Ontologi dan Epistemologi Ilmu: Dialektika Akal, Wahyu, dan Pengalaman dalam Tradisi Islam dan Barat

Epistemologi Islam dan Barat

Milenianews.com, Mata Akademisi – Kehidupan yang tenteram dan layak bagi seluruh manusia merupakan sebuah impian universal. Dalam upaya mewujudkan kehidupan tersebut, filsafat hadir sebagai pandangan hidup yang membimbing manusia dalam menata penalaran, dialektika pengetahuan, serta pengembangan ilmu agar tidak terjebak pada kesalahan berpikir yang merugikan masyarakat luas. Filsafat tidak hanya berfungsi sebagai disiplin teoritis, tetapi juga sebagai fondasi etis dan rasional dalam memahami realitas kehidupan.

Menurut Ahmad Dahlan (2015), perkembangan ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat bertumpu pada tiga pilar utama cara berpikir manusia, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi sendiri berasal dari kata epistēmē (pengetahuan) dan logos (ilmu atau penjelasan). Secara etimologis, epistemologi dapat dimaknai sebagai theory of knowledge, yakni kajian tentang hakikat, sumber, metode, dan validitas pengetahuan manusia.

Epistemologi sebagai Upaya Mencari Kebenaran Hakiki

Secara konseptual, epistemologi dipahami sebagai ikhtiar manusia dalam mencari kebenaran hakiki melalui berbagai metode dan sumber pengetahuan. Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an menyebutkan tiga instrumen utama pengetahuan, yaitu pendengaran (informasi empiris-verbal), penglihatan (observasi empiris), dan af’idah (akal dan hati). Ketiganya berfungsi untuk mengolah makna kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi terhadap Surah An-Nahl ayat 78.

Epistemologi tidak hanya membahas fakta yang dapat dijangkau nalar, tetapi juga mengkaji batas-batas kemampuan rasio manusia. Ketika pengetahuan mencapai titik di mana akal tidak lagi mampu menjangkaunya, di sanalah diakui adanya kebenaran sejati yang hanya dimiliki oleh Tuhan sebagai pencipta seluruh semesta.

Urgensi Penalaran Kritis dalam Kehidupan Manusia

Oleh karena itu, menajamkan dan mengasah penalaran menjadi hal yang sangat krusial bagi keberlangsungan hidup manusia. Penalaran kritis diperlukan agar manusia tidak terjebak dalam dogma, hoaks, maupun taqlid buta. Selain itu, filsafat membantu manusia memahami makna dan tujuan hidup, serta membentuk kemampuan pengambilan keputusan yang bijaksana.

Immanuel Kant (1724–1804) menegaskan bahwa filsafat merupakan “peta dasar kehidupan intelektual dan moral manusia.” Dengan kata lain, filsafat berfungsi sebagai orientasi berpikir yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang rasional sekaligus bermoral.

Epistemologi dalam Tradisi Islam Awal

Dalam konteks historis Islam, kerangka berpikir epistemologis telah muncul jauh sebelum masa Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu contoh paling awal adalah Nabi Ibrahim (±2000–1800 SM), sebagaimana terdokumentasi dalam Al-Qur’an. Fazlur Rahman menyebut Ibrahim sebagai representasi religious rationalism awal, yakni iman yang lahir dari refleksi intelektual. Pandangan ini juga menunjukkan pergeseran dari mitos menuju rasionalitas etis-monoteistik, sebagaimana dianalisis oleh Toshihiko Izutsu.

Surah Al-An‘am ayat 76–79 menggambarkan proses berpikir Nabi Ibrahim yang bersifat observatif dan eliminatif. Melalui pengamatan terhadap bintang, bulan, dan matahari, Ibrahim menyimpulkan bahwa Tuhan sejati bukanlah entitas yang tenggelam dan berubah, melainkan Zat yang menciptakan seluruh realitas dan memberi petunjuk. Proses ini menunjukkan penggunaan hipotesis, observasi, dan kesimpulan rasional dalam pencarian kebenaran.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Wahyu sebagai Fondasi Epistemologi Islam

Islam secara eksplisit mendorong penggunaan akal dan refleksi kritis, sebagaimana tercermin dalam wahyu pertama, Surah Al-‘Alaq ayat 1. Islam hadir di tengah krisis spiritual, intelektual, dan moral masyarakat Arab. Ibnu Khaldun menggambarkan masyarakat Arab pra-Islam sebagai ummah badawiyyah yang bersifat tribalistik dan belum berperadaban. Islam kemudian mentransformasikannya menjadi ummah hadariyyah, yakni masyarakat berperadaban.

Montgomery Watt juga menilai bahwa masyarakat Makkah mengalami krisis spiritual akibat dominasi materialisme dan stratifikasi sosial. Islam hadir menawarkan konsep ukhuwah dan nilai-nilai moral sebagai solusi sosial dan spiritual.

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978) dalam Islam and Secularism menegaskan bahwa epistemologi Islam berlandaskan wahyu (Al-Qur’an dan hadis) yang terintegrasi dengan akal (‘aql), intuisi (ilham), dan pengalaman empiris (tajribah). Tauhid menjadi fondasi utama yang menempatkan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Fussilat ayat 53 yang memandang alam sebagai tanda-tanda Tuhan.

Tradisi Klasik Epistemologi Islam

Sintesis antara wahyu dan akal mencapai puncaknya pada masa Golden Age of Islam. Al-Kindi (w. 873 M) memperkenalkan filsafat sebagai jalan menuju kebenaran yang tidak bertentangan dengan agama. Al-Farabi (w. 950 M), yang dijuluki al-Mu‘allim al-Thani, mengklasifikasikan ilmu secara hierarkis dan integratif, meliputi bahasa, logika, matematika, fisika, metafisika, hingga ilmu politik.

Ibnu Sina (w. 1037 M) mengembangkan epistemologi rasional sistematis dengan menempatkan logika sebagai instrumen utama pengetahuan. Sementara itu, Al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifah mengkritik dominasi rasionalisme murni, namun tidak menolak akal. Baginya, ilmu yang sahih adalah ilmu yang membawa manusia kepada Allah dan menjauhkan dari taqlid buta.

Secara umum, epistemologi Islam klasik memiliki ciri integratif antara wahyu, akal, dan pengalaman; bersifat hierarkis dengan wahyu sebagai puncak kebenaran; serta berorientasi etis dan transformatif.

Epistemologi Barat: Dari Yunani hingga Modernitas

Di Barat, filsafat ilmu berakar pada pemikiran Yunani Kuno, khususnya Plato dan Aristoteles. Plato memandang realitas sejati sebagai dunia ide yang bersifat abadi, sementara dunia inderawi hanyalah bayangan. Pengetahuan sejati diperoleh melalui rasio, bukan indera.

Aristoteles kemudian mengkritik gurunya dengan menegaskan bahwa pengetahuan bermula dari pengalaman inderawi, yang kemudian diabstraksikan menjadi konsep universal melalui rasio dan logika silogistik. Pendekatan ini menjadi dasar metode ilmiah.

Pada abad pertengahan, epistemologi Barat berada di bawah dominasi teologi Kristen melalui tradisi skolastik. Thomas Aquinas berupaya mensintesiskan filsafat Aristoteles dengan doktrin Kristen, dengan menegaskan bahwa wahyu dan akal sama-sama berasal dari Tuhan.

Memasuki era modern dan kontemporer, tokoh seperti Karl Popper dan Imre Lakatos menekankan sifat tentatif pengetahuan ilmiah. Sementara Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika yang menolak klaim objektivitas mutlak, dengan menekankan peran konteks historis dalam pemahaman.

Dialog Epistemologi Islam dan Barat

Dalam konteks global kontemporer, muncul kesadaran bahwa sains modern membutuhkan fondasi etis dan spiritual. Pemikir Muslim seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menegaskan bahwa ilmu tidak pernah netral nilai. Oleh karena itu, epistemologi modern perlu dikritisi secara worldview dengan wahyu sebagai orientasi etis dan ontologis.

Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan dialektika panjang antara akal, wahyu, dan pengalaman. Tradisi Islam menawarkan integrasi holistik antara ilmu, etika, dan spiritualitas, sementara Barat menyumbangkan metodologi ilmiah dan rasionalitas kritis. Keduanya bersifat saling melengkapi secara epistemologis, terutama dalam menghadapi tantangan era digital, krisis kemanusiaan, dan degradasi moral global. Filsafat ilmu, pada akhirnya, harus tetap berpijak pada kebenaran, nilai moral, dan tanggung jawab kemanusiaan universal.

Penulis: Siti Ghazalba Nurul Azizah, Mahasiswi Intitut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *