Merajut Asa Sampai Malam Menjemput

cerpen Merajut Asa Sampai Malam Menjemput

Meraih buku tebal untuk keberkian kalinya lagi, terang-benderang cahaya didapat dari lampion usang untuk menemaninya belajar. Mengganjal di batang hidungnya sepasang kaca tebal yang menutupi kedua mata coklatnya, walaupun tak setebal buku yang baru saja diraih—diberi nama “kacamata” oleh dunia.

Buku adalah rumahnya. Gadis ini dapat menyusuri ribuan halaman buku dalam satu hari, dinding kemalasan sudah lama didobrak rusak oleh ibunya. Ia hidup dengan pagar jari-jemari ibunya. Ibunya mengatakan dunia itu
keras, dirinya memang harus berpeluh keringat jika ingin hidup, ingatnya.

Siapa bilang gadis itu tak lelah? Ia begitu lelah. Tapi apalah daya? Lolongan “mengubah hidup” milik ibunya acapkali bergema hebat di telinganya. Senandika tak kalah bergema dalam hatinya, tetapi Rahayu memilih diam menutup jeritan hati kecilnya. Ibunya bukan seorang yang kejam, dirinya hanya penyayang. Dirinya hanya takut. Dirinya pernah diterkam kegagalan.

Sejak lahir, ia hanya diasuh oleh ibunya saja, ayahnya telah menjadi tulang-belulang di bawah tanah. Hati ibunya begitu derana menghadap bentala. Ibunya berusaha sendirian agar Rahayu dapat menggapai dirgantara yang begitu aksa.

Tepat tujuh tahun lalu, Rahayu gagal meraih bangku yang disediakan. Ia pikir ibunya akan mengambil centong nasi untuk memukul kepalanya dan akan menyuruhnya bergelandangan di jalan seperti yang dikatakan teman Rahayu. Tetapi ternyata sesuatu telah terjadi, kala itu, hujan salah tempat untuk menjatuhkan bulir-bulir airnya yang deras dan penuh kepedihan. Kala itu, hujan turun membasahi wajah yang hancur lebur.

Tetapi setelah kali itu, ranum sudah persiapan yang dilakukan. Jika setelah kali itu gagal, mungkin hancur sudah bumantara yang diangan-angan. Tentu Rahayu tidak akan pernah membiarkan garis-garis tajam itu kembali menusuknya. Cukup sudah penderitaannya, juga penantian lama ibunya.

Sabtu lalu, seorang lelaki dari Perancis mendatangi Rahayu. Dengan tatapan kosong Rahayu menatapnya. Lelaki Perancis itu hanya diam. Menunduk. Lantas datang lagi seorang lelaki Perancis lain, tapi kali ini dengan keranjang bunga kamboja di tangannya. Kali ini, hujan salah tempat lagi untuk menjatuhkan bulir-bulir airnya yang deras dan penuh kepedihan. Kali ini, lebih deras dari masa ibu Rahayu. Baswara tempat kelam itu mengalahkan teriknya matahari. Elegi dinyanyikan damai

“Ibu, sudah lama aku tidak mengunjungimu,” nisan ibunya itu diusap lembut.

“Kita telah dipisahkan oleh pedang bermata dua yang tajam, yang tak memiliki hati. Begitu tajamnya hingga menusuk perahu yang tengah mencoba berlayar kembali pulang. Dirimu yang malang dengan susah payah mendayung perahu kecil ini menuju indahnya pulau impian. Penumpangnya tentu merasa puas. Tanpa tahu betapa repot dan susahnya sang pelayar. Lalu di akhir perjalanan, dirimu menenggelamkan diri. Mengapa dirimu menenggelamkan diri ke dalam gelap dan luasnya lautan? Lautan yang begitu luas dan tak berbingkai,” tuturnya dengan lesu.

“Kini, penumpang yang kau antar kemarin-kemarin, telah mengecap manisnya kesuksesan. Lihatlah, kini penumpang yang kau antar telah pergi ke negeri orang. Dengan kapal besar, bukan perahu kecil. Memang penumpang yang kau antar ini mengalami kesusahan juga. Melewati jalan berkerikil tanpa alas, panasnya terik matahari menghujam jantung, keringat bercucuran deras. Tetapi sebagai sang pelayar hebat, dirimu ikut merasakan jalan berkerikil dan pecahan kaca tanpa alas, panasnya terik matahari menghujam jantung, bukan keringat tapi darah bercucuran deras. Dirimu menolak menyerah menghadapi tantangan dunia,” bulir-bulir air tumpah menyusuri pipinya yang tirus.

“Dengan bodohnya si penumpang mengatakan bahwa mereka miskin. Tidak akan mencium keberhasilan. Angin malam terus-menerus menghantam keras dirimu hingga tubuhmu yang rapuh terpental jauh. Setelah itu semua, kau tetap bangkit. Semua untuk membuktikan pernyataan si penumpang bodoh salah. Tetapi kala itu, mengapa kau tidak kian bangkit juga? Penumpangmu yang bodoh ini telah belajar. Beri penumpang bodoh ini pukulan dengan centong nasi saat dirinya mengatakannya, agar dirinya sadar…,” Rahayu melempar pandangan ke lelaki Perancis yang membawa bunga kematian tadi.

“Ini ibuku, Eric. Terima kasih sudah membawakannya bunga malang ini, tetapi dirinya tidak mati. Dirinya hanya tertidur rapuh,” bisik Rahayu, “kita hanya dipisahkan, tetapi dirinya tetap hidup.” Rahayu meyakinkan.

“Maaf, sayang. Aku tidak bermaksud begitu. Tetapi membawakannya bunga akan menyembuhkan dirinya dari segala kepahitan, aku tahu ibumu akan suka. Rahayu…, tidakkah kamu letih? Marilah…, mari kita pulang. Memulai pelayaran baru lagi, bersamaku.” Eric mengulurkan satu tangannya.

“Aku akan senantiasa ikut mengembara denganmu, Eric. Terima kasih…, terima kasih telah menerimaku,” menggapai tangan belahan jiwanya dengan lembut. Malam itu, mereka bercinta. Menghangatkan diri dari kegelapan.

Eric sangat mencintai Rahayu, begitupun Rahayu. Tetapi Rahayu masih terjebak oleh dimensi yang dibuat oleh masa kelamnya. Membuatnya enggan untuk terbuka pada asmaraloka terlalu dalam. Entah apa yang akan terjadi besok-besok jika Rahayu tak kunjung membiarkan kekasihnya menyusuri dirinya lebih dalam.

“Rahayu sayang…, sayang… kemana engkau berkelana pagi-pagi buta kemarin?,” tanya Eric dengan semburan cinta yang lembut mengurapi Rahayu.

“Bukan urusanmu, Eric. Kita sudah membicarakannya,” tegas Rahayu membuat Eric terkesiap bangun. Gawat! Ia salah waktu. Saat ini, kekasihnya butuh ruang pribadi.

“Aku pergi,” Rahayu melempar pandangannya dan sesegera mungkin mencapai gagang pintu. Pintu tertutup keras. Astaga! Tulang punggung Rahayu rontok dan terjatuh di muka pintu. Ia tak kuasa menahan peraduan dengan dirinya yang tak kunjung selesai. Ia ingin seperti ibunya yang berusaha sendiri dan menolak menyerah. Tidak mengikutkan putrinya tenggelam ke dalam laut dalam.

Langkahnya yang salah telah membawanya pada kehancuran yang dahulu ia rasakan. Bunga kamboja kini telah berada di tangannya. Sampai maut menjemputnya, ia tak akan merasakan lagi asmaraloka yang lembut itu. Asmaraloka yang telah menuntunnya hingga mencapai penemuan jati diri, menerima diri, dan kesembuhan rohani.

“Kamu egois!” ucap lelaki Perancis itu dengan nada tinggi. Rahayu hanya melongo menatapnya, dia tidak lagi hidup. Frans, lelaki Perancis itu melempar kertas-kertas ke hadapan Rahayu si mayat hidup. Setelahnya, ia menjerit begitu keras. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merasakan kepedihan yang amat dalam. Salah besar, pikirnya. Kertas-kertas itu bukan surat wasiat ataupun surat kematian lainnya. Kertas-kertas itu berisi ungkapan hati seorang kekasih yang enggan disampaikan, ungkapan yang telah lama dikubur dalam.

“Asal kau tahu, bertahun-tahun sudah ia berusaha untuk mendapatkanmu utuh. Menolak menyerah bukan berarti berjuang sendirian, Rahayu.”

 

Penulis : Rini Yolanda Marbun – SMAS Tadika Pertiwi

 

Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.

Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *