Milenianews.com, Jakarta– Rekreasi atau berwisata hukumnya mubah atau boleh. Namun selama berwisata harus tetap menjaga diri dari yang haram dan tetap melaksanakan kewajiban seperti shalat. Konsep rekreasi dalam Islam bertujuan untuk ibadah. Artinya, salah satu upaya penyegaran kembali penghambaan diri kepada Allah, baik secara kuantitas maupun kualitas.
“Artinya, orang yang melakukam rekreasi secara fisik berada di tempat rekreasi, tapi secara mental dia tetap fokus melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Orang yang berekreasi tidak harus bergembira secara berlebihan sebab akan berakibat pada datangnya kesedihan setelah liburan,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. KH. Syamsul Yakin MA., dalam rilis yang diterima Milenianews.com, Rabu (9/4/2025).
Dalam Islam, ia menambahkan, orang yang berwisata tidak boleh terlalu larut dalam kebersamaan karena dia akan merasa kesepian setelah berada di rumah. Termasuk, apabila dia merasa terlalu bebas dengan liburan yang diambilnya, maka hal itu akan berdampak buruk apabila liburan berakhir sementara dia harus kembali bekerja.
“Kondisi-kondisi psikologis seperti inilah yang disebut post holiday syndrome. Sindrom seperti ini yang hari-hari ini bisa jadi masih menjangkiti banyak orang usai liburan. Indikasinya, anak-anak tetap masih ingin bermain. Sementara orang dewasa belum ingin bekerja sebab masih terkenang masa-masa berwisata,” ujarnya.
Sindrom ini, kata dia, muncul akibat liburan terlalu lama. “Secara psikologis, pengidap post holiday syndrome belum siap berada di dunia nyata untuk menjalankan rutinitas setelah liburan. Oleh karena itu tak heran setelah liburan malah mengalami stres. Awalnya ingin healing yang terjadi malah pusing tujuh keliling,” tuturnya.
Menata Kondisi Hati Sebelum Wisata
Untuk itu, kata Dr. Syamsul Yakin, agar liburan tidak berakhir dengan mengidap post holiday syndrome, perlu ditata kembali kondisi hati sebelum berwisata. Pertama, tujuan berwisata adalah untuk memperbaiki suasana kebatinan. Dari sumpek kepada rileks.
“Artinya, seseorang tidak dikendalikan oleh suasana liburan yang penuh tawa dan hiruk pikuk gembira. Tapi orang yang berlibur itulah yang harus dapat mengendalikan diri agar tidak terlalu suntuk dengan suasana liburan dan kebebasan. Karena liburan pasti akan berakhir,” ujar Dr. Syamsul Yakin, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parubingung-Depok dan Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Sawangan-Depok.
Misalnya, kata dia, liburan bukan berarti membebaskan diri sepenuhnya dari beban pekerjaan. Namun hanya jeda sesaat untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki motivasi yang mengendor.
Untuk itu, dia menegaskan, berlibur tidak harus jauh dan berbiaya mahal. Sebab apabila tidak sesuai ekspektasi yang terjadi justru post holiday syndrome. Untuk itu liburan harus dengan destinasi dan biaya yang terjangkau,” ujarnya.
Fikih Rekreasi
Dr. Syamsul Yakin juga mengingatkan, sejatinya, rekreasi tidak mesti abai akan fikih rekreasi atau hiburan. Tetap mengkondisikan diri bahwa selama liburan masih wajib melaksanakan ibadah shalat, misalnya, dengan cara digabung dan diringkas (jamak dan qashar). “Hal itu dapat menangkis munculnya post holiday syndrome setelah pulang ke rumah dan harus menjalankan rutinitas secara normal,” tuturnya.
Untuk mencegah paparan post holiday syndrome, harus juga dirancang destinasi liburan yang memiliki nilai sejarah, pengetahuan, dan kecintaan terhadap alam dan kebesaran Tuhan. “Destinasi seperti inilah yang akan menjembatani antara suasana wisata dengan suasana kerja setelah liburan berakhir,” kata Dr. Syamsul Yakin.
Dengan semua yang telah diutarakan di atas diharapkan sindrom atau depresi setelah liburan tidak terjadi. Minimal dapat diperkecil. Perasaan galau, gelisah, dan kurang semangat dapat dikelola. Ujungnya, dengan senang hati mode bekerja muncul kembali.
“Dengan cara tersebut juga, physically sudah di tempat kerja dan mentally masih di tempat wisata dapat dikurangi secara gradual dan ideal,” ujar Dr. Syamsul Yakin.