Tiga Tingkat Urusan Dunia

Milenianews.com, Mata Akademisi– Habib Alwi al-Haddad dalam salah satu karyanya, yakni kitab Risalatul Mudzakarah , menuturkan tentang tiga tingkat urusan dunia. Pertama, urusan dunia yang berpahala. Kedua, urusan dunia yang akan dihisab. Ketiga, urusan dunia yang akan disiksa.

Dalam pandangan al-Haddad yang wafat pada 1720 Masehi di Yaman dan ratibnya dibaca luas di Indonesia, urusan dunia yang berpahala adalah yang menjadi sarana bagi kebaikan. Misalnya kendaraan yang digunakan orang beriman baik yang bersifat tradisional masa lalu seperti kereta kuda atau yang modern seperti mobil pada masa kini. Hanya saja syaratnya, lanjut al-Haddad tidak berlebihan sehingga dihukumi haram.

Dengan kata lain, dunia dijadikan sebagai alat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, seperti pesan Allah, “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. al-Ma’idah/5: 48). Atau dijadikan sarana untuk bersegera menjemput ampunan dan surga yang Allah siapkan bagi hamba-Nya yang bertakwa. Seperti firman-Nya, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran/3: 133).

Untuk itu agar bisa ajeg menjadikan dunia hanya sebagai sarana memperoleh pahala, Nabi memberi tips, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah kamu pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari). Hadits  ini dapat memupus rasa cinta dunia dan menjadikan dunia sebagai sarana saja.

Berikutnya urusan dunia yang akan dihisab, bagi al-Haddad dilatari oleh pencapaian nikmat dunia yang tidak didedikasikan untuk memenuhi perintah Allah, baik cara mendapatkannya maupun memanfaatkannya. Urusan dunia seperti ini mengakibatkan hisab yang berat dan panjang. Inilah salah  satu  alasan yang membuat orang miskin lebih dulu masuk surga ketimbang orang kaya dengan selang waktu lima ratus tahun dunia atau setengah hari akhirat.

Perbandingan ini sesuai informasi yang disampaikan Allah, “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. al-Hajj/22: 47). Bagi pengarang kitab Tafsir Jalalain,  yang dimaksud sehari di sisi Allah adalah  hari-hari di akhirat sedangkan makna menurut perhitunganmu adalah hari-hari di dunia.

Semog Allah memaafkan kita, yakni yang termasuk kategori ini dengan hisab yang mudah. Aisyah berkata,  “Aku telah mendengar Nabi pada sebagian shalatnya membaca, “Allahumma hasibnii hisabay yasiira.”  (Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah).  Ketika beliau berpaling aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang Allah melihat kitabnya (catatan  amalnya)  lalu Allah memaafkannya.” (HR. Ahmad).

Adapun urusan dunia yang mengandung siksa adalah perbuatan fasik dan melanggar perintah Allah. Di era sekarang memperkaya diri dengan melakukan korupsi adalah salah satu contohnya. Sebab korupsi  merugikan rakyat di seantero negeri. Tentu siksanya begitu pedih. Padahal Allah sudah mewanti-wanti hal itu dihindari, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah/2: 188).

Tentu dari tiga tingkat urusan dunia di atas,  kita berupaya untuk melakukan yang pertama. Inilah orientasi dan pilihan hidup kita. Dunia harus jadi perantara yang menghantarkan kita masuk surga.

Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA,  Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *