Suatu Saat Nanti Bagian 8

Dan masih tak percaya dengan apa yang kulihat, “Rescha dia sudah punya pacar,” ucapku dengan bibir bergetar.

Sungguh aku tak bisa mempercayai semua ini seperti mimpi, kukira dia pria yang berbeda, namun ternyata lagi-lagi aku keliru aku salah mengenalnya, dia sama saja, dia tak berbeda dengan pria yang hanya memberi perhatian tanpa berharap memberi kepastian. Malam ini tak bisa ku jelaskan bagaimana sakit dan hancurnya aku.

Dia berhasil mengkuatkan ku dan dia pun berhasil menjatuhkan ku secepat angin menjatuhkan daun, secepat itu dia membuat ku hancur.

****

Waktu berlalu lama kulihat Rescha sudah jarang memposting foto kekasihnya, aku yang hanya bisa memperhatikan nya dari sosmed dan Story-story yang dia post, mungkin aku ini pecundang yang tidak berani menanyakan kabarnya namun diam-diam selalu memintanya kepada Rabb ku. Padahal aku sendiri tau dia sudah mempunyai kekasih, namun beberapa hari terakhir ada yang aneh di story WhatsApp nya dia seperti orang yang sedang patah hati, entah ada apa aku tidak tahu aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.

Hari-hari sulit setelah patah hati sudah kulalui begitu berat, untuk melangkah pun rasanya sulit kakiku tidak kuat untuk menopang beban berat, setiap malam menangis tidur pun tak nyenyak, yah seperti orang-orang patah hati pada umumnya, namun bukannya malah membaik tubuh ku pun sudah semakin lemah walau dibantu dengan obat-obatan.

“Tuhan izinkan aku bertemu dengannya sebelum kau memanggilku, aku hanya ingin bertukar tatap dengannya, melepas rindu dan merasa begitu dicintai walau ku tahu itu tidak mungkin menjadi “obat” nya. kenapa harus selalu dia yang menjadi penopangku?.” aku merenung dalam malamku yang dingin.

Namun tak apa, walau mungkin Rescha sudah melupakan ku, aku harus bangkit aku tidak boleh terus menerus terpuruk hanya karena hal seperti ini yang sudah lumrah terjadi, semua orang pernah patah hati bahkan itu sudah pasti terjadi, yang sakitnya memang bukan main, namun semua akan sembuh seiring berjalannya waktu, bahkan ada pula mereka yang tidak punya siapa-siapa didunia ini lebih sakit dari pada sakit ku namun mampu bertahan dan tetap kuat menopang beban dunia.

Dan aku?, aku masih punya Ibu yang selalu setia mendampingi ku, dan aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan nya untuk ku agar bisa kembali sehat.

****

Hari ini adalah hari pameran buku di Dago tidak jauh dari rumah ku hanya beberapa jam saja. Ibu mengijinkan aku pergi jadi tanpa basa-basi aku bergegas pergi dengan memakai baju rajut dan celana jeans berwarna biru tua, serta memakai sneaker berwarna putih dan yang satu ini wajib ku pakai jaket berwarna hitam, my favorit color.

“Ke pameran nya dianter sama pak Reza aja ya, jangan sendirian,” ucap itu sembari memakaikan jaket kepadaku.

Hemmm iyadeh,” jawabku menuruti perkataan Ibu.

“Pulangnya jangan sore-sore, ini tas nya pake ya,” ucap Ibu yang kelihatan seperti orang sibuk yang mondar-mandir sana sini.

“Yaudah Mila pergi yaa ini Udah siang, pak Reza juga udah nungguin dari tadi,” ucapku berpamitan kepada ibu dan mencium keningnya.

“Ayo pak kita pergi,” ajakku pada pak Reza.

“Ayo, kita mau kemana nih neng?,” tanyanya yang memang aku belum memberitahu kan kemana kita akan pergi.

“Ke Dago pak, ke pameran buku tau kan,?”

“Ohh iya iya tau neng, yang lagi rame itu ya,” ucap pak Reza sembari menjalankan mobilnya perlahan.

“Iyah pak.”

Hari ini hari pertama aku keluar rumah dan menghirup udara segar setelah patah hati, karena begitu terpuruknya aku. Melihat jalan yang lurus didepan yang seperti tanpa ujung itu seperti masih ada harapan, entah tentang apa yang pasti harapan itu tidak pernah hilang.

Aku yang memang suka membaca lebih memilih pergi ke Pameran buku ketimbang pameran lainnya karena memang sedang ada banyak pameran dibeberapa tempat dikota ku. Sampailah aku dipameran yang memang di adakan diluar ruangan.

“Pak Reza pulang aja ya, aku pulangnya nanti masih lama kayanya, agak Sorean,” pintaku pada Reza sembari melihat jam berwarna hitam yang ku pakai.

“Yaudah nanti kabarin saya aja ya neng.”

“Iyah Pak pasti.”

“Yaudah saya permisi dulu yah neng,” katanya berpamitan.

“Iya Pak,” jawabku tersenyum melambaikan tangan.

Ku nikmati kesendirianku , berjalan-jalan sendiri melihat-lihat koleksi buku-buku yang dipamerkan, dan banyak sekali buku yang bagus disini. Sungguh hatiku terasa tenang walau banyak orang yang berkunjung kesini, namun cuaca berubah seketika hujan deras mengguyur dago (tempat pameran) aku segera berlari ke tenda yang sudah tersedia untuk para pengunjung.

“Aku suka hujan,” ucapku membatin.

Dia yang selalu menemani ku saat aku sedih dan saat bahagiaku pula dia ada. Tak berselang lama hujan pun berhenti, aku membeli secangkir kopi untuk menemaniku duduk diujung jalan yang terdapat pohon-pohon besar yang menjulang tinggi serta daun yang lebat itu disana, ku terobos sisa hujan yang masih tersisa (gerimis).

Walau kursinya nampak sedikit basah namun tak apa, ditemani kopi saat hujan merupakan suatu kebahagian. Menikmati dago dari kejauhan, dari sudut yang tak biasa. Saat kulangkahkan kaki untuk kembali ke tempat pameran seketika mataku berhenti memandang kala kulihat seorang pria, yang menggunakan jaket hitam serta jeans hitam dan sepatu hitam pula, sedang berdiri diujung jalan sana seperti melihat ke arah ku, jalanan yang saat itu kosong hanya ada aku dan pria itu, namun siapa dia ?

Bersambung …..

https://milenianews.com/2020/01/08/suatu-saat-nanti-bagian-7/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *