Namanya Sora Adijatmiko, seorang mahasiswi aktif yang bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran. Pelayan restoran bukan lah cita-citanya, namun ada suatu hal yang menyebabkan ia melakoni hal tersebut. Selain untuk memenuhi kebutuhannya, ia juga butuh ruang untuk menemukan arti cita-cita yang sebenarnya. Dulu. Saat duduk di bangku sekolah, Sora adalah murid yang pendiam dan tidak banyak bicara. Yang ia lakukan hanyalah membaca
lembar demi lembar buku pelajaran, berharap dimasa depan nanti ia akan sukses dan dapat menggapai mimpinya. Tapi, Sora sendiri tidak tahu menahu apa cita-citanya. Sehingga, ia hanya berjuang dan berusaha untuk melakukan hal yang semestinya.
Beberapa bulan ini Sora merasa cemas saat dia berada di keramaian. Ia sudah sudah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Tetapi, kali ini berbeda. Sora tidak yakin untuk bisa mengatasinya, sehingga ia pergi ke psikiater terdekat untuk menghetahui apa yang terjadi pada dirinya.
Disinilah Sora berada. Duduk dihadapan dokter psikiater bukan lah hal yang buruk, namun Sora sangat takut, sangatlah takut, sehingga telapak tangannya yang semula hangat kini menjadi dingin. Keadaan menjadi tidak terkendali saat Sora mendengar tentang diagnosa penyakit mental nya, Sora terdiam cukup lama. Cukup lama untuk mencerna semua kalimat yang diucapkan oleh dokter psikolog tersebut.
“Tidak bisakah anda memberiku obat?” Sora meminta, ia tahu apa yang di idapnya, yakni penyakit mental bernama ‘Agoraphobia’.
Agoraphobia merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan. Gangguan ini menimbulkan perasaan takut dan khawatir yang berlebihan ketika berada di tempat yang membuat sang pengidap merasa tidak aman. Sora tentu ingin sembuh, ia memang suka berada di rumah, mengunjungi perpustakaan saat sepi atau membeli kopi saat kedai hampir tutup.
Tetapi jika ia harus menjalani hidup seperti itu, itu menurutnya bukanlah hidup. “Tidak bisa, itu terlalu awal bagimu” Sang dokter menghela nafas panjang setelah mendapati Sora ingin mengonsumsi obat untuk meringankan penyakitnya. Dokter berfikir keras apa yang harus ia lakukan terhadap Sora, penyakit itu memang menakutkan tetapi, Sora masih terlalu dini untuk melawann penyakitnya dengan menggunakan obat-obatan.
“Begini Sora, dari masa sekolah mu sejak sekolah dasar hingga sekarang mana yang paling berkesan?” Dokter bertanya dengan was-was, takut menyinggung Sora yang tengah 1 www.halodoc.com diakses pada tanggal 30 Januari 2023 memainkan jarinya karena gugup. Sora menjawab dengan mantap “Sekolah menengah akhir”.
Menurut Sora, masa sekolah menengah akhir adalah masa yang biasa saja, tetapi sangat berkesan bagi Sora.
“Baiklah, kita akan kembali ke masa sekolah akhir sora,” ucap Dokter tersebut mempersilahkan Sora menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia tanyakan dengan tenang.
“Setelah lulus dari SMA, apa yang ingin kau lakukan?
“Kuliah”
“Jika kuliah, kau ingin berkuliah di universitas mana?”
“Hanya tiga terbaik di kota ini”
“Kalau begitu, apa jurusan yang ingin kau dapat?”
“Apapun yang menghasilkan uang.”
Pertanyaan yang terlontar hanya cukup sampai disitu, selebihnya Dokter pun diam. Ternyata Sora benar-benar tidak punya satupun cita-cita. Hidup tanpa cita-cita hanyalah selembar kertas tanpa pena, Sora harus mempunyai pena tersebut.
Jika tidak ia akan sulit untuk sembuh, setidaknya ia harus mempunyai hal yang dituju guna menjadi semangat Sora untuk kembali seperti semula. Sang Dokter pun menyarankan Sora untuk mencari cita-cita apa yang ia inginkan. Sora menyanggupinya, namun ia tidak bisa janji bisa menemukan cita-citanya.
Sora pulang, ke rumah. Rumah yang nyaman menurutnya, namun hatinya tidak tenang. Pandangan matanya menyapu seluruh sudut ruangan, mencari-cari apa sekiranya yang dapat ia gunakan sebagai alat untuk mencari cita-cita. Ada satu alat musik di pojok ruangan, yaitu gitar.
“Tidak, aku benci menjadi pusat perhatian,” Sora menggeleng dengan dalih ia benci menjadi pusat keramaian, namun itu kenyataan. Setelah itu langkah Sora membawanya pergi menuju dapur. Sora pandai memasak, mungkin ia bisa menjadi koki. Semua yang ia masak rasanya enak, tapi mengingat bagaimana rusuhnya saat ia memasak ia mengurungkan niat itu, jika tidak ia akan membakar hangus seluruh tempat dimana ia bekerja.
Sora suntuk, sehingga ia memutuskan berjalan-jalan sebentar sekalian mengirim surat cuti dari pekerjaan nya sebagai pelayan restoran. Keadaannya cukup baik kali ini, karena ia sedang berfokus dengan mencari cita-citanya.
Sora mengunjungi restoran tempatnya bekerja dan bertemu rekan-rekan kerjanya. Setelah menyerahkan surat cuti, sora bermaksud untuk pulang. Namun, ia berhenti karena merasa bertemu dengan sosok yang familiar. Sesorang itu menatapnya dengan pandangan tidak percaya, begitupun dengan Sora. Inilah yang Sora sebut ‘masa sekolah akhir yang berkesan’ Kesan buruk.
Tuhan menciptakan seluruh semesta dengan indah, namun mengisinya dengan monster. Monster itu, yang merundung Sora saat SMA. Sora kembali ke rumah, suasana hatinya kembali memburuk setelah bertemu dengan
seseorang yang dia anggap ‘monster’ itu. Di masa SMA tidak ada yang ia ingat kecuali bagaimana ia dipukuli karena tidak mau memberi uang, mengerjakan pr mereka dan menghapus coretan-coretan dimeja sekolahnya. Tentu saja itu berkesan, namun kesan yang buruk.
Sora kemudian menangis, tangisan yang membuat dadanya sesak dan leher nya tercekat tentu separah itu. Ia mengambil buku catatan yang biasa digunakan untuk menulis, dulu. Dulu saat dirundung, Sora tidak bisa melampiaskan pada apapun kecuali menulis. Menulis membantu Sora untuk bangkit, walaupun tulisan-tulisan yang ia tulis terkadang tidak berarti namun itu adalah bukti bahwa Sora dapat melewati masa yang sulit.
Sora memutuskan cita-citanya adalah menjadi seorang penulis. Selain itu ia juga memaafkan semua perundungan yang ia dapatkan, tapi ia tidak janji bisa melupakannya. Saat ini Sora tidak ingin menyerah, dan tidak bisa menyerah dalam keadaan apapun. Karena ia melawan dirinya sendiri bukan orang lain, keadaan, maupun waktu. Sora saat ini menulis kalimat demi kalimat yang ia akan jadikan cerita inspiratif, beberapa kali mengikuti kompetisi
menulis namun gagal.
Novel yang ia terbitkan tahun lalu hanya terjual lima puluh tujuh salinan, namun tak apa. Setidaknya ia bisa belajar dari kegagalan, gagal bukan berarti kalah. Dan yang kalah bukan selalu gagal. Tetaplah berjuang, jangan menyerah. Karena terkadang keajaiban itu ada.
Penulis : Herlina Susanti – SMA NU 3 Gresik
Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email [email protected], untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.
Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.