Asal Usul Kesenian Jathilan

asal usul Jathilan
asal usul Jathilan

Milenianews.com, Jakarta – Asal usul kesenian Jathilan dengan nama lengkap Jathilan Hamengkubuwono. Kesenian Jathilan ini berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan kesenian tari tertua. Kuda Lumping berasal dari Jawa Barat. Sedang Jaran Kepang berasal dari Surabaya dan Jaranan Sang Hyang dari Bali. Lalu, Jaranan Buto dari Banyuwangi dan Jaranan Turonggo Yakso dari Trenggalek.

Sekelompok orang yang menari dengan bantuan properti kuda, jadi salah satu ciri khas kesenian ini. Kesenian tari Jathilan ini merupakan tarian tertua di tanah Jawa. Jathilan sendiri berasal dari dua kata dalam Bahasa Jawa, yaitu Jan yang artinya benar-benar, dan thil-thilan yang berarti banyak gerak.

Baca juga: Bonet, Tarian Tertua di Tanah Timor

Kesenian Jathilan

asal usul jathilan
asal usul jathilan

Pada kesenian ini ciri khas yang paling menonjol ialah adanya peran salah satu penari yang kesurupan. Penari yang kesurupan ini berada dalam kendali seorang pawang. Lalu, penari jathilan tak menunggangi kuda sungguhan, melainkan menggunakan kuda tiruan yang dibuat dari anyaman bambu atau kulit binatang.

Tarian Jathilan ini merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran pada jaman dulu. Sehingga, gerakan seni tari kesenian Jathilan yang dinamis, ritmis dan agresif, layaknya gerakan pasukan berkuda di tengah medan peperangan. Gerakan para penari terlihat begitu dinamis, agresif, serta sangat gagah berani saat melawan musuh.

Tari Jathilan, para penari mempertontonkan banyak aksi yang menyimbolkan kegagahan seorang prajurit di medan perang. Mereka bergerak bak aksi menumpas musuh dengan pedangnya sambil menunggangi kuda yang berderap kencang.

Baca Juga: 4 Tempat Wisata di Gunung Merapi yang Tetap Buka, Meski Bersatus Siaga

Penari juga menunjukkan kekebalan tubuhnya dengan cara menyayat lengan, membakar diri, atau berjalan di atas pecahan kaca. Ajaibnya, tubuh sang penari sama sekali tak memar atau terluka setelahnya.

Akan tetapi, adegan ini jangan untuk ditiru, cukup menjadi kekayaan budaya Nusantara saja.(Umi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *