amat potensial untuk difilmkan. Tidak sebagai drama romansa biasa, melainkan sebagai narasi puitik yang jujur tentang anak-anak muda yang memilih jalan berbeda, dan menjalaninya dengan kesadaran penuh bahwa sastra bukan jalan pintas, tapi jalan yang perlu dicintai setiap harinya.

Dan kita, para pembaca, diajak mengingat kembali bahwa yang paling penting dalam hidup, kadang cukup satu kalimat sederhana: Jangan lupa jatuh cinta!

Penulis: N. Paramitha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *