Milenianews.com, Jakarta– Dalam kesibukan hidup modern, banyak orang merasa sulit meluangkan waktu untuk ibadah secara total. Padahal, jika kita menilik kehidupan Rasulullah ﷺ, beliau adalah sosok yang jauh lebih sibuk daripada kita.
“Sebagai *Rasul Allah, pemimpin umat, kepala negara, panglima perang, pedagang, sekaligus kepala keluarga, beban tanggung jawabnya luar biasa besar. Namun, di tengah semua kesibukan itu, Rasulullah tetap meluangkan waktu khusus untuk beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan,” kata Direktur Jazira Halal Wisata, Ustadz Nuryadin Yakub dalam rilis yang diterima Milenianews.com, Senin (3/2/2025).
Lalu, apa yang membuat i’tikaf begitu penting hingga Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkannya?
- I’tikaf: Prioritas di Tengah Kesibukan
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah ﷺ selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa *i’tikaf adalah kebiasaan yang terus dijaga oleh Rasulullah hingga akhir hayatnya. Bahkan dalam tahun terakhir hidupnya, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari (HR. Bukhari).
Jika Rasulullah yang memiliki amanah besar dalam mengurus umat masih menjadikan i’tikaf sebagai prioritas, maka apa alasan kita untuk tidak mengusahakannya?
- Mengapa Rasulullah ﷺ Beri’tikaf?*
- Mencari Malam Lailatul Qadar
Rasulullah ﷺ tidak ingin melewatkan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dalam hadits disebutkan: “Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan beri’tikaf, kita lebih fokus beribadah dan memiliki kesempatan lebih besar mendapatkan malam penuh keberkahan ini.
- Menjaga Hubungan dengan Allah di Puncak Ramadhan.
Rasulullah ﷺ memahami bahwa 10 hari terakhir Ramadhan adalah momen puncak untuk mendekatkan diri kepada Allah. “Dengan meninggalkan kesibukan dunia sementara waktu, beliau memaksimalkan ibadah, muhasabah diri, serta memperbanyak doa dan istighfar,” ujarnya.
- Memberikan Contoh kepada Umat
Rasulullah ﷺ ingin menunjukkan kepada umat Islam bahwa kesibukan bukan alasan untuk mengabaikan ibadah. “Jika seorang nabi dan pemimpin umat saja masih meluangkan waktu untuk beri’tikaf, maka kita sebagai umatnya tentu lebih layak melakukannya,” tuturnya.
- I’tikaf: Sarana Menjernihkan Hati di Era Modern
Di era serba cepat seperti sekarang, manusia semakin sibuk dengan pekerjaan, bisnis, dan media sosial. Banyak yang sulit melepaskan diri dari rutinitas harian. “Namun, justru di tengah kesibukan inilah kita butuh momen untuk berhenti sejenak, menyepi, dan kembali fokus pada tujuan hidup kita: meraih ridha Allah,” kata Ustadz Nuryadin.
Baca Juga : Kemudahan Umrah di Era Modern, Jazira Halal Wisata Luncurkan Program Eksklusif “Umrah Sultan”
I’tikaf adalah solusi terbaik untuk itu. “Dengan menyepi di masjid, jauh dari hiruk-pikuk dunia, kita bisa kembali menata hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan merenungkan perjalanan hidup kita,” ujarnya.
- Kesempatan Emas: I’tikaf di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
Jika memungkinkan, beri’tikaf di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi tentu lebih utama. Keutamaan dua masjid ini luar biasa:
✅ *Masjidil Haram: Pahala shalat di sini setara dengan 100.000 kali lipat dibanding masjid lainnya.
✅ Masjid Nabawi: Shalat di dalamnya lebih utama daripada 1.000 kali lipat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.
“Menghabiskan 10 hari terakhir Ramadhan di dua masjid ini dengan beri’tikaf akan menjadi *pengalaman spiritual luar biasa*, yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup,” kat Ustadz Nuryadin.
- Kesimpulan: Jika Nabi Saja Bisa, Mengapa Kita Tidak?
Kesibukan sering kali menjadi alasan bagi banyak orang untuk tidak beri’tikaf. Namun, jika Rasulullah yang super sibuk tetap beri’tikaf, maka kita sebagai umatnya seharusnya lebih mudah meluangkan waktu untuk itu.
“Mari kita manfaatkan *sisa Ramadhan tahun ini dengan beri’tikaf, memperbanyak doa dan ibadah, serta menghidupkan malam-malam terakhir dengan harapan meraih **Lailatul Qadar,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Karena sejatinya, *di akhir hidup kita, bukan seberapa sibuk kita bekerja yang akan menjadi penentu kebahagiaan, tetapi seberapa dekat kita dengan Allah.”