Oleh : Rhanatatia
Lamunan panjang menerawang keangkasa
Diamku menatap bayangnya
Rasa kehilangan yang begitu sangat dalam
Menyadari aku mencintainya
Bibirku tersenyum getir
Pipiku lembab oleh mutiara
Mutiara yang jatuh sedikit demi sedikit
Semakin deras ketika mengingatnya
Mataku sembab karenanya
Sungguh hatiku tersayat
Hancur berantakan
Duniaku seakan berhenti seketika
Dimana dirinya berada
Aku merindukannya
Tapi kita tak mungkin bersama
Dirimu telah hilang bersama kenangan
*****
Setelah menulis puisi itu Adinda menangis sejadi-jadinya, Ia tak kuasa menahan semua beban rasa yang ada didalam hatinya. Ia berpikir “Kenapa nasib baik tak berpihak kepadanya?, kenapa kebahagiaan tidak menghampirinya?, kenapa ia merasakan semua ini?,” itulah pertanyaan yang ada dalam benaknya. Air matanya terus mengalir seperti hujan yang turun di malam itu.
Ia menatap lampu yang ada didepannya bercahaya terang dan berharap akan menerangi kehidupannya juga namun itu hanya harapan semu, bahkan masih bertanya, apakah bisa akan terwujud?. Yahhhhhhhhhhh, kali ini hatinya pesimis tidak seharusnya Adinda bersikap seperti ini tapi akal sehatnya sedang tidak berfungsi, pikirannya kacau dan hidupnya berantakan.
Dalam kesendiriannya, pikirannya melayang mengingat pertama kali awal bertemu dengan laki-laki bernama Bram.
“Hey sendiri aja, perkenalkan Aku Bram,” sapa laki-laki kepada Adinda yang sedang baca buku dibawah pohon.
“Kamu siapa?,” Tanya Adinda yang sama sekali tidak mengenal sosok laki-laki itu.
“Ya aku Bram,” jawabnya dan duduk disampingnya.
“Kamu sudah mengenalkan nama mu tadi, yang aku tanya kamu ini siapa lebih ke siapa dirimu?,” Jawab adinda ketus.
“Wwwwaaaawwww agresif sekali dirimu, baru kenal sudah ingin tahu diriku lebih jauh.”
Mendengar jawaban Bram, Adinda merasa muak dan membuang mukanya lalu bangkit dari tempat duduknya lalu pergi begitu saja. Bram merasa tertantang dengan sikap Adinda terhadapnya karena tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari cewek-cewek yang didekatinya.
Kelas kuliah di-jam kedua telah dimulai, Adinda terbilang mahasiswi terpintar di fakultasnya. Ia duduk paling depan dan dengan seksama menyimak pelajaran yang diberikan dosen kepadanya. Bram masuk dengan mengetuk pintu terlebih dahulu dan dipersilahkan masuk oleh Pak Charles. Ia lalu mengambil duduk disamping Adinda. “Kenapa laki-laki gila ini sekelas denganku?,” batinnya menggerutu.
Satu bulan berlalu dari pertemuan pertama itu, ternyata hubungan Adinda dan Bram semakin membaik dikarenakan setiap mata kuliah yang diampu jika ada tugas mereka selalu disandingkan bersama. Dari kebersamaan itulah pertemanan mulai terjalin diantara keduanya bahkan Adinda sudah tidak merasakan takut dan kesal sama sekali.
“Din, kamu lagi ingin makan apa hari ini?,” tanya bram
“Es Krim,” jawab Adinda singkat, mendapatkan jawaban itu Bram langsung pergi lalu datang kembali dengan membawakan es krim yang diinginkan oleh Dinda. Aaaaahhhh wanita mana? yang tidak luluh jika diperlakukan seperti ini, iiiyyyyaaaaaa kan J J J .
Pertemana telah berubah menjadi sebuah persahabatan, diantara mereka sudah tidak ada rahasia-rahasian lagi. Satu sama lain telah saling terbuka dan saling memahami sifat buruk masing-masing. Mereka sering menghabiskan waktu bersama entah itu jalan bareng, nonton, makan atau hanya sekedar nongkrong.
Dimana ada Dinda pasti ada Bram, sampai-sampai seantero kampus sudah geger dengan rumor bahwa mereka itu pacaran. Baik Bram dan Dinda tidak menggubris rumor itu. Mereka berpikir pertemanan mereka masih dibatas wajar dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hari-hari berlalu begitu sangat cepat kini mereka sudah semester 6. Di dalam persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun Dinda merasakan ada yang aneh dihatinya. Ia mulai ada rasa yang berbeda ketika Bram memperlakukannya dengan sangat istimewa, tapi ia berusaha menepisnya. Ia berusaha menepis sebuah rasa yang hadir, ia takut rasa itu akan membuat persahabatannya hancur.
Hari demi hari berlalu, bulanpun telah berlalu dan tibalah waktunya mereka lulus kuliah kini mereka telah menyandang gelar sarjana. Setelah selesai wisuda, mereka bertemu di sebuah taman.
“Selamat ya kutu buku kamu lulus dengan predikat cum laude,” ucap Bram tersenyum.
“Iya sama – sama.”
Tapi tiba- tiba mereka terdiam dan saling tatap, suasana menjadi kikuk. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.
“Din,” panggil Bram akhirnya.
“Ya”.
“Kita kan sudah lulus, aku ingin melanjutkan S2 ku di Singapura yang kebetulan aku dapat beasiswa disana,” jelas Bram. Dinda tersenyum, ia langsung memeluk Bram dan berkata “Selamat ya.” tapi air mata keluar dari pelupuk matanya, hatinya menangis padahal ia berniat untuk mengatakan perasaan cinta yang dirasakannya tetapi kembali ia menepis sebuah rasa itu.
Seminggu lagi Bram akan pergi ke Singapura, mereka tidak ingin melewatkan hari-hari begitu saja ketika bersama saat ini. Waktu ini mereka gunakan untuk jalan-jalan ke bogor naek motor, mereka memang biasa melakukan touring seperti ini walau Dinda seorang kutu buku dan Bram suka dengan traveling. Perbedaan ini tidak memisahkan mereka, tapi anehnya mereka cocok jika mengobrol satu sama lain seperti satu frekuensi dalam siaran radio.
Dinda begitu sangat erat memeluk Bram dari belakang saat motor melaju kencang, Ia seakan hari ini tak ingin berakhir. Ia begitu sangat mencintai sahabatnya ini dan berkata dalam hati sambil memejamkan matanya,
“Aku tak ingin dirimu pergi ke Singapura, aku tak ingin kita berpisah kecuali maut yang memisahkan,” dan sesaat ia membuka mata dan betapa terkejutnya ia, motor yang dibawa Bram ternyata rem-nya blong dan karena laju motor yang begitu sangat kencang tabrakan pun tak bisa dihindari, motor mereka menabrak truk didepan dan mereka terpental.
Satu bulan sudah Dinda koma dan hanya bisa terbaring dirumah sakit, setelah sadar keluarganya begitu sangat bahagia tapi ketika Dinda menanyakan Bram, kebahagiaan itu seketika hilang. Keluarganya memberitahu bahwa Bram telah meninggal dunia saat kecelakaan itu dan keadaan Dinda-pun sangat kecil untuk selamat, ia sadar dari komanya pun ini sebuah keajaiban. Dinda menangis mendengar kabar itu, ia meronta – ronta dan saat menggerakan kakinya ia mendapati kakinya tidak bisa digerakan dengan kata lain lumpuh, semakin histerislah Ia.
“Kenapa ini terjadi Tuhan, seandainya aku tidak bicara seperti waktu itu ini tidak akan terjadi,” katanya dalam tangis, Ibunya memeluk dan menenangkan. Dinda sangat terpukul dengan kenyataan ini, Ia menangis, menangis dan menangis.
Setengah tahun sudah dinda duduk dikursi roda. Badannya semakin hari semakin kurus. Hidup seakan tak hidup, jiwanya pergi bersama angannya tentang bram, Ia mengingat senyumnya, tawanya, candanya, ketulusannya. Ia mengingat itu semua dan menjerit dimalam itu, di malam dimana Ia menulis puisi tentang Bram :
Lamunan panjang menerawang keangkasa
Diamku menatap bayangnya
Rasa kehilangan yang begitu sangat dalam
Menyadari aku mencintainya
Bibirku tersenyum getir
Pipiku lembab oleh mutiara
Mutiara yang jatuh sedikit demi sedikit
Semakin deras ketika mengingatnya
Mataku sembab karenanya
Sungguh hatiku tersayat
Hancur berantakan
Duniaku seakan berhenti seketika
Dimana dirinya berada?
Aku merindukannya
Tapi kita tak mungkin bersama
Dirimu telah hilang bersama kenangan
Setelah capek menangis, iya merasa angin surga menghampirinya dan tertidur untuk selama-lamanya menyusul belahan jiwanya lalu jatuh dari kursi roda-nya……..!!!!!!