Berkurban sebagai Cermin Iman dan Empati Sosial

berkurban

Mata Akademisi, Milenianews.com – Bulan Dzulhijjah hadir sebagai pengingat sekaligus penggugah jiwa bagi umat Islam di seluruh dunia. Di dalamnya, Idul Adha bukan sekadar hari raya dengan tradisi penyembelihan hewan, melainkan sebuah momen reflektif tentang makna pengorbanan, keikhlasan, dan ketundukan kepada Allah SWT. Sayangnya, ibadah kurban kerap terjebak dalam rutinitas formal, hanya dilihat sebagai ritual tahunan tanpa benar-benar dipahami ruhnya.

Padahal, berkurban sejatinya adalah simbol ketaatan yang paling hakiki. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan sekadar cerita lama yang diulang-ulang saban tahun, melainkan cermin ketundukan mutlak atas kehendak Ilahi. Di sana ada keberanian meninggalkan ego, ada keikhlasan melepaskan yang paling dicintai. Dari sinilah kita belajar: bahwa berkurban bukan hanya tentang hewan ternak, melainkan juga soal hati yang bersedia tunduk tanpa syarat.

Baca juga: Makna Idul Adha

Namun berkurban tidak hanya soal relasi vertikal antara manusia dan Tuhan. Ia juga menyentuh sisi kemanusiaan yang paling mendasar: peduli terhadap sesama. Daging kurban yang dibagikan bukan semata-mata distribusi protein hewani, tetapi simbol dari distribusi keadilan.

Inilah saat ketika mereka yang selama ini hidup kekurangan, turut merasakan nikmatnya rezeki yang mungkin hanya datang setahun sekali. Ibadah ini adalah jembatan yang menghubungkan mereka yang mampu dengan mereka yang membutuhkan, sekaligus mempersempit jurang sosial yang selama ini menganga.

Dalam dunia yang semakin individualistis, berkurban adalah kritik yang senyap namun tajam terhadap mentalitas “urusan masing-masing.” Ia menyerukan bahwa harta bukan hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada hak orang lain di dalamnya. Di sinilah ajaran Islam tentang kepedulian sosial menemukan relevansinya: berkurban adalah latihan empati, pengingat bahwa kepekaan terhadap penderitaan orang lain adalah bagian dari ketakwaan itu sendiri.

Lebih jauh lagi, kurban melatih kita untuk melepaskan keterikatan pada materi. Mengeluarkan hewan terbaik, membelanjakan uang tidak sedikit, semua itu menantang kecenderungan manusia untuk menimbun dan menggenggam. Namun dari situlah kita dididik: bahwa kepemilikan sejati bukan terletak pada apa yang kita simpan, tapi pada apa yang kita relakan.

Tak hanya itu, momen kurban juga membuka ruang untuk membangun solidaritas. Prosesnya dari pengumpulan dana hingga distribusi daging adalah kesempatan untuk mempererat silaturahmi, menumbuhkan semangat gotong royong, dan memperkuat jaringan sosial. Idul Adha bukan hanya milik individu yang berkurban, tetapi milik komunitas yang merayakan kebersamaan.

Baca juga: Halal Bihalal dan Saling Memaafkan 

Pada akhirnya, berkurban bukan cuma soal menyembelih hewan. Ia adalah soal menyembelih ego, menundukkan nafsu memiliki, dan melatih diri untuk lebih peka terhadap sekitar. Maka, ketika seseorang berkurban, sesungguhnya ia sedang menapaki jalan ketakwaan, jalan yang tidak selalu mudah, tetapi penuh makna.

Idul Adha adalah momen pertanyaan: sejauh mana kita ikhlas melepas, sejauh mana kita peduli? Karena di balik darah yang mengalir dan daging yang dibagikan, tersembunyi pesan agung tentang manusia, Tuhan, dan kemanusiaan.

Penulis: Nengsih Agustin, Mahasiswa STEI SEBI

Profil singkat: Mahasiswi S1 jurusan Akuntansi Syari’ah di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI dan berada di semester 6. Saat ini sedang menjalani program magang di salah satu kantor wakaf yang berlokasi di Depok.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *