Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era media sosial seperti sekarang, kita terus-menerus berhadapan dengan berbagai berita viral yang mampu menyentuh hati sekaligus menguji akal sehat. Tidak jarang, berita-berita tersebut memicu perdebatan sengit antar pengguna melalui kolom komentar. Dua isu yang belakangan ini sering memancing reaksi publik adalah tingginya angka perceraian dan kasus kekasih yang membunuh pasangannya.
Kedua isu tersebut menjadi contoh nyata bagaimana logika dan perasaan kerap bertarung ketika kita menghadapi informasi yang muncul secara tiba-tiba. Pertanyaan seperti “siapa yang benar dan siapa yang salah?” sering muncul di benak, seakan-akan persoalan yang seharusnya menjadi ranah pribadi pasangan tersebut berubah menjadi beban pikiran kolektif hanya karena viral di dunia maya.
Baca juga: Krisis Etika Media Sosial Dan Relevansi Ilmu Akhlak Dalam Filsafat Islam
Ketika Perasaan Mendahului Akal
Ketika membaca berita yang menyedihkan dan penuh drama, reaksi pertama kita hampir selalu muncul dari perasaan. Kita iba memikirkan nasib anak-anak korban perceraian, terkejut melihat pasangan yang tampak harmonis ternyata berpisah, atau marah terhadap seseorang yang terlihat begitu tega menyakiti pasangannya. Rasa marah, kecewa, dan simpati muncul begitu saja tanpa filter.
Dalam perspektif filsafat, reaksi spontan ini mencerminkan empirisme, yakni pandangan bahwa pengetahuan lahir dari pengalaman inderawi dan perasaan langsung. Meski pengalaman tersebut tidak kita alami secara nyata, media sosial membuatnya terasa seolah-olah dekat dan personal, cukup melalui layar ponsel.
Empirisme inilah yang membuat berita viral terasa “hidup” dan mudah memengaruhi emosi. Kita merasa terlibat, meskipun sejatinya hanya menjadi penonton dari kejadian yang terjadi jauh dari kehidupan kita sendiri.
Media Sosial dan Pemicu Emosi
Salah satu alasan mengapa kita mudah terbawa arus emosi adalah karena media sosial secara sadar memanfaatkan emotional triggers atau pemicu emosi. Judul dramatis, video yang dipotong, hingga komentar warganet yang provokatif membuat kita merasa harus segera bereaksi.
Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang paling mampu memancing keterlibatan emosional. Akibatnya, tanpa disadari kita menjadi lebih reaktif daripada reflektif. Perasaan didorong untuk mendahului pikiran, dan empati sering kali berubah menjadi penghakiman instan di kolom komentar.
Rasionalisme sebagai Penyeimbang
Namun, setelah gelombang emosi mulai mereda, logika perlahan mengambil alih. Kita mulai bertanya apakah berita yang dibaca sudah lengkap, apakah ada sudut pandang lain yang belum muncul, atau apakah narasi yang disajikan media telah dibingkai untuk kepentingan tertentu. Pendekatan ini mencerminkan rasionalisme, yaitu upaya memahami kebenaran melalui akal dan analisis.
Rasionalisme mengingatkan kita bahwa berita viral sering hadir dalam potongan-potongan singkat yang tidak sepenuhnya merepresentasikan realitas. Kehidupan seseorang tidak bisa diringkas hanya melalui video berdurasi 30 detik atau judul yang provokatif. Dengan berpikir rasional, kita belajar menahan diri untuk tidak menjadi hakim dadakan atas kehidupan orang lain.
Menjadi Manusia yang Berpikir dan Merasa
Pada akhirnya, filsafat bukan sekadar teori yang hidup di ruang kuliah. Ia hadir dalam cara kita menanggapi dunia, termasuk dalam merespons berita viral. Ketika perasaan bergerak, empirisme bekerja. Ketika akal mulai menganalisis, rasionalisme mengambil peran.
Baca juga: Peran Berpikir Kritis dalam Menghadapi Informasi di Media Sosial
Keduanya mengingatkan kita bahwa manusia bukan hanya makhluk yang merasa, tetapi juga makhluk yang berpikir. Masalah muncul ketika kita hanya mengandalkan salah satunya dan mengabaikan yang lain. Di tengah riuhnya media sosial dan narasi yang sering kali manipulatif, kita dituntut menjadi pribadi yang rasional tanpa kehilangan empati.
Seperti kata Socrates, “Kebenaran itu objektif, dan kita dapat menemukannya dengan bertanya, menyelidiki, dan berpikir kritis.” Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga menjadi penyaring kebenaran—manusia yang peka secara emosional dan bijaksana secara rasional.
Penulis: Andi Salsabilah Amalia Putri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













