Oleh: Dea Affriyanti
Ucap wanodya pada si kutub utara
Julukannya kembali merebak menjadi pria sejuta aksara
Lantas bagaimana bisa sampiran ini menjadi kalimat pengantar?
Atman miliknya begitu moksha teruntuk aku yang penuh paksa
Ucapku dengan kirtan, bersuar dengan tangisan
Yang melengking di membrana tympani
Bak orkestra simfoni yang menjadi bagian dari karya seni
Menilik kisah yang rasanya dipenuhi fortuna
Yang menitikberatkan sosoknya untuk terus menjadi primadona
Karenanya, aku tak ingin guratan ini gagal makna
Meski penanya tak lagi terlalu nyata
Yakinkan, kelak tuan tetap memiliki singgasana
Walaupun bukti nyata melahirkan fakta bahwa kita senang berkelana
Lantas, mampukah kita meredam fenomena bencana rasa yang tak sempurna?
Atau membiarkan rekaman peristiwa pada orde lama yang menjadi kunci stamina?