Milenianews.com, Bogor– Di kalangan masyarakat tertentu, penggunaan tangan kiri dianggap tabu, tidak sopan serta tidak pantas. Anak kidal dianggap sebagai suatu kelainan, bahkan keluarga sering disalahkan karena dinilai tidak dapat mendidik anaknya menggunakan tangan kanan.
Tidak jarang anak kidal dianggap sebagai kelainan dan aib yang berujung pada ejekan dan perundungan, tidak saja dari teman-temannya tetapi juga dari anggota keluarga.
Korban Ketidakpahaman
Menurut Prof. Ronny Rachman Noor, Ahli Genetika Ekologi IPB University, sampai saat ini penyebab timbulnya sifat kidal masih belum banyak dimengerti oleh masyarakat. Ketidaktahuan ini sering kali memberikan dampak negatif bagi anak kidal maupun orang kidal yang sudah dewasa.
“Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kidal sering menghadapi tantangan dan kesulitan dalam pembelajaran dan kegiatan kesehariannya. Karena kondisi itu, mereka lebih rentan mengalami ketidakstabilan emosi dan berpotensi menyebabkan frustasi dan kecemasan. Terlebih, hampir semua fasilitas dan peralatan yang ada dirancang untuk anak yang bukan kidal,” ungkap Prof. Ronny.
Data empiris menunjukkan bahwa sebagian besar orang di dunia (90 persen) lebih banyak menggunakan tangan kanannya dalam beraktivitas. Adapun persentase orang kidal hanya mencapai 10 persen.
Baca Juga : IPB University Siap Terima Calon Mahasiswa Asal Gaza, Palestina
Di antara kedua kelompok ini, ada sekitar 1 persen orang yang dapat menggunakan kedua belah tangannya sama baik dan efektifnya. Kelompok terakhir ini dikenal sebagai “ambidextrous”.
Persentase orang kidal di negara Barat mencapai 10,6 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan yang ada di negara Asia. Sebagai contoh, persentase orang kidal di Tiongkok hanya mencapai 2,64 persen, sedangkan persentase orang kidal di Indonesia mencapai 3,39 persen. Di tiga negara lainnya seperti Vietnam, Hong Kong, dan Taiwan persentase orang kidal berkisar antara 4,26–5,16 persen.
“Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa anak kidal lebih rentan menderita ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) yang merupakan kondisi perkembangan saraf yang ditandai dengan kurangnya perhatian, hiperaktif, dan/atau impulsivitas yang terus-menerus,” ujar Prof. Ronny.
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak kidal memiliki pola aktivitas otak yang berbeda dibandingkan dengan individu yang tidak kidal. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan dalam kemampuan belajar dan kognitif.
Anak Kidal: Produk Salah Didik Keluarga?
Menurut Prof. Ronny, di tengah berbagai tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi, anak kidal sering kali berkembang menjadi anak yang lebih kreatif, memiliki ketahanan yang lebih baik serta daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar yang lebih baik.
“Kidal bukanlah aib melainkan sifat yang kemunculannya dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dengan memahami proses kemunculan sifat kidal ini, kita akan dapat menjadikan anak kidal sebagai sumber daya manusia unggul,” ucap dia.
Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University ini menuturkan, kidal secara fisik mulai dapat dideteksi ketika janin berusia 9-10 minggu dengan mengamati pergerakan tangannya. Sifat kidal ini semakin jelas ketika anak telah berusia 2-3 tahun.
Baca Juga : Fakultas Peternakan IPB University Gelar Pelatihan Kesejahteraan Hewan Ternak
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kidal dipengaruhi oleh beberapa gen (polygenes) bukan gen tunggal (single major gene). Di dalam ilmu genetika kuantitatif, parameter yang digunakan untuk menentukan persentase besarnya variasi pengaruh genetik ini adalah nilai heritabilitas,” jelas Prof. Ronny.
Lebih jauh ia menjelaskan, gen yang berkontribusi pada kemunculan sifat kidal ini diperkirakan jumlahnya mencapai 40 gen yang secara bersama-sama bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan memunculkan sifat kidal.
“Hasil riset terbaru, salah satu gen yang berperan lebih menonjol yang menyebabkan kemunculan sifat kidal ini adalah gen TUBB4B. Gen ini berfungsi mengodekan protein yang terlibat dalam struktur sel dan varian pengodean langka pada gen ini lebih umum terjadi pada orang kidal,” urainya.
Meski demikian, lanjutnya, keberadaan variasi alel tertentu gen ini tidak serta merta memunculkan sifat kidal.
Prof. Ronny menerangkan, kemunculan sifat kidal merupakan perpaduan antara faktor genetik dan lingkungan. Dari berbagai penelitian mengungkapkan besaran nilai heritabilitas sifat kidal yakni 0,25. Ini bermakna bahwa variasi sifat kidal dipengaruhi oleh faktor genetik sebanyak 25 persen. Artinya, variasi sifat kidal lebih banyak (75 persen) dipengaruhi oleh lingkungan.
“Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa faktor lingkungan yang diduga menjadi pemicu munculnya sifat kidal ini antara lain kondisi rahim seperti paparan hormon dan posisi janin selama kehamilan. Fluktuasi hormon selama kehamilan, khususnya testosteron, diduga dapat memengaruhi perkembangan janin dan orientasi penggunaan tangan,” jelas Prof. Ronny.
Setelah lahir, faktor lingkungan yang diduga berpengaruh pada orientasi penggunaan tangan ini adalah budaya, berat lahir, dan tipe kelahiran. Bayi yang dilahirkan di lingkungan budaya yang menganggap kidal adalah tabu akan menekan jumlah anak kidal.
Baca Juga : Mahasiswa SV IPB University Lanjutkan Studi di CJI Jepang, Raih Beasiswa Penuh Nikkei Shimbun Scholarship
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bobot lahir yang rendah dan kelahiran kembar dapat saja menimbulkan sifat kidal. Dalam beberapa kasus tidak disusuinya bayi dapat memicu sifat kidal.
“Sebagai gambaran, dari sisi genetik jika kedua orang tua kidal maka peluang anaknya kidal hanya mencapai 25 persen. Jadi, secara peluang dapat dikatakan bahwa peluang munculnya anak kidal dari orang tua yang keduanya kidal lebih besar jika dibandingkan jika orang tuanya tidak kidal,” ujar Prof. Ronny.
Pertanyaan yang sering muncul adalah “Dapatkah orang tua yang tidak kidal memiliki anak kidal?” Meskipun kedua orang tua tidak kidal, tetap ada peluang 11 persen mereka memiliki anak yang kidal.
Persentase Orang Kidal Makin Menurun
Dari sisi evolusi, Prof. Ronny menjabarkan bahwa data empiris menunjukkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu terjadi penurunan persentase orang kidal. Penurunan ini akan menuju titik keseimbangan antara kebutuhan hidup berkelompok, bekerja sama, dan evolusi manusia.
“Seperti yang kita ketahui, seiring dengan terjadinya proses evolusi, manusia hidup berkelompok, dan bekerja sama serta mengembangkan berbagai peralatan untuk kebutuhan kesehariannya. Karena itu, proses evolusi dan adaptasinya lebih mengarah pada orang yang tidak kidal,” urainya.
Seleksi yang berdampak pada penurunan persentase orang kidal ini dikenal dengan directional selection yang lebih mengarah pada peningkatan jumlah orang nonkidal.
Tentang Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc.
Prof. Ronny Rachman Noor lahir di Banjarmasin pada 10 Februari 1961 dan merupakan Guru Besar di bidang Genetika dan Pemuliaan Ternak di Fakultas Peternakan IPB. Ia menempuh pendidikan S1 di IPB, lalu melanjutkan studi S2 dan S3 di University of New England, Australia, serta mengikuti berbagai program post-doctoral di Jepang dan Jerman dalam bidang genetika dan teknologi DNA.
Ia aktif dalam penelitian, menulis lebih dari 192 artikel ilmiah dan ribuan artikel populer, serta menulis berbagai buku di bidang genetika dan pertanian. Prof. Ronny juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Peternakan, Wakil Kepala LPPM IPB, dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Canberra. Ia memperoleh berbagai penghargaan termasuk Distinguished Alumni Award dari University of New England dan merupakan dosen tamu di Swedish Agricultural University serta Adjunct Professor di UNE Australia.