Mata Akademisi, Milenianews.com – Dakwah adalah pilar utama dalam penyebaran Islam. Sejak zaman Rasulullah, dakwah telah menjadi jalan untuk menyampaikan ajaran agama dan menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat (Alhafizh dkk, 2024). Kini, dengan hadirnya teknologi dan berbagai platform media, dakwah menjangkau lebih luas dan cepat. Namun, di balik kemudahan itu, dakwah menghadapi tantangan besar: pergeseran dari aktivitas spiritual menjadi instrumen material.
Realitanya, tidak semua dakwah berjalan di atas koridor yang lurus. Dakwah hari ini tidak jarang dijadikan panggung untuk mengejar popularitas, keuntungan pribadi, bahkan status sosial. Fenomena ini menciptakan ironi yang mengkhawatirkan. Dakwah yang sejatinya sakral berubah rupa menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Baca juga: Seni sebagai Jalan Dakwah yang Abadi
Dakwah: Panggilan Ilahi atau Ladang Sensasi?
Seharusnya, dakwah dijalankan dengan kebijaksanaan, keikhlasan, dan tanggung jawab, sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-Nahl: 125. Sayangnya, kenyataan hari ini menunjukkan banyak pendakwah lebih sibuk mengejar sorotan ketimbang menyampaikan pesan keislaman yang mendalam. Popularitas di media sosial, jumlah pengikut, dan sensasi yang ditimbulkan seolah menjadi tolok ukur keberhasilan dakwah.
Berbeda dengan para ulama terdahulu yang bersedia dicaci dan ditolak demi menyampaikan kebenaran, sebagian pendakwah kini justru mendesain dakwahnya agar menghibur, ringan, dan menarik secara visual. Lebih memprihatinkan lagi, ada yang sengaja memanfaatkan isu-isu sensitif hanya untuk mendulang klik dan meningkatkan keterlibatan.
Komersialisasi Dakwah: Ketika Pahala Diukur dengan Rupiah
Tarif ceramah menjadi salah satu simbol dari komersialisasi dakwah. Tentu, tidak salah jika seorang pendakwah mendapat imbalan. Mereka juga punya kebutuhan hidup. Namun ketika tarif itu melambung tinggi, dan ketika ceramah dipilih berdasarkan siapa yang paling “laku dijual”, kita patut bertanya: apakah ini masih dakwah, ataukah sudah bisnis dengan kemasan religi?
Tidak berhenti di situ. Sponsorship kini merambah forum dakwah. Ada pendakwah yang terang-terangan menjual produk dalam ceramahnya. Jika ini dilakukan dengan proporsional dan transparan, bisa saja masih dimaklumi. Tapi jika orientasinya semata keuntungan pribadi, maka yang terjadi bukan lagi penyebaran ilmu, melainkan eksploitasi mimbar.
Lebih mengkhawatirkan, semangat keikhlasan mulai terkikis. Dakwah berubah menjadi jual-beli jasa, di mana pengajian dinilai dari kualitas acara, bukan kualitas ilmu. Jika dakwah disamakan dengan bisnis, maka jangan heran jika masyarakat mulai melihatnya dengan kacamata transaksional. Ada harga, ada barang.
Media Sosial: Anugerah atau Petaka?
Media sosial adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan dakwah menjangkau banyak orang secara instan. Di sisi lain, ia menciptakan medan persaingan yang menyesatkan. Gaya ceramah yang heboh, judul-judul clickbait, dan penyederhanaan dalil menjadi menu utama. Tidak sedikit “dai viral” yang dikenal luas, padahal kapasitas keilmuannya minim.
Muncullah fenomena “influencer dakwah” yang lebih terkenal karena persona dibandingkan isi ceramahnya. Bahkan, sebagian dengan bangga mencantumkan kontak pribadi dan promosi diri agar lebih sering diundang. Ini jelas bertentangan dengan adab seorang penuntut ilmu dan penyampai risalah. Dakwah kehilangan kehormatannya saat menjadi ajang self-branding.
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial juga dimanfaatkan secara positif. Banyak ulama dan pendakwah yang tetap menjaga marwah dakwah di tengah dunia digital. Kajian daring yang serius, menyentuh substansi, dan menghindari sensasi patut diapresiasi. Kuncinya adalah bijak menggunakan media sosial tanpa kehilangan ruh dakwah itu sendiri.
Mengembalikan Dakwah ke Jalan Lurus
Menjaga kemurnian dakwah memang tidak mudah. Tetapi jika dakwah ingin tetap menjadi cahaya, maka langkah konkret harus diambil. Pertama, pendakwah harus memperbarui niatnya secara terus-menerus. Mereka harus ingat bahwa dakwah adalah amanah, bukan panggung. Jika menerima bayaran, hendaknya sekadar penopang hidup, bukan target utama.
Baca juga: Ilmu Dakwah
Kedua, materi dakwah harus berlandaskan ilmu dan tanggung jawab. Jangan terjebak pada tren atau keinginan pasar. Ketiga, media sosial harus digunakan secara beradab. Sensasi dan clickbait hanya akan merusak marwah dakwah. Keempat, masyarakat sebagai penerima dakwah harus lebih kritis. Jangan mudah terpukau dengan popularitas, tetapi carilah substansi dan integritas.
Dakwah bukan sekadar kegiatan keagamaan. Ia adalah titipan Tuhan, amanah yang agung. Jika dijalankan dengan tulus dan lurus, dakwah akan tetap menjadi obor yang menuntun umat di tengah gelapnya zaman. Tapi jika dakwah terus dikomodifikasi, kita hanya akan menyaksikan panggung hiburan berselimut agama. Dan itulah yang paling kita khawatirkan: ketika syiar menjadi sekadar iklan.
Penulis: Abdurrahman Ahady (Pimpinan Suger Kaligrafi)
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.