Aku dan Samudra

Aku dan Samudra

Aku benar-benar membenci Air. Aku membenci Lautan, bahkan membenci Samudra. Dulu kamu memang sahabatku, tapi Karena kamu, karena perbuatanmu, kamu memisahkan diriku dengannya.

Di hari yang mulai gelap, Nara baru saja sampai di rumah sehabis sepulang sekolah, dengan kondisi seragam sekolah yang sobek. Ketika Ranti, Ibu Nara menyambut kedatangannya, wajahnya langsung khawatir melihat kondisi Nara.

“Ra? Baju kamu sobek sayang? Siapa yang bikin bajunya sobek nak?” tanya Ranti. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia langsung naik tanpa menjawab pertanyaannya. Menaiki satu persatu anak tangga untuk sampai ke kamarnya. Nara selalu saja seperti itu. Ranti sebenarnya tau, kalau Nara mendapatkan perundungan di sekolah leh teman-temannya, hanya saja Nara tidak pernah berterus terang padanya.

Karena khawatir, Ranti langsung menghampiri Nara. Perlahan, Ranti membuka pintu kamar Nara dan langsung masuk. Kamarnya gelap, tas sekolahnya tergeletak di lantai, disitulah Nara menutup dirinya dalam selimut. Hal itu sudah menjadi rutinitas untuk Nara. Berangkat ke sekolah, mendapatkan perundungan dari teman-teman sebayanya, pulang dalam keadaan kotor, sampai rumah, masuk kamar dan bersembunyi di dalam kegelapan.
Kali ini, Ranti tidak akan tinggal diam. Ia harus mengubah sikap Nara yang cenderung berpengaruh negatif untuk
anaknya.

“Nara? Mau sampai kapan gini terus? Ibu setiap hari khawatir sama kamu,” ucap Ranti pada Nara, tapi Nara seperti
enggan menjawab.

Ibunya mengambil helaian nafas.

“Ra… ibu tau, kamu masih belum bisa kan melupakan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu? Tapi mau bagaimana pun, kita harus bisa melupakannya.”

“Tapi bu, karena dia, Nara benar-benar tidak mau kenal sama yang namanya air. Nara menyesal pernah berteman
sama air bu. Setiap kali Nara ke pantai atau ke tempat renang, Nara selalu keingat.” jelas Nara.

“Ibu ngerti kok, kalau Nara sekarang takut, bahkan benci sama air. Coba kamu bayangin kamu dan teman-teman yang suka menindas kamu. Kalau terus diam, apa mereka akan berhenti? Nggak kan? Nah maka dari itu, kamu harus buktikan ke mereka. Kamu tunjukan ke mereka kalau kamu bisa Nara. Contohnya berenang. Ibu yakin banget kamu bisa Nara. Dan satu lagi, kayaknya ibu harus kasih sesuatu ke kamu sekarang. Tunggu sebentar, Ibu ambil dulu.”

Ranti pun keluar dari kamar Nara untuk mengambil sesuatu. Heran. Bingung. itu yang saat ini Nara rasakan.

“Kasih sesuatu? Ibu senmbunyiin apa dari aku?” tanya Nara dalam batin.

Sampai akhirnya Ranti datang membawa kotak berwarna coklat di tangannya.

“Itu apa bu?” tanya Nara.

“Ibu minta sama kamu, kamu baca semua surat ini ya. Ibu harap kamu mengerti dan berubah fikiran setalah baca,”
perintah Ranti. Nara membalas dengan anggukan. Ranti pun meninggalkan Nara sendirian. Membiarkan Nara mendapatkan tempat untuk tenang.

Nara membuka kotak tersebut. Matanya tertuju pada foto sewaktu dirinya masih kecil. Di foto itu, Nara tersenyum
lebar. Ia sedang berenang dengan seseorang laki-laki. Nara membalik foto itu dan ada tulisan, aku dan putri kecil kesayanganku.

Nara juga melihat ada buku kecil. Ia mengangkat buku tersebut, tapi secarik kertas terjatuh. Sontak Nara mengambil kertas itu.

Coretan berbentuk huruf menarik perhatiannya. Tulisan tangan yang tidak asing bagi Nara.

Untuk Nara Puspita, Putri Samudra Arifin Pradjojo, yang sangat aku cintai. Putriku, ayah membuat surat ini Khusus untuk kamu sayang. Di surat ini, ayah ingin menceritakan kisah ayah. Mungkin kamu berfikir sedari dulu, ayah sudah bersahabat dengan air? tapi sebenarnya, Ayah takut dengan air. Karena air merenggut nyawa Nenek kamu. Ayah benar-benar takut. Saat itu, satu-satunya orang yang ada hanya tante kamu. Hanya dia satu-satu keluarga Ayah. Kakek kamu, tidak pernah Ayah anggap.

Ia selalu saja menyiksa Nenek kamu. Dan benar saja, kakek kamu yang membunuh Nenek kamu. Ia membawa Nenek kamu ke pantai, mencari tempat yang tinggi, lalu didorongnya. Entah apa yang mereka permasalahkan. Sampai ia tega melakukan hal itu. Itu membuat Ayah selalu terbayang kejadian itu. Setiap melihat air, Ayah takut. Melihat itu terus menerus di pantulan air sampai keajaiban terjadi pada ayah. Tuhan memberikan ayah orang-orang baik, tante kamu yang setiap hari tidak pernah bosan memberikan dukungan. teman Ayah, dia yang mengenalkan Ayah pada dunia berenang. Dan terakhir, ibu kamu, ia selalu ada disisi ayah. Dari semua itu, Ayah sadar, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua bergantung pada diri kita. Mungkin cerita Ayah agak terdengar biasa saja. Ayah tidak tau, kedepannya apa tantangan yang akan kamu hadapi. Ayah harap, kamu tidak membenci air. Tanpa air, kita tidak bisa hidup. tanpa air, hewan-hewan laut tidak bisa hidup. Air tidak pernah jahat sayang. Semua ini bergantung pada diri kita sendiri, Tuhan, dan takdir yang akan menuntun. Masa lalu, biarlah
berlalu. Jangan pernah kamu membiarkan diri kamu tenggelam dalam ketakutan. Satu lagi, ini permintaan terakhir Ayah. Ayah mau kamu terus berenang. Bekerjasama dengan air tidak begitu buruk. Jadi, bersahabatlah dengan air, karena air tidak akan pernah menyakiti kamu. -Dari Samudra untuk Nara-

Setelah membaca Surat dari mendiang ayahnya, Nara tersadar, bukan Air lah yang selama ini menjadi musuhnya, tapi masa lalu yang membuat dirinya takut hingga benci.

“Betul kata Ibu, aku nggak bisa gini terus,” batin Nara. Ia berdiri dari tempat tidurnya, keluar dari kamar untuk menghampiri Ibunya.

“Bu, Nara mau coba berenang lagi. Nara mau buktiin juga ke teman-teman Nara, kalau Nara itu bukan orang yang
pantas mereka remehkan,” ucap Nara.

**

Beberapa hari kemudian, Nara pergi ke tempat latihan berenang, di sekolahnya, Seorang diri. Mengingat Nara tidak
memiliki teman sama sekali. Baru saja dirinya menginjakan kakinya, tiba-tiba ia melihat ada yang sedang marah-marah dari kejauhan pada seorang perempuan yang terlihat ketakutan. Ia kenal sosok disana yang ternyata ia Amel, murid populer.

Ia dikenal hebat dalam bidang olahraga renang, tetap saja, Amel termasuk orang yang meremehkan dirinya. Niat Nara ingin menolong, tapi seluruh tubuhnya sangat sulit ia gerakan. Rasa takut menghampirinya.

“Tenang Nara, kamu harus bisa mengalahkan dia,” Batin Nara. Tanpa berlama-lama, Nara langsung menghampiri
Amel. Keberanian Nara menyebar hingga darah seperti mendidih. “Mel! Stop, bisa nggak lo nggak cari masalah?” tanya Nara agak kesal.

“Ya terserah gw dong. Lo siapa?” balas Amel sambil mendorong Nara. Karena kesal, Nara membalas hingga Amel
terjatuh, mengaduh kesakitan.

“Sekarang lo berani ya Nar? Gini saja, gimana kalau kita adu berenang? Kalau lo kalah, lo harus siap buat jadi babu gw. Kita bakal adu dua minggu lagi di kolam renang sekolah.” tantang Amel.

“Ok Mel, siapa takut? Kalau lo kalah, jangan pernah lo ganggu gw dan cewek disebelah gw ini,” jawab Nara. Amel hanya berdecih kesal dan langsung pergi dari mereka berdua.

“Makasih ya, kalau nggak ada lo, mungkin gw udah habis sama Amel.”

“Iya sama-sama, ngomong-ngomong, nama lo siapa? Sekalian gitu kita kenalan.”

“Nama gw Vivi.”

“Gw Nara, salam kenal ya Vivi, gw harap kita bisa jadi teman baik.”

**

Setelah kejadian itu, Nara dan Vivi menjadi teman baik. Ternyata, Vivi adalah salah satu siswi dari ekskul renang. Ia
juga mendapat perundungan dari Amel dan beberapa temannya. Nara tidak sendiri mengalami hal ini, Vivi juga mengalami hal yang sama dengannya.

Saat ini, Nara suka datang ke tempat Vivi untuk menunggunya selesai ekskul. Beberapa saat kemudian, Vivi pun
selesai ekskul dan menghampiri Nara. “Hai Nara, lo pasti nunggu lama kan?” sapa Vivi sekalugus bertanya.

Nggak kok Vi. Eh, ayo kita pulang, keburu sore,” ucap Nara.

“Ok, tapi aku bersih-bersih dulu ya.”

“Iya Vi, gw tunggu disini ya,” ucap Nara. Vivi langsung pergi meninggalkan Nara. Tak lama kemudian, ada seorang
laki-laki datang menghampiri Nara. Menyambut Nara dengan senyuman. “Hai, kalau boleh tau lagi nunggu siapa?” tanya Randy, kakak kelas Nara.

Randy salah satu siswa dari ekskul renang, sekaligus cowok populer di sekolah. Banyak siswi di sekolah yang
menyukai Randy. “Eh iya kak, nungguin Vivi nih hehe, kakak sendiri nggak balik?” tanya Nara malu.

“Baru selesai gw. Oh iya, gw dengar dari anak-anak sini, lo sama Amel bakal tanding ya Renang? Gila lo keren sih,
Baru kali ini ada yang ngelawan Amel. Tapi, gw yakin yang menang lo sih,” puji Randy. Nara tersipu mendapat pujian dari Randy.

“Bisa aja kak, gw nggak sejago itu.” ucap Nara, ragu.

Nggak, gw yakin banget lo bisa ngalahin Amel. Biar tau rasa itu cewek. Gw dukung lo Nar. Eh Btw, gw duluan ya.
Sering-sering main ke sini,” ucap Randy dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Nara mengganguk. Randy pun meninggalkan Nara.

“Wah, Nara, lo keren banget bisa bikin Kak Randy muji gitu. Lo apain Kak Randy?” bisik Vivi yang tiba-tiba muncul
di sebelah Nara. Tentu saja Nara terkejut melihat Vivi.

“Ih, ngagetin aja lo Vi. Soal Kak Randy, tadi dia nyamperin gw. Nggak ada apa-apa lah.”

“Masa sih Nar? Kayaknya sih Kak Randy tertarik sama lo,” goda Vivi.

NGGAKLAH VI, ORANG GANTENG KAYAK DIA, MANA MUNGKIN SUKA GW.”

“Hihihi, salting dia.”

“Udah yuk Vi, kita pulang. Udah sore nih,” ucap Nara dengan wajah merona.

“Aduh lo kalau salting lucu Nar. Yaudah kita pulang.” Vivi berlari mendahuluinya.

Nara termenung, mengingat
ucapan Randy padanya. Gw yakin banget lo bisa ngalahin Amel. Kata-katanya membuat Nara benar-benar ingin membuktikan. Sampai rumah, Nara merenung, sudah satu minggu berlalu. Sebelumnya, Nara mencoba untuk melihat air di pantai. Terkadang Nara masih suka membayangkan kejadian mendiang Ayahnya. Sepertinya, aku harus benar-benar bisa menerima. Aku harus meminta maaf pada Samudra.

Keesokan harinya, di Sabtu pagi, Nara diajak Vivi ke sekolah untuk berlatih renang. Memang murid-murid ekskul
renang, diperbolehkan oleh sekolah untuk memakai kolam renang di hari sabtu.

“Ayo Nar, cepet!” ucap Vivi, terburu-buru.

“Aduh Vi, sabar dong-” Nara terhenti karena ada seseorang tiba-tiba muncul dari dihadapannya.

“Hai, Nara,” sapa Randy.

“Eh, Kak Randy. Ngapain Kakak disini?” tanya Nara.

“Oh, gw diajak sama Vivi berenang disini. Katanya juga ada lo, jadi ya gw terima tawaran dia,” jawab Randy sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Nara menatap Vivi tajam. Vivi dari kejauhan hanya cengegesan. “Boleh kan Nar?” tanya Randy.

“Iya Kak boleh kok, kan sekolah bukan punya gw juga.”

“Hahaha, iya juga ya. Yaudah yuk masuk. Lo duluan.”

“Iya Kak.”Mereka pun masuk bersamaan. Sudah 2 jam, tapi Nara masih saja belum menyentuh air. Vivi yang
memperhatikan Nara langsung menghampiri sahabatnya. “Nar, lo kenapa? Sini dong,” ajak Vivi.

“Nanti Vi,” ucap Nara. Dari raut wajah Nara, ia terlihat ragu. Dengan kekuatan kepekaan seorang Vivi, ia duduk di
sebelah Nara, mencoba bertanya pada sahabatnya.

“Nar, lo kenapa? Lo sakit?” tanya Vivi khawatir. “Nggak Vi, gw gapapa kok. Cuman, gitu… Gw-”

“Lo takut air Nar?” pertanyaan Vivi mengejutkan Nara. Sejak berteman dengan Vivi, Nara belum menceritakan soal
dirinya yang membenci air. Ia merasa kalau belum waktunya saja.

“Kayaknya tebakan gw bener. Gapapa kok Nar. Semua orang butuh proses. Ga perlu cerita sekarang kok, kalau udah siap aja-”

“Sebenarnya Vi, gw takut air karena dulu sempat ada kejadian yang bikin gw trauma. Gw bisa berenang, cuman gw
jadi nggak suka karena gw takut. Kebayang terus. Tapi Vi, gw mau hilangin rasa takut gw. Gw nggak mau terjebak terus,” ucap Nara, semangat. Vivi yang mendengar ucapan Nara lega sekaligus senang.

Nara, gw bakal dukung lo kok, lo pasti bisa melawannya. Dan juga, gw yakin lo bisa ngalahin Amel. I trust you, semangat Naraya Puspita. Tunjukan ke mereka bahwa lo, itu hebat.

Selesainya mereka. Semua kembali ke rumah masing-masing, kecuali Nara. Ia pergi ke pantai untuk menemui
sahabatnya. Sesampainya, Nara menatap laut dengan semu. Semua yang Nara alami, berubah begitu saja semenjak Naramembaca surat dari Samudra.

Hai kawan. Lama tak berjumpa. Aku kesini untuk merenung dan melihat keindahanmu. Maaf, aku baru menghampirimu sekarang. Aku sadar, bahkan masa lalu lah yang telah mengubah pandanganku terhadapmu, aku benar-benar minta maaf. Tidak lupa, aku ingin berterima kasih. Tanpa kamu, aku tau seperti apa air. Betapa indahnya kamu. Manfaatmu dalam kehidupan ini. Sekarang, hari ini, detik ini. Aku mau kita berteman lagi. Aku harap kamu mau memaafkanku. Izinkan aku, untuk bekerja sama denganmu.

**

Sudah dua minggu berlalu. Hari dimana Nara dan Amel akan bertanding. Banyak yang menatap Nara remeh,
menertawakan dan mengejek Nara. Ia tidak peduli dengan semua itu.

“Wah, cewek ini beneran dateng. Kalau gitu langsung aja kita mulai,” ucap Amel.

Tidak banyak bicara, Nara langsung ke posisi. Mengambil nafas. Mengumpulkan semua motivasi yang
ia dapatkan.

“Ayah, Nara akan melawan ketakutan Nara. Ayah, Nara ingin Ayah melihat Nara ya,” batin Nara.

“Siap!” suara peluit yang ditiup oleh wasit berbunyi. Hebatnya, Nara tidak membayangkan kejadian itu. Tubuhnya
seakan terbawa air. Sensasi yang sudah lama ia tidak rasakan. Semua orang yang menonton terkejut. Nara sangat cepat. Vivi dan Randy juga terkejut melihat Nara. “Wah, Nara cepet banget. Gw baru tau Nara sejago itu,” ucap Randy.

“IYAKAN! TEMEN GW MEMANG KEREN.” posisi Amel benar-benar terdesak. Ia mencoba menambah
kecepatannya, namun tidak terkejar sama sekali. Nara terus berenang, dengan suasana hati yang sangat senang. Dan Nara membuktikan pada teman-temannya. Di depan semua orang. Ia berhasil membuat semua orang diam. Nara… mengalahkan Amel yang notabenenya siswi andalan sekolah. Semua orang yang mendukung Nara bersorak kencang.

Vivi dan Randy menghampiri Nara. Mereka sangat senang dan bangga dengan Nara.

“TUHKAN GW BILANG APA. LO PASTI BISA NAR. GW BANGGA DEH SAMA LO.” “Dugaan gw bener, Nar, lo bisa ngalahin Amel. Gw turut seneng. Lo keren Nar.” wajah Nara memerah. Kak Randy benar-benar membuatnya tersipu setiap kali bertemu. “jiah, mukanya merah tuh, udah kayak tomat gitu,” goda Vivi.

“Apaan sih Vi. Lo juga kalau dipuji gitu pasti sama kayak gw,”

“HEH NARA! MUNGKIN LO BERUNTUNG KALI INI, TAPI BESOK GW NGALAHIN LO,” teriak Amel dari
kejauhan. Ia tidak bisa menerima kekalahannya. Baru saja menginjak satu langkah, Amel terpeleset dan terjatuh. Semua orang disana menertawakannya. Termasuk Vivi dan Randy. Amel malu setengah mati. Ia berlari menahan rasa malunya.

**

“Eh iya, Nara gw balik duluan deh ya,” ucap Vivi tiba-tiba.

“Lah? Tumben banget?”

“Iya Nar, gw balik duluan ya.” Sempat sekejap menatap Nara, sambil menggerakan alisnya.

“Kesempatan nih Nar,” ucap Vivi menggodanya terus-terusan. Ia langsung pergi secepat kilat agar sahabatnya bisa berduaan dengan Randy.

Setelah ditinggal Vivi, Nara dan Randy benar-benar canggung, sampai salah satu membuka pembicaraan.

“Nar?”

“iya?”

Lo mau pulang bareng gw?”

“Eh seriusan? Nggak usah Kak, ngerepotin.”

“Buat lo mah nggak ngerepotin Nar.” pipi Nara merona. Jantungnya berdetak lebih kencang. Tidak hanya Nara, pipi Randy ikut merona.

Emm, jadi mau pulang bareng gw?”

“EH IYA AYOK KAK,” tangan Randy menyentuh pipi Nara, lembut.

“Nar, hari ini lo keren. Lo buktiin ke gw dan semua orang kalau lo mampu. Gw salut sama lo. Oh iya, Nar, gw… gw pengen ngajak lo pergi jalan. Bisa dibilang ngedate lah. Kira-kira lo mau nggak? Kalau nggak mau juga ga-.”
“GW MAU KOK KAK,” jawab Nara lantang.

“Eh!? seriusan?”

“I-iya kak. Btw, a-ayo Kak, kita balik.” Randy mengganguk, menyetujui Nara.

Samudra… lihatlah, aku bisa membuktikannya padamu, bahwa aku mengubah ketakutanku menjadi kekuataan. Aku janji, aku tidak akan membenci kamu lagi, karena sekarang aku akan terus menjadi temanmu. Untuk selamanya. -Dari Naraya Puspita untuk Samudra-

 

Penulis : Sheahnee Chlarinne Tanasale – SMAK 2 Penabur

 

Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email [email protected], untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.

Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *