Milenianews.com, Mata Akademisi– Nama lengkap beliau Drs. KH. Iin Dhiauddin, SH. Tapi saya memanggilnya Kiai Iin. Begitu juga kolega yang lain. Lebih lengkap lagi di depan nama beliau tersandang gelar Tubagus, sebuah gelar kebangsawanan Banten.
Saya mulai dekat dengan kiai keren, ramah, dan jenaka ini sebelum 2010, kendati nama beliau sudah dikenal sebelumnya. Perjumpaan kami berawal di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok sekitar 2004. Beliau adalah salah seorang ketua MUI kala itu.
Sejak saat itu, kami sering kumpul di rumah beliau. Yang dibicarakan bukan hanya soal agama dan sosial, tapi juga soal politik.
Sejak saat itu, saya dan pengurus MUI, menjadikan rumah beliau jadi semacam basecamp. Tokoh politik lokal dan nasional tak terhitung lagi yang bertandang di rumah Perum Perumnas Depok itu. Tepatnya di Jalan Wiyakusuma Depok.
Kiai Iin dekat dengan kalangan politisi Muslim. Latar belakang beliau memang seorang ahli hukum. Jadi beririsan dengan politik. Namun gaya bicara beliau santai dan tidak menggurui.
Yang menarik, selain jenaka beliau bersuara merdu. Infonya, beliau mantan qari dan sempat menjadi dewan hakim MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran)
Satu waktu, saya melihat beliau mengaji kitab kuning di kantor MUI Kota Depok untuk diskusi bersama kolega. Belau memang bangsawan dan cendekiawan Banten yang mulititalenta.
Kendati kami terpaut usia puluhan tahun, namun beliau kerap menunjukkan sikap bersahabat. Bahkan tak jarang sudi mengajak saya jadi teman diskusi.
Satu waktu, saya diusulkan jadi khatib di masjid tempat beliau tinggal, sekitar 2008. Sebuah penghargaan bagi saya. Saya bergembira diorbitkan.
Yang paling saya ingat, sekitar tahun 2010, usai mengikuti gelaran politik Pilkada Depok di kawasan Margonda, kami merasa perlu makan siang bersama. Saya bilang kita makan di mall saja yang ada di seberang jalan.
Kita tahu Jalan Margonda saat itu sudah dipagari besi selengan besarnya. Namun karena keluguan kami, pagar tersebut kami terobos lewat bagian bawah yang memang menganga.
Teman-teman saya, seperti ustadz Uung, ustadz Khairulloh, Ustadz Dian, termasuk Bang Opa, tak terhitung berapa kali makan minum di rumah beliau. Sambutan beliau selalu hangat.
Yang saya ingat juga, sekitar 2010, saat kami dengan para kiai berkumpul di rumah belaiu, saya ikut nimbrung. Saya diminta bicara soal politik dalam khasanah klasik. Usai acara saya menyantap hidangan nasi kebuli.
Sedang asyiknya, adik saya (Khairulloh) bilang kalau lauk yang saya makan adalah daging kambing. Sontak saya terperanjat dan buru-buru makan jeruk. Alasannya cuma takut. Bukan karena dilarang dokter.
Kiai Iin, selamat menempuh hidup baru di alam barzakh sana dalam ketenangan. Andai Allah izinkan bertemu dengan teman diskusi kita seperti Kiyai Abdullah Ya’cub, Kiyai Shomad Rahman, Kiyai Zainuddin Maksum Ali, sampaikan salam kami.
Terima kasih telah menerangi akal budi kami. INSYA ALLAH kita becanda lagi nanti di surga. AAMIIN.
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA, Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok.