Kontroversi Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Membaca Ketegangan Sikap Publik melalui Model ABX Theodore M. NewcombT

Pahlawan Nasional

Milenianews.com, Mata Akademisi – Peringatan Hari Pahlawan pada Senin, 10 November 2025 di Istana Negara, Jakarta. Presiden RI, Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh. Namun, perhatian publik justru terfokus pada keputusan pemerintah yang turut menetapkan Soeharto, Presiden ke-2 RI sebagai salah satu penerima gelar tersebut. Keputusan ini langsung memunculkan perdebatan di masyarakat. Ada yang menilai Soeharto memang pantas menyandang gelar pahlawan karena jasa-jasa besarnya. Tapi, tidak sedikit pula yang menolak keras karena berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahannya.

Perbedaan pandangan tersebut membuat masyarakat terbelah dalam dua kubu. Pertama, kelompok yang mendukung pemberian gelar. Kelompok ini mencakup keluarga, pendukung politik Soeharto, dan masyarakat yang merasakan dampak langsung pembangunan di masa pemerintahan Soeharto. Mereka memaknai Soeharto sebagai Bapak Pembangunan yang berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 (diakui FAO secara internasional). Jasa-jasa tersebut dipandang sebagai kontribusi nyata yang layak mendapatkan pengakuan negara. Oleh karena itu pemberian gelar pahlawan dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa tersebut.

Baca juga: Analisis Kendala Pembelajaran Daring Menggunakan Teori Shannon-Weaver

Kedua, kelompok yang menolak keputusan tersebut. Kelompok ini didominasi oleh aktivis HAM, keluarga korban, akademisi kritis, serta generasi muda yang membaca sejarah dengan sudut pandang yang berbeda. Mereka menilai bahwa pemberian gelar kepada Soeharto tidak dapat dilepaskan dari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru. Beberapa peristiwa yang sering disebutkan meliputi tragedi 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari Lampung (1989), kekerasan sistemik di Aceh (1989-1998), penghilangan paksa (1997-1998), tragedi Trisakti dan Semanggi 1-2 (1998-1999), kerusuhan Mei 1998, Pembredelan media massa, Penggusuran warga untuk TMII (1971) dan masih banyak lagi. Laporan Stolen Asset Recovery (STAR) yang dirilis PBB dan Bank Dunia pada 2007 juga menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia dengan kerugian negara mencapai USD 15-35 miliar. Bagi kelompok ini, pemberian gelar pahlawan bukan sekadar tindakan administratif, melainkan tindakan simbolik yang memiliki konsekuensi moral, sejarah, dan politik. Mereka menganggap keputusan ini sebagai bentuk pengabaikan fakta sejarah dan pengabaian terhadap luka para korban.

Situasi ketegangan sosial ini dapat dianalisis menggunakan Model ABX Newcomb, salah satu model komunikasi klasik dalam kajian psikologi-sosial. Model ini menjelaskan hubungan antara dua pihak (A dan B) yang masing-masing memiliki sikap terhadap suatu objek (X). Hubungan sosial akan berada dalam keadaan seimbang jika A dan B memiliki sikap yang sama terhadap X. Sebaliknya, jika A dan B memiliki sikap berlawanan, maka ketidakseimbangan akan muncul dan menciptakan ketegangan sosial. Dalam konteks kontroversi ini, A dapat dipahami sebagai kelompok pendukung penetapan gelar Pahlawan Nasional Soeharto, B sebagai kelompok penolak, dan X sebagai objek/isu pembahasan yaitu penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam kerangka model Newcomb, terlihat bahwa A dan B memiliki persepsi terhadap X yang sama-sama kuat, tetapi berlawanan. Bagi A, X dianggap sebagai keputusan negara yang layak dan adil. Bagi B, X dimaknai sebagai keputusan yang bermasalah secara moral dan sejarah. Ketidakseimbangan ini semakin terasa karena X memiliki nilai simbolik yang tinggi dalam memori kolektif bangsa. Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar, tetapi representasi moral tentang siapa yang patut dikenang dan diagungkan dalam sejarah negara. Dengan demikian, perbedaan makna antara A dan B terhadap X menciptakan kondisi komunikasi yang tidak stabil, yang pada akhirnya memicu ketegangan publik.

Ketegangan dalam Model ABX tidak hanya menggambarkan adanya perbedaan pendapat, tetapi juga menjelaskan dorongan psikologis dan sosial untuk mencari keseimbangan. Dalam kasus ini, masyarakat dan negara perlu mencari mekanisme komunikasi yang dapat meredakan ketegangan. Menurut Newcomb, keseimbangan dapat dipulihkan melalui upaya komunikasi yang bertujuan memperjelas makna objek X agar hubungan A dan B tidak semakin menjauh. Hal ini berarti bahwa pemerintah sebagai pengambil keputusan memegang peranan penting dalam menciptakan ruang dialog yang terbuka.

Tapi sayangnya, keputusan penetapan Soeharto belum disertai dengan penjelasan yang komprehensif tentang dasar sejarah, moral, dan prosedur resmi pemerintah di balik pemberian gelar tersebut. Minimnya komunikasi mengenai hal ini justru memperbesar ruang kecurigaan. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan klarifikasi yang menjawab beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, apa saja kriteria dan indikator jasa Soeharto yang dipertimbangkan sesuai UU tentang tanda jasa. Kedua, bagaimana pemerintah menimbang antara catatan jasa-jasa Soeharto dan pelanggaran HAM yang juga merupakan bagian dari rekam jejaknya. Ketiga, apa landasan moral, sejarah dan prosedur resmi pemerintah yang digunakan sehingga Soeharto tetap dipilih sebagai penerima gelar Pahlawan Nasional. Penjelasan yang jujur dan terbuka ini sangat diperlukan agar keputusan ini tidak disalahpahami sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap sejarah kelam bangsa.

Baca juga: Analisis Kasus Inara Rusli dan Insanul Fahmi melalui Perspektif Teori Atribusi

Selain klarifikasi pemerintah juga perlu membuka ruang dialog yang mempertemukan sejarawan, akademisi, aktivis HAM, keluarga korban, dan masyarakat umum. Dialog semacam ini penting untuk menghadirkan narasi sejarah yang lebih terbuka untuk semua dan tidak mengabaikan suara-suara yang selama ini tidak didengar. Dengan demikian, negara tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga fungsi moral untuk menjaga memori kolektif bangsa tetap adil dan berimbang.

Melalui perspektif Model ABX Newcomb ini, kontroversi penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memperlihatkan bahwa sejarah Indonesia bukanlah ruang yang netral, melainkan arena perebutan makna. Perbedaan tajam antara kelompok pendukung dan penolak mencerminkan adanya pertarungan pandangan tentang siapa yang layak disebut “pahlawan” dalam sejarah bangsa. Pemerintah memiliki tanggung jawab strategis untuk memulihkan keseimbangan komunikasi melalui pendekatan yang transparan, dan berbasis data. Dengan demikian, bangsa ini dapat bergerak menuju rekonsiliasi sejarah yaitu upaya untuk menyembuhkan luka masa lalu tanpa mengabaikan kebenaran dan keadilan. Model Newcomb mengingatkan bahwa komunikasi bukan sekadar penyampaian informasi, tetapi mekanisme penting untuk menjaga stabilitas hubungan sosial dalam masyarakat yang sedang berjuang memahami masa lalunya.

Penulis: Suci Sutiani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *