Tuhan dalam Gimik Influencer

Tuhan dalam Gimik Influencer

Mata Akademisi, Milenianews.com – Di era digital, teknologi semakin berkembang dengan pesat sehingga memudahkan manusia melakukan berbagai aktivitas dengan mudah dan instan. Seperti dalam aktivitas belanja online, cukup dengan satu klik di platform e-commerce, manusia bisa berbelanja dengan mudah.

Proses ini membuat segala menjadi lebih efisien menghemat waktu, tenaga, dan biaya transportasi ke pasar fisik. Konsumen kini dapat membandingkan dan memilih produk secara praktis melalui perangkat elektronik, tanpa perlu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.

Baca juga: UMKM dan Arus Digital: Dari Akar Lokal Menuju Panggung Global

Dalam bidang kesehatan, teknologi makin mempermudah akses layanan kesehatan melalui konsultasi online sampai deteksi penyakit dengan lebih cepat melalui alat analisis data medis, sehingga manusia tidak perlu repot ke rumah sakit hanya untuk konsultasi dan juga mengeluarkan banyak biaya.

Sedangkan dalam bidang komunikasi, kehadiran internet memudahkan manusia untuk meningkatkan layanan komunikasi, menjadikannya lebih mudah dan efisien. Internet membuka akses komunikasi lintas negara tanpa batasan ruang dan waktu, memungkinkan individu dan kelompok untuk terhubung dengan siapa saja di seluruh tanpa batasan waktu.

Selain itu, kehadiran asisten virtual seperti Siri, Google Assistant, dan Alexa semakin memperkaya cara kita berkomunikasi. Cukup dengan hanya menggunakan perintah suara, kita dapat mengatur jadwal, mengirim pesan, atau mencari informasi secara cepat dan praktis. Hal ini tentu memungkinkan kita untuk menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif dan produktif, sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Menurut We Are Social (2025), jumlah pengguna internet global pada tahun 2025 mencapai 5,56 miliar orang, dengan tingkat penetrasi 67,9% dari total populasi dunia. Sementara itu, pengguna telepon seluler tercatat sebanyak 5,78 miliar orang, atau setara dengan 70,55% populasi global.

Hal ini berbanding lurus dengan tren belajar agama melalui digital. Penelitian Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa 65% muslim muda kini lebih mudah mempelajari agama melalui platform media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok lewat penyajian konten yang kreatif dan menarik.

Namun, karena teknologi pada dasarnya hanyalah alat, semua kembali kepada penggunanya. Bagaimana kita mampu mengendalikan teknologi dengan bijak, bukan malah dikendalikan olehnya. Hal ini juga berlaku dalam konteks keagamaan.

Sekarang, belajar di internet memang mudah, tetapi seringkali dangkal dan rentan disesatkan. Di sinilah ilmu kalam hadir sebagai pondasi untuk menyaring pemahaman agama yang keliru. Melalui tiga konsepnya untuk memahami relasi antara agama dengan teknologi, yaitu tanzih, kasb, dan adab berdakwah.

Pertama, Tanzih (menyucikan tuhan dari segala gambaran manusia) melarang konten seperti meme atau viralisasi ajaran yang merendahkan kesucian Tuhan.

Kedua, teori kasb dari Imam Asy’ari mengajarkan keseimbangan: manusia punya usaha, tapi hasil akhir Allah SWT yang menentukan. Ini melindungi kita agar bijak menggunakan teknologi, tidak terjebak dua sikap ekstrem: pasrah total pada teknologi atau menolak kemajuan sama sekali.

Ketiga, adab berdakwah mengatur cara menyampaikan agama yang baik, menjadi batasan agar kebebasan berekspresi di media sosial tidak merusak kemurnian ajaran agama, terutama dalam menghadapi masalah seperti potong-potong dalil atau gosip agama yang marak di internet.

Seperti kasus viral seorang selebgram asal Aceh yang membaca Al-Qur’an dengan iringan musik DJ, jelas bertentangan dengan konsep tanzīh dalam ilmu kalam. Tindakan ini jelas mengurangi kesakralan. Karena Al-Qur’an sebagai kalamullah harus dijaga kesuciannya jangan sampai dijadikan bahan main-main termasuk hanya untuk ajang viral.

Ada pula influencer agama yang menjadikan kesalahan orang lain sebagai bahan konten dakwah, alih-alih menegur secara pribadi terlebih dahulu, ia malah mempublikasikannya di ruang publik (seperti status, bahkan postingan) dengan dalih “ini adalah contoh yang buruk”.

Hal ini bertentangan dengan adab berdakwah yang diajarkan Rasulullah SAW, dimana beliau memberikan nasihat dengan bijaksana dan cara yang santun. Dakwah yang seperti ini bukan hanya melanggar etika, tapi juga berpotensi menjatuhkan psikologis orang yang dijadikan bahan contoh.

Contoh kasus yang bertentangan dengan teori kasb yaitu seorang influencer dengan statement: “Takdir jodoh sudah ditentukan, unfollow mantan sekarang juga!” (sambil jualan buku). Pernyataan ini terdengar religius, tapi kalau tidak disertai penjelasan tentang ikhtiar, peran usaha dan pilihan manusia dapat menyesatkan, karena takdir bukan alasan untuk menjadikan manusia menjadi pasif, justru keimanan pada takdir menuntut kita untuk tetap aktif dan bertanggung jawab dalam setiap langkah hidup.

Maka, jangan jadikan narasi “takdir” sebagai tameng untuk tidak berikhtiar. Karena Islam tidak pernah mengajarkan fatalisme, melainkan kewajiban untuk berusaha yang disandarkan kepada Tuhan. Semua perbuatan yang terjadi merupakan kehendak Allah, namun manusia tetap punya tanggung jawab untuk memilih dan berusaha. Artinya, jodoh memang dalam ilmu Allah, tetapi cara kita menjemput jodoh tetap memerlukan doa, ikhtiar, dan adab.

Adapun solusi dari ketiga hal yang bertentangan mengenai konsep tanzih, kasb, dan adab dalam berdakwah yaitu menggunakan tiga prinsip Hifzh al-din (menjaga agama). Pertama, validitas ilmu, yang mana ilmu yang diajarkan harus sesuai dengan sumber otentik atau yang bersumber dari dalil yang shahih dan pemahaman ulama yang terpercaya dan diakui keilmuannya.

Kedua, adab dalam penyampaian, hendaknya sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW yaitu lemah lembut, santun, dan penuh kasih sayang, tanpa merendahkan meskipun menghadapi pihak yang berbeda pendapat.

Hifzh al-din yang terakhir, yaitu niat yang benar, diniatkan karena Allah SWT bukan karena popularitas atau uang, karena keikhlasan merupakan pondasi awal untuk berdakwah. Maka, dengan mengimplementasikan ketiga Hifzh al-din tersebut, dakwah akan tetap pada jalan yang lurus, penuh rahmat dan diberkahi oleh Allah SWT.

Baca juga: Huruf Latin Jadi Penolong Hijaiyah: Metode AQU BISA dan Andragogi, Cocok?

Pada akhirnya, di tengah maraknya perkembangan teknologi, kita harus sadar bahwa teknologi hanyalah alat. Manusialah yang harusnya mengendalikan dan bukan dikendalikan oleh teknologi tersebut. Karena semestinya, teknologi hanya menjadi sarana memperdalam pemahaman agama, bukan alat yang merendahkan kesakralannya atau menyebarkan pemahaman yang keliru.

Maka pentingnya memfilter setiap informasi yang kita terima. Dan dalam hal ini, teori ilmu kalam adalah salah satu tameng untuk menjaga kita dari dampak negatif teknologi, sehingga kita mampu mengidentifikasi antara yang hak dan yang batil.

Penulis: Ali Mursyid, Salwa Salsabila, Nashwa Nadrah, Saskia Fadila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *