Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin (kiri), rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI,  membuka cakrawala berpikir para pendidik di hadapan para guru Sekolah Bakti Mulya 400, Senin (23/6/2025). (Foto: Dok BM 400)

Milenianews.com, JakartaDi  auditorium Sekolah Bakti Mulya 400 yang dipenuhi para pendidik sekolah tersebut, Senin 23 Juni 2024, sebuah wacana penting tentang arah pendidikan bangsa mengemuka. Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membuka cakrawala berpikir para pendidik melalui satu gagasan utama: membangun kepemimpinan guru dengan fondasi nilai-nilai nasional, kepercayaan, dan pemahaman akan transformasi zaman.

Karakter, Tradisi, dan Etika: Pilar Nilai Bangsa

Laode memulai dengan mengajak para guru dan kepala sekolah kembali ke akar. Ia menegaskan bahwa national value—nilai-nilai bangsa Indonesia—adalah fondasi utama dalam merancang arah pendidikan masa depan. Tiga pilar utama yang ia sorot adalah karakter, tradisi, dan etika.

Karakter, menurutnya, adalah kekuatan moral yang membentuk integritas guru dan peserta didik. Tradisi adalah jembatan peradaban yang menghubungkan warisan leluhur dengan tantangan kekinian. Sedangkan etika, adalah bingkai perilaku dalam masyarakat yang terus bergerak.

“Karakter itu bukan ajaran tambahan. Itu inti dari pendidikan,” katanya tegas. Tradisi dan etika, lanjutnya, bukan penghambat inovasi, tapi pemandu agar perubahan tidak kehilangan arah.

Ia mengingatkan bahwa pendidikan Indonesia memiliki tujuh sumber nilai utama: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, penghormatan terhadap budaya dan tradisi lokal, keadilan, kemanusiaan, serta toleransi dan kerukunan. “Nilai-nilai inilah yang menjadikan pendidikan kita memiliki ruh kebangsaan,” ucapnya.

Kepemimpinan Guru dan Filosofi Kepercayaan

Di bagian tengah paparannya, Laode menyoroti pentingnya teacher leadership. Tapi ia menyodorkan definisi yang tidak biasa. “Kepemimpinan guru adalah seni memengaruhi tanpa membuat orang merasa dipengaruhi,” ungkapnya.

Baca Juga : Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

Bagi Laode, inti dari kepemimpinan guru adalah trust—kepercayaan. Tanpa itu, komunikasi akan rapuh, informasi tak lagi bermakna, dan kepemimpinan kehilangan daya geraknya. Dalam struktur sekolah, trust membentuk ekosistem: antara guru dan murid, antar sesama guru, serta antara guru dengan orang tua dan masyarakat.

Ia menyebut model High Performance Leadership dalam pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar: kualitas komunikasi, kualitas informasi, dan kualitas kepemimpinan. “Ketiganya saling memperkuat dalam atmosfer kepercayaan,” katanya. “Kalau tidak ada trust, tak akan ada transformasi.”

Dari Filsafat Analog ke Filsafat Digital

Sesi menjadi lebih reflektif ketika Laode membahas perubahan mendasar dalam cara berpikir generasi hari ini. Ia menyebut bahwa pendidikan tidak hanya bergeser dalam metode, tapi juga dalam kerangka epistemologis: dari filsafat analog ke filsafat digital.

“Generasi analog berpikir kontinu—bertahap, linear, terstruktur. Sedangkan generasi digital bersifat diskontinu—cepat, acak, dan multitasking,” jelasnya.

Perubahan ini membawa tantangan besar bagi dunia pendidikan. Guru tidak cukup hanya memahami kurikulum. Mereka harus memahami cara berpikir baru, dunia baru, dan cara belajar yang sangat berbeda dari masa lalu. “Jika kita masih mengajar dengan filosofi analog di hadapan anak-anak digital, kita sedang menanam benih yang tak akan tumbuh,” ujarnya.

Di sinilah nilai-nilai bangsa menjadi jangkar. Tradisi dan karakter menjadi penyeimbang dari kecepatan digitalisasi. Etika menjadi pelindung agar teknologi tidak menjadi senjata yang menusuk keadaban.

Pendidikan dan Teknologi: Kecanggihan yang Bernurani

Laode tidak menolak kemajuan. Sebaliknya, ia menyambutnya dengan konsep yang ia rumuskan sendiri: ABC + BEM—Artificial Intelligence, Big Data, Connectivity ditambah Blockchain, Ethics, dan Moral values. “Teknologi membentuk masa depan, tapi manusialah yang menentukan arahnya,” tegasnya, mengutip pandangannya sejak 2020.

Ia menyoroti bahwa pendidikan ke depan harus menjangkau wilayah yang selama ini tidak tersentuh: daerah 3T, kelompok marginal, dan anak-anak yang belum terlibat dalam ekosistem digital. “Reaching the Unreachable,” katanya, adalah misi mulia yang seharusnya menjadi prioritas bangsa.

Penutup: Merancang Masa Depan yang Bernilai

Saat sesi ditutup, suasana auditorium menjadi hening. Para pendidik yang hadir tak hanya diajak berpikir, tapi juga diajak merasa—merasakan pentingnya peran mereka dalam mendidik bangsa di tengah pergeseran besar dunia.

“Jangan jadikan hari ini sebagai cermin masa lalu,” Laode mengingatkan. “Jadikan ia sebagai cermin masa depan. Karena dari tangan-tangan guru hari ini, nasib masa depan bangsa akan ditentukan,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *