Milenianews.com, Mata Akademisi – Pembiayaan berbasis akad ijarah saat ini telah menjadi salah satu pilar utama dalam dunia keuangan syariah. Konsep sederhana yang menjunjung prinsip keadilan—yaitu pemindahan manfaat tanpa harus berpindahnya kepemilikan—menjadikan ijarah begitu menarik.
Bukan hanya sekadar transaksi finansial, ijarah merangkul esensi keberkahan dan keadilan dalam setiap langkahnya. Namun, di balik kemudahannya, terdapat sederet risiko yang menuntut kehati-hatian ekstra dari para pelaku industri ini.
Baca juga: Penjabaran Akad Ijarah Dalam Ekonomi Islam
Dalam praktiknya, pembiayaan ijarah hadir dalam berbagai bentuk. Ada ijarah mutlaqah yang lebih simpel, seperti penyewaan ruangan atau kendaraan, yang bisa dilihat sebagai transaksi rutin. Ada pula bai’ al-takjiri yang memadukan elemen investasi dengan janji pemilikan aset setelah masa sewa selesai.
Namun, ijarah muntahiyah bi tamlik (IMBT) menjadi pilihan favorit karena memberikan harapan nyata bagi penyewa untuk memiliki aset tersebut di akhir kontrak. Keunikan dan fleksibilitas ini tentu menggoda, namun seiring dengan itu muncul berbagai tantangan yang perlu dikelola dengan bijaksana.
Salah satu tantangan utama yang harus dihadapi oleh lembaga keuangan syariah (LKS) adalah risiko kepatuhan. Dalam dunia yang sangat bergantung pada kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariah, sedikit saja kesalahan dalam penyusunan akad bisa berujung pada batalnya transaksi.
Hal ini tentu sangat berisiko, mengingat reputasi dan kepercayaan nasabah yang dibangun dengan susah payah bisa terancam hanya karena ketidakhati-hatian dalam menyusun akad. Oleh karena itu, menjaga kemurnian akad bukan hanya formalitas semata, tetapi sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Selain risiko kepatuhan, ada pula risiko operasional yang tak bisa diabaikan. Barang yang disewakan, seperti kendaraan atau properti, rentan terhadap kerusakan, penurunan nilai, atau bahkan kehilangan. LKS, sebagai pemilik barang, harus memastikan bahwa aset yang disewakan selalu dalam kondisi yang baik dan siap digunakan.
Ini bukan hanya tentang melindungi investasi, tetapi juga menjaga kepercayaan nasabah yang telah memilih produk tersebut sebagai solusi kebutuhan finansial mereka.
Namun, risiko terbesar dalam pembiayaan ijarah mungkin adalah risiko kredit. Nasabah yang semula tampak mampu, bisa saja terjebak dalam kesulitan finansial yang menghambat mereka untuk memenuhi kewajibannya. Apalagi dalam skema IMBT, keterlambatan pembayaran sewa bisa berdampak pada harga jual akhir, yang pada gilirannya mempengaruhi keuntungan LKS.
Oleh karena itu, penting bagi lembaga untuk melakukan analisis kredit yang lebih mendalam, tidak hanya berfokus pada angka, tetapi juga melihat karakter, perilaku, dan riwayat finansial nasabah. Ini akan menjadi filter awal yang bisa mencegah terjadinya masalah besar di kemudian hari.
Tak hanya itu, perubahan pasar yang cepat juga menjadi tantangan besar. Aset yang awalnya bernilai tinggi bisa saja mengalami penurunan drastis akibat pergeseran tren pasar atau krisis ekonomi yang tak terduga. Mobil yang dulu tampak mengilap, bisa kehilangan daya tariknya setelah bertahun-tahun digunakan.
Demikian pula dengan properti yang tampaknya menjanjikan, bisa mengalami penurunan harga akibat faktor eksternal yang tak terkontrol. Oleh karena itu, LKS harus siap dengan strategi mitigasi risiko pasar yang mumpuni, seperti diversifikasi portofolio dan pemantauan terus-menerus terhadap nilai aset.