Oleh: Hadi Suroso
Lagi-lagi terulang. Sekian lama aku teguh memegang janji diri untuk terus menutup hati, ternyata berujung ingkar. Aku selalu kuat bertahan, namun tidak setelah dipertemukan denganmu. Pertahananku ambruk, luluh lantak oleh piawimu mendekatiku.
Pada awalnya aku memang dihantui oleh deretan kegagalan-kegagalan sebelumnya. Kenyataan selalu mengingatkanku, meski kuberi sepenuh hati, yang ku tuai hanya lara di hati. Semua yang semula begitu indah, alurnya selalu menuju akhir hancur yang payah. Aku hanya mendulang kecewa setiap kali hati kubuka untuk seseorang. Pun denganmu, mulanya aku tak berani membuka pintu.
Jujur…semula aku ragu denganmu. Aku tak berani mengartikan lebih untuk setiap tawa yang kau cipta, untuk nyaman yang terasa di setiap cengkerama kita, maupun untuk setiap bahagia yang ada saat ada di dekatmu. Pikirku kamu tak ada bedanya dengan yang sebelum-sebelummu_sangat piawai perihal memainkan perasaan. Masih curiga bahwa aku hanya sebatas tempat singgah, bukan rumah yang kamu tuju.
Aku belum bisa percaya sepenuhnya kepadamu.
Lebih lagi, memar luka yang tersisa, dan juga bayang-bayang betapa kacaunya aku dulu, adalah alarm bagiku untuk lebih berhati-hati.
Melupa rupayanya bukan hal yang sederhana bagiku. Perlu perjalanan panjang untuk bisa tiba di keyakinan dan keberanian untuk membuka hati lagi.
Namun…
Melihat upayamu yang tak pernah lelah, tekadmu yang tak kenal kata menyerah, perlahan mengusik hatiku yang beku menjadi gundah_ diam-diam aku mulai menakar-nakar kesungguhanmu.
Tak kupungkiri, hatiku kembali berdesir. Dari hari ke hari semakin gaduh. Riuh gemuruhnya terus mendera hingga ke seluruh. Seluruh hatiku lunglai lalu jatuh. Bekunya meluruh menjadi luluh. Lagi-lagi terulang, aku kembali jatuh hati untuk yang ke sekian kali.
Dalam lirih do’a-do’a ku panjatkan, semoga aku tak salah lagi, kamu memang ditakdirkan untukku yang terakhir. Setia menemaniku hingga usai waktuku saat jantungku berhenti berdetak.