Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah laju zaman yang serba cepat dan tuntutan hidup yang semakin kompleks ini, muncul sebuah istilah yang merepresentasikan tekanan sosial dan ekonomi yang dialami oleh sekelompok generasi: Generasi Sandwich.
Istilah ini merujuk pada individu, umumnya berusia antara 25 hingga 45 tahun, yang berada dalam posisi menanggung kebutuhan orang tua dan anak-anak sekaligus. Mereka seolah menjadi “isi” dalam roti lapis, terhimpit di antara dua generasi dengan tanggung jawab ganda yang tak jarang terasa membebani. Fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga mencerminkan benturan antara harapan ideal dan kenyataan yang sering kali tidak ramah.
Baca juga: Apa Itu Generasi Sandwich? Kenali Kehidupannya Di Sini!
Tuntutan yang dihadapi generasi sandwich datang dari dua arah: ke atas dan ke bawah. Di satu sisi, mereka merasa bertanggung jawab untuk merawat orang tua yang sudah menua dan mungkin tidak lagi produktif. Di sisi lain, mereka juga harus membesarkan anak-anak, membiayai pendidikan, dan memastikan masa depan keluarga inti tetap terjaga.
Tak jarang, impian pribadi seperti memiliki rumah sendiri atau melanjutkan pendidikan harus tertunda demi mendahulukan kebutuhan keluarga besar. Tekanan psikologis dan beban finansial pun menjadi konsekuensi yang harus dihadapi setiap hari.
Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap kesehatan mental. Banyak dari generasi sandwich yang mengalami stres kronis, kelelahan emosional, bahkan depresi. Mereka sering merasa bersalah ketika tidak bisa memberikan yang terbaik bagi orang tua maupun anak, meskipun mereka sendiri sudah berusaha semaksimal mungkin. Ketimpangan peran ini juga berdampak pada kualitas hubungan keluarga dan produktivitas kerja. Mereka hidup dalam siklus tekanan yang berulang tanpa sempat bernapas lega.
Mengatasi tekanan generasi sandwich tidak bisa dilakukan hanya dengan menyuruh mereka “lebih sabar” atau “lebih berhemat.” Negara, perusahaan, dan masyarakat perlu turut andil. Pemerintah dapat memperluas akses jaminan kesehatan dan pensiun yang layak bagi lansia, agar beban tidak sepenuhnya jatuh ke pundak anak-anak mereka. Perusahaan juga dapat menciptakan kebijakan ramah keluarga, seperti cuti fleksibel dan dukungan kesehatan mental.
Baca juga: Jangan Takut Gagal! Ini Cara Terbaik untuk Menghadapinya
Di tingkat masyarakat, kita perlu membangun budaya empati, bukan sekadar menuntut. Meski demikian, generasi sandwich tetap berusaha tegar dan kreatif dalam mencari solusi agar peran ganda ini dapat dijalankan dengan seimbang. Kehadiran mereka mencerminkan dinamika masyarakat modern yang penuh tantangan, sekaligus menegaskan pentingnya dukungan sosial dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan keluarga.
Generasi sandwich bukanlah generasi yang lemah, tetapi generasi yang memikul beban ganda dalam diam. Mereka berjuang mempertahankan kehormatan keluarga di tengah tekanan zaman yang tak memberi banyak ruang. Sudah saatnya kita berhenti menambahkan beban lewat ekspektasi sosial yang tidak realistis. Mereka tidak butuh penghakiman, tapi pengertian. Tidak butuh pujian, tapi dukungan. Sebab ketika generasi sandwich runtuh, bukan hanya satu keluarga yang terancam tapi juga struktur sosial yang lebih besar.
Penulis: Isman Iskandar, Dosen serta Rien Dyah Arifah, Siti Zahranurandini, Zahran Qolbi Ratna, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.