Hukuman Untuk Penduduk Aliat

Dr. KH. Syamsul Yakin MA. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Tentang penduduk Aliat, Allah mengisahkan, “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang me­langgar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kalian kera-kera yang hina” (QS. al-Baqarah/2: 65). Kata “Qird” dalam bahasa Arab bisa berarti  kera atau monyet dalam bahasa Indonesia.

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya,  khithab (yang diajak berkomunikasi)  dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi. Tepatnya mereka yang tinggal di Madinah pada masa Nabi Muhammad.  Sementara mereka yang melanggar pada hari Sabtu, dalam interpretasi pengarang Tafsir Jalalain,  adalah penduduk Aliat yang hidup pada masa Nabi Daud.

Ibnu Katsir menjelaskan, penduduk Aliat adalah para nelayan yang durhaka terhadap perintah Allah dan melanggar perjanjian  yang telah Allah ambil dari mereka.  Dalam perjanjian itu disepakati mereka harus mengagungkan hari Sabtu. Namun akhirnya mereka membuat tipu daya supaya mereka tetap dapat berburu ikan di hari Sabtu.

Caranya dengan  mengeksploitasi ikan-ikan yang ada di laut sesuka mereka demi kekayaan. Mereka membuat kanal-kanal air untuk mengalirkan air laut ke pinggir  rumah-rumah mereka. Lalu agar ikan-ikan itu tidak kembali ke laut, mereka membuat bendungan. Inilah yang dimaksud melampaui batas dari ayat di atas. Padahal pada hari Sabtu mereka disyariatkan beribadah.

Menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, setelah masa demi masa berlalu pengeksploitasian  ikan dilakukan juga oleh anak-anak mereka. Ada di antara mereka yang mengingatkan untuk tidak berburu pada hari Sabtu. Namun mereka tidak memedulikannya. Alasannya, karena selama ini Allah tidak pernah murka kepada mereka padahal sejak dulu hal itu sudah dilakukan oleh orangtua mereka.

Anak-anak nelayan dari penduduk Aliat itu kembali dinasihati bahwa bisa jadi azab Allah akan menimpa mereka. Namun mereka bergeming. Tak perlu menunggu lama, esoknya  mereka berubah menjadi kera-kera yang hina. Hanya dalam waktu tiga hari selama mereka berubah menjadi kira, mereka kehilangan rasa untuk makan dan minum. Setelah itu mereka binasa  semua.

Dalam ayat ini yang dimaksud kera yang hina, dalam pandangan pengarang Tafsir Jalalain adalah kera-kera terkucil. Sementara Syaikh Nawawi memberi interpretasi mereka dijauhkan dari rahmat Allah. Bagi Ibnu Katsir hal ini hanya perumpamaan saja, maksudnya  kutukan itu menimpa hati mereka bukan rupa mereka. Seperti dalam ayat lain, “Seperti keledai yang membawa kitab-kitab.” (QS. al-Jumu’ah/62: 5).

Lalu pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah penduduk Aliat ini? Allah sendiri yang memberi penjelasan, “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah/2: 66). Yang dimaksud peringatan dalam ayat ini adalah hukuman.

Menariknya, kisah di atas jadi peringatan bagi  orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian. Namun menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Mengapa demikian? Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa hanya orang-orang yang bertakwa yang dapat mengambil kebaikan dari kisah ini. Karena di hati mereka, tulis Syaikh Nawawi, ada rasa takut melakukan hal tersebut.

Penulis: Dr. KH.  Syamsul Yakin MA.,  Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *